Ada Untukmu
Dari balkon terlihat jalanan kota mulai sepi, kegiatan di sekitar juga sudah berkurang, waktuku untuk tidur. Mataku sudah tidak tahan bekerja setelah seharian menangani berbagai proyek, kepalaku menerima lembutnya bantal yang akan segera membawa ke alam mimpi.
TRILILILI
Waduh, ada apa ini, tidak biasanya ada telepon selarut ini, dan hanya orang tertentu yang kuset ringtone super keras ini agar aku pasti bangun walau senyenyak apapun. Kulihat layar, Mama, begitu kuangkat beliau langsung menyuruhku berangkat menjemput Mbak Narsih di terminal K. Sambil turun di lift, aku mendengarkan penjelasan kalau pengasuhku sejak kecil itu rupanya sedang mencari kerja di kotaku, namun lalu tersesat saat mencoba mencapai kosan temannya dari tempat interview.
Saat di mobil aku harus menutup telepon, menyisakan pertanyaan kenapa Mbak Narsih sampai perlu mencari kerja di kota, seingatku setelah aku kuliah, Mamaku membelikan peternakan di desa agar dia bisa hidup enak bersama keluarganya, jadi seharusnya Mbak Narsih sudah tidak perlu lagi mengarungi kejamnya perkotaan.
“Den Andiii”, teriak seorang wanita yang langsung berlari kearahku. Orang-orang sekitar menoleh sekilas sambil tertawa, mungkin membayangkan skenario apa yang bisa menjelaskan seorang wanita paruh baya berlari dan memeluk seorang pria muda yang jelas berbeda ras. Setelah video-call dengan Mamaku untuk menunjukkan aku sudah menjemput Mbak Narsih, di mobil Mbak Narsih bercerita kalau ternyata hewan ternak di desanya terkena wabah. Mbak Narsih merasa tidak enak kalau meminta bantuan dari Mamaku, lalu berusaha sendiri mencari kerja, tapi akhirnya malah tersesat karena berasumsi rute kendaraan umum di kotaku masih sama dengan saat terakhir kali dia disini.
Saat bertanya ke orang sekitar Mbak Narsih makin bingung karena tidak paham dengan perubahan di kota, akhirnya dia menyerah dan mencoba bertanya ke Mamaku tentang rute kendaraan umum. Tentu saja Mamaku lalu mengorek kenapa menanyakan hal itu, dan lalu segera menyuruhku untuk menjemputnya. Karena malam sudah larut dan kosan temannya sebenarnya di sisi lain kota, aku lalu menawarkan Mbak Narsih untuk menginap saja di tempatku, toh sebenarnya unit apartemenku memiliki dua kamar, walau kamar yang satu saat ini penuh dengan kardus dan stok dari kantor yang sedang kukerjakan.
Sambil merapikan (tepatnya mengeluarkan semua yang bukan tempat tidur dan lemari) dari kamar-merangkap-gudang itu saat Mbak Narsih mandi, aku juga memesankan soto kesukaanya, supaya dia bisa langsung makan dan tidur setelah mandi. Saat dia keluar dari kamar mandi aku menelan ludah, pahanya yang begitu mulus hampir tidak tertutupi celananya yang sangat pendek, dan kaos yang dia pakai, alih-alih menutupi payudaranya, malah semakin menekankan betapa besar organ yang dulu sering menemani tidurku saat masih kecil.
“Duh, wanginya, ini soto Pak Wirjo ya den? Masih buka aja jam segini”, ujar Mbak Narsih membuyarkan fantasi liar di kepalaku. “Eh, hehe, iya mbak, dimakan dulu mbak, biar badannya enak, pasti mbak dah laper banget tadi”, jawabku. Mamaku sendiri saat ini sedang menunggu konfirmasi dariku bahwa Mbak Narsih sudah makan dan tidur dengan baik, karena beliau juga khawatir kalau Mbak Narsih sakit karena kecapekan. Seperti yang kuduga, Mbak Narsih langsung makan dengan lahap, menandakan dia belum makan berjam-jam sebelum ini, mungkin bahkan sejak jam makan siang, karena dari ceritanya Mbak Narsih mulai tersesat sejak selesai interview dan salah mengambil bus.
“Oooh, jadi sekarang bisnya nggak ada yang lewat pusat lagi ya den”, kata Mbak Narsih setelah aku menjelaskan panjang lebar rute baru yang memang berpotensi menyesatkan untuk mereka yang mengasumsikan rute lama. “Iya mbak, jadi pas mbak lewat itu sebenarnya sudah harus turun sebelum itu. Tapi kalau besok saya antar kok mbak, jadi tenang saja”, ujarku untuk menenangkan pikirannya yang mungkin masih ruwet. “Loh den, emang besok den nggak kerja?”, tanya Mbak Narsih. “Saya kerjanya online kok mbak, jadi asal bawa laptop bisa kerja, atau kadang bawa yang disitu”, jawabku menunjuk tumpukan kardus yang baru kukeluarkan. “Makasih banyak lho den, maaf mbak ngrepotin”, ujar Mbak Narsih. “Ya saya kan udah berutang budi banyak mbak, selama ini kalau apa-apa Mbak yang ngrawat saya, sekarang giliran saya bisa bantu Mbak” balasku.
Walau AC sudah kunyalakan di mode paling dingin, mungkin karena pedasnya soto dan minuman teh hangat, tubuh Mbak Narsih tetap mengeluarkan banyak keringat yang membuat kulitnya yang sawo matang semakin sensual. Duh, berkali kali aku merutuki kepala bagian bawahku yang tidak peduli bahwa yang didepanku ini wanita yang ikut membesarkanku, betapa tidak pantas aku memiliki pikiran kotor, tapi bukannya bekerja sama, kepala bagian atasku malah menyertakan memori tak terlupakan saat Mbak Narsih berganti baju di kamarnya saat aku masih kecil dan tiba-tiba masuk ke kamarnya. Mungkin Mbak Narsih menganggap saat itu aku masih terlalu kecil untuk tertarik pada tubuh wanita, namun ingatan tentang puting hitam Mbak Narsih dan kelaminnya yang tertutup bulu tipis justru menjadi bahan masturbasiku saat aku mulai memasuki masa puber.
Setelah Mbak Narsih bersiap untuk tidur, aku meminta ijin untuk meninggalkannya sebentar di apartemen, beralasan aku mau mencari makan di warung yang agak jauh. Mungkin dia sudah terlalu lelah sehingga hanya mengiyakan, tanpa mempertanyakan kenapa aku tidak memesan antar saja. Sebenarnya aku tidak meninggalkan tower sama sekali, ada cewek BO, Cindy, di lantai lain yang jadi langgananku, dan kondisiku saat ini tidak akan bisa tidur jika belum dipuaskan. Saat di lift aku sudah mengonfirmasi bahwa Cindy memang masih bangun, tidak sedang menunggu pelanggan lain, dan memintanya untuk mengenakan pakaian mirip seperti yang dikenakan Mbak Narsih.
Begitu Cindy membukakan pintu untukku, aku langsung mematikan lampu apartemennya sehingga hanya terlihat sedikit siluet tubuh dan pakaiannya. Dia mengerti maksudku, dan bertanya “dipanggilnya apa koh”, dan kujawab dengan variasi-variasi panggilan Mbak Narsih kepadaku, “den”, “den Andi”, “cah bagus”. Tanpa tertawa atau mempertanyakan alasannya, Cindy langsung menggunakan panggilan tersebut kepadaku, dan mengikuti semua permainan yang kuminta. Kulit Cindy memang jauh lebih putih daripada Mbak Narsih dan pantatnya juga kalah besar, tapi dalam kondisi gelap sambil menyebutkan namanya, aku bisa sedikit menipu diriku bahwa yang yang akan kusetubuhi adalah dia.
Kuremas payudaranya dari balik kaos tipisnya, sambil kugigit lembut telinganya membisikkan “Naar…”, dengan balasan “iya den” dari Cindy, tangannya sigap menurunkan celanaku yang sudah tidak bisa menyembunyikan tegangnya penisku. “Hisap Nar”, perintahku pada Cindy, sekaligus sinyal untuk dia bertindak agresif dalam roleplay ini, tanpa menunggu dia langsung berlutut di lantai dan melayani penisku, menyelimutinya dengan kehangatan mulutnya, rambutnya menghalangi wajahnya sehingga sambil menyebut-nyebut “Enak Nar, pinter kamu Nar”, aku bisa benar-benar membayangkan saat ini penisku sedang mencabuli mulut pengasuhku.
“Sudah lama Andi pengen entotin wajah kamu Nar, Andi sering tidur bayangin wajah kamu kotor kena spermaku Nar”, racauku sambil meremas remas puting Cindy yang terekspos. Kutepuk pelan punggung Cindy sebagai sinyal bagi dia untuk menaikkan pantatnya agar aku bisa memainkan vagina dan anusnya. Kucolok-colok kedua lubang kenikmatan itu sambil bertanya “Andi boleh nodain ini juga Nar?”, Cindi pun bergumam mengiyakan.
Aku tarik penisku dari mulutnya, lalu kubalikkan badan Cindy agar dia membelakangiku dan memamerkan pantatnya yang menungging, kupakai kondom yang sudah dia siapkan lalu kuhujami vaginanya sambil membayangkan aku sedang menyetubuhi Mbak Narsih di dalam apartemenku sendiri. “Sakit Nar?”, tanyaku sambil meremas pantat Cindy dua kali, sebagai sinyal untuk menjawab tidak, “Enggak den, enak den”, balasnya. “Apa yang enak Nar?”, “Dientot kontol den Andi enak”, lanjutnya, membuatku makin terangsang, “yang haram Narsih juga mau?”, “Astagfirullah aladzim, iya den, Narsih mau yang haram”. Memang ini kehebatan Cindy, dia bisa langsung menyesuaikan roleplaynya tanpa banyak persiapan.
Kutarik keluar penisku sambil membiarkan Cindy menyiapkan pelumas untuk pantatnya, lalu setelah dia bertelungkup dan meninggikan pantatnya, tanda bahwa dia sudah siap, aku pelan-pelan menusukkan penisku ke lubang pantatnya yang begitu erat. Wajahnya sedikit meringis saat hampir seluruh penisku masuk, entah bagian dari akting atau memang kesakitan, akupun agak berhati-hati dalam menggerakkan penisku. “Aangh, iya den, terus den, sodomi Narsih den, bikin Narsih berdosa yang banyak den”, racauan Cindy sekaligus sebagai sinyal kalau aku bisa bergerak sedikit lebih kasar, bahwa dia masih bisa menahan rasa sakit yang lebih dari saat ini. Kusodok anusnya dengan makin cepat, sampai dia menepuk lenganku dua kali, tanda bahwa itu batas dia namun aku tidak perlu langsung berhenti, kulanjutkan sodokanku sambil berkata “terima benihku Narsih”, sampai akhirnya aku ejakulasi di dalam kondom.
Pelan-pelan kutarik keluar penisku sambil menikmati denyutan lubang pantat Cindy, dan kubuang kondomnya ke keranjang sampah. Cindy masih terlihat menahan sakit, maka kupeluk dan kuusap-usap wajahnya, “terima kasih ya Nar”. Lumayan lama kami dalam posisi itu, sampai akhirnya sepertinya Cindy sudah berhenti menahan sakit. Jarinya membentuk angka 2, menanyakan apakah aku ingin melanjutkan ke ronde berikutnya, aku menggeleng, agak kasihan mungkin hari ini dia belum pemanasan untuk seks anal. Cindy pun menghentikan roleplaynya dan tersenyum, menanyakan siapa yang dia perankan barusan. Aku lalu menjelaskan kejadian malam itu dan menunjukkan foto Mbak Narsih di ponselku. Cindy berkomentar kalau Mbak Narsih termasuk cantik, dan badannya bahkan lebih bagus. Kujawab dengan diplomatis kalau selera pria berbeda-beda, tapi Cindy dengan santai lalu menunjukkan beberapa foto teman dia yang sesama cewek BO dengan warna kulit dan proporsi badan yang mirip dengan Mbak Narsih, “kalau mau dipanggil kesini bilang aja koh, nanti Cindy yang urus” ujarnya.
Setelah Cindy memiliki cukup kekuatan untuk bergerak dan membersihkan dirinya di kamar mandi, aku lalu bersiap meninggalkan unit apartemennya. Cindy sempat mengingatkanku untuk memfoto perlengkapan mandi dan parfum yang dipakai Mbak Narsih, agar roleplay berikutnya dia bisa meniru aroma Mbak Narsih. Setelah memastikan pembayaran sudah diterima, akupun kembali ke kamarku. Sebenarnya penisku masih berharap ada ronde kedua, tapi aku yang nggak tega melihat Cindy tadi meringis kesakitan. Tidak apa-apa, nanti di kamar aku bisa bermasturbasi sambil membayangkan sesi barusan dan melihat foto Mbak Narsih.
Semuanya buyar saat aku membuka pintu apartemenku dan melihat Mbak Narsih menangis di ruang tengah.
Sudah berubah?
“Mbak, kenapa mbak??”, ujarku panik sambil segera berlari ke arah Mbak Narsih yang sesenggukan. “Mbak kira den kenapa-napa”, jawabnya. “Lah kan aku udah bilang cuma cari makan aja”, “tapi kok den lama banget, nggak pesan aja”. Waduh, sepertinya Mbak Narsih sudah tidak ngantuk lagi dan menggunakan akal sehatnya, “Er, itu mbak, pesenan saya agak ribet, jadi kalau pesan susah”, balasku. Untuk mengalihkan perhatian, kutanya kenapa dia tidak menelponku saja kalau khawatir, ternyata sebenarnya Mbak Narsih sudah kehabisan pulsa sejak sebelum menghubungi Mamaku, dia menggunakan hotspot dari penjaga warung di terminal yang kasihan melihat dia kebingungan. Walah, sepertinya baik Mamaku dan aku terlalu terbiasa menganggap orang lain pasti selalu ada pulsa. Mbak Narsih juga tidak berani turun untuk mencari tempat isi pulsa karena dia mengingat saat aku masuk ruang lift menggunakan kartu, yang kubawa di saku celanaku.
Setelah Mbak Narsih tenang, aku lalu mengeset ponsel dia untuk menggunakan jaringan wi-fi ku dan mengisikan pulsa dia. “Udah ya mbak, mbak tidur aja besok interview lagi kan disana?”, bujukku. Entah karena moodnya masih berantakan, Mbak Narsih malah memeluk lenganku sambil merajuk “Mbak takut sendirian”. Aduh. Memang sih saat awal SD aku pun masih sering tidur bareng Mbak Narsih kalau sedang manja, tapi setelahnya Mamaku sudah menyuruh agar aku berani tidur sendirian. Seingatku Mbak Narsih biasa aja waktu itu, tapi bisa jadi karena toh saat itu dia tidur di tempat yang sudah biasa dia tempati, sementara dia tentu belum pernah tidur di apartemenku, ditambah stress dia saat tersesat sebelum ini.
“Iya mbak, Andi temenin”, jawabku, Mbak Narsih lalu tersenyum dan memelukku, duh, besar sekali payudaranya, saat aku jemput aku tidak terlalu menyadarinya karena masih dalam keadaan bingung, sekarang dalam kondisi nafsuku masih belum selesai dipuaskan, seluruh otakku terpaku pada gumpalan kenikmatan yang sangat menggoda untuk diremas. “Ayo, ayo, nanti kemalaman malah mbak besok nggak bisa interview”, ajakku, merasa bersalah kalau besok interview Mbak Narsih sampai gagal karena ketidaksengajaanku. Saat aku berjalan ke kamarku, Mbak Narsih terlihat agak ragu sambil menundukkan mata, belum sempat aku bertanya kenapa, saat aku keluar dari kamar sambil membawa bantal dan guling dia makin bingung lagi. “Den, den maunya tidur dimana?”, tanya Mbak Narsih, “Ya di kamar Mbak Narsih, kan katanya takut sendirian”, jawabku. “Tapi kan ranjangnya sempit?”, kata Mbak Narsih. Ha? Aku makin bingung sendiri dengan jawabannya, lalu aku berjalan ke kamarnya dan menunjukkan bahwa bagian bawah ranjang dia bisa ditarik untuk membuka ranjang tambahan, kutata guling dan bantalku di ranjang tambahan di bawah, dan menepuk ranjang dia, “ayo mbak, tidur aja dulu”.
Tak kusangka, Mbak Narsih malah tertawa tanpa berhenti, sampai dia berbaring di ranjangnya pun dia masih kesulitan menghentikan. Setelah berhasil menahan tawa, akhirnya Mbak Narsih menjelaskan dia mengira aku mengajaknya tidur berdua di ranjang kamarku, dan saat aku mengajak ke kamarnya dia lalu mengira aku mengajak tidur bersempitan di ranjang yang hanya muat untuk satu orang. “Mbak tadi bingung den, kalau tidur berdua kok nggak pantes, tapi kok malah den ngajak yang nempel, hihihi”. “Ya ampun mbak, ngapain juga aku ngajak aneh-aneh gitu” jawabku, padahal dalam hati aku baru menyadari betapa ingin nafsuku untuk merasakan salah satu dari dua alternatif itu, dibanding saat ini tidur di ranjang terpisah walau sekamar.
“Tapi semua sudah ganti ya den”, kata Mbak Narsih. “Kotanya sudah banyak ganti, tempatnya den Andi juga sudah ganti, den Andi juga sudah ganti”. “Ganti gimana”, balasku, “Aku masih seperti ini kok mbak”. “Haha, enggaaak, Mbak masih ingat dulu den itu nempel mulu lho sama mbak, malah dulu den sempat sakit kan waktu kuliah”. Duh, jadi teringat saat itu, memang sepertinya keluargaku dan Mbak Narsih sudah menyadari kalau aku ada ketergantungan pada Mbak Narsih, saat aku jatuh sakit ketika kuliah dan dokter menyatakan sakitku sebagian karena stress berkepanjangan, keluargaku lalu mendatangkan Mbak Narsih untuk merawatku sampai sembuh. Saat itu Mbak Narsih sempat menangis dan menawarkan kepadaku untuk tetap bersamaku, dalam kepalaku ya nggak mungkin lah Mbak Narsih tinggal di kos ku saat itu, bisa geger satu kampung, lalu aku berjanji ke Mbak Narsih untuk tidak sakit lagi, dan kemudian sering bertukar kabar dengan Mbak Narsih, walau akhirnya kami jarang bertukar kabar lagi karena hidup kami memang sudah jauh berbeda, aku dengan tugas kuliah dan lalu pekerjaanku, Mbak Narsih dengan mengurus peternakan dan keluarganya di desa.
“Mbak kok nggak cerita ke Andi waktu ternaknya kena wabah”, tanyaku. “Mbak nggak enak den, nanti pasti den cerita ke Nyonya, akhirnya ngrepotin Nyonya lagi” jawabnya. “Yee, kalo mbak kenapa-napa juga pasti kita ikut repot mbak, lagian kalau sekedar ganti ternak mah Mama lebih gampang mbak, tinggal pesan lagi, kalau seperti ini Mama khawatir banget lho kalau mbak kenapa-napa”, lanjutku.
“Tapi den seneng kan akhirnya malah bisa ketemu mbak”, godanya. “Hehe, iya lah mbak”, jawabku, kali ini sepenuhnya sesuai kata hatiku. Entah sudah berapa jam aku kekurangan tidur, tapi itu semua pengorbanan yang layak untuk bisa tidur sekamar dengan Mbak Narsih. Entah berapa lama kami berbincang topik-topik yang sebenarnya kurang penting sampai badanku benar-benar menyerah dan tertidur pulas. Aku sempat terbangun sebentar menyadari bahwa tanganku memegang tangan Mbak Narsih yang terulur dari ranjangnya, entah siapa yang memulai.
. . .
Saat bangun, badanku mulai protes dengan penyiksaan yang diterima kemarin, mulai dari pekerjaan yang sampai malam, dilanjutkan menjemput Mbak Narsih, bercinta dengan Cindy, lalu tidur telat sambil berbincang dengan Mbak Narsih. Eh? Sebentar, bukannya aku harus mengantar Mbak Narsih untuk interview? Waduh. Jam berapa ini ya? Aku ingat sudah mengatur alarm, jadi seharusnya memang masih ada waktu untuk tidur sih, tapi ya kurang enak kalau Mbak Narsih melihat aku tidur sampai siang. Aku berusaha menggerakkan badanku tapi rasanya benar-benar masih sakit, mataku pun masih enggan membuka. Kuperhatikankan suara sekitar, oh, Mbak Narsih sedang mandi. Teringat saat tidur berpegangan tangan, rasanya damai sekali, duh, andai bisa selalu tidur seperti itu. Aku berangsur-angsur ingin kembali tidur untuk bisa melanjutkan mimpi indah selama badanku belum mau berkompromi.
Kemudian aku mendengar suara Mbak Narsih memanggilku. Sebenarnya aku ingin menjawab tapi badanku benar-benar masih capek, toh Mbak Narsih tidak menggunakan nada yang menyiratkan kepanikan atau kondisi darurat, nanti saja semua bisa diurus nanti, kata bagian otakku yang masih ingin melanjutkan tidur. Agak lama pintu kamar mandi kemudian terdengar terbuka dan aku bisa mendengar tetesan air di lantai. Hm, kepalaku berusaha mengingat kapan aku pernah mendengar suara seperti itu. Oh, seperti saat Cindy keluar kamar mandi tanpa handuk. Lho? Apa Mbak Narsih lupa dengan handuknya? Kubuka sedikit mataku dan kulihat memang benar, handuk Mbak Narsih masih tergantung di kamar ini. Sebagian otakku berkata untuk segera bangun dan menyerahkan handuk itu ke Mbak Narsih, tapi sebagian malah meronta agar aku tetap pura-pura tidur dan menunggu Mbak Narsih masuk kamar ini. “Den?”, aku mendengar Mbak Narsih memanggilku lagi perlahan sambil membuka pintu kamar. Lampu di kamar ini dimatikan jadi saat Mbak Narsih masuk, aku yakin dia tidak bisa menyadari sebenarnya mataku sedikit terbuka karena matanya masih belum terbiasa dengan kegelapan, sementara aku bisa melihat relatif jelas tubuhnya.
Yang sayangnya tertutup pakaian dia tadi malam. Huh, padahal aku tadi berharap Mbak Narsih masuk kamar ini dengan telanjang bulat, mungkin suara tetesan air itu lebih dari rambut Mbak Narsih. Kembali kututup mataku sepenuhnya, sambil mendengar suara Mbak Narsih mengambil handuk, namun tidak meninggalkan kamar ini. Hmmm, sepertinya kekecewaanku tadi terlalu dini, aku kembali memberanikan diri mengintip, dan, oho, sesuai yang kuharapkan, Mbak Narsih melepaskan seluruh pakaiannya lalu menggunakan handuknya. Pantatnya memang tidak sekencang saat aku melihatnya ketika masih kecil, namun bagiku tetap sangat sexy, bahkan lebih sexy dari pantat Cindy.
Setelah Mbak Narsih selesai mengenakan handuknya, aku segera menutup kembali mataku, dan timingnya memang tepat, karena tidak lama setelah itu aku merasakan hawa dari wajah Mbak Narsih yang masih basah mendekati wajahku. Mungkin Mbak Narsih berusaha memastikan aku memang masih tidur.
“Den Andi kecapekan ya? Maaf ya den, mbak jadi ngrepotin den, padahal mbak tuh berharap ketemu ama den waktu mbak sudah punya kerjaan stabil disini, nggak ngrepotin seperti ini. Waktu Nyonya suruh mbak tunggu di terminal sampai dijemput den, mbak tuh sebenarnya sebagian seneng banget bisa segera ketemu den, tapi sebagian juga malu ngrepotin den lagi. Mbak ngerasa bersalah tadi malam bikin den tidurnya makin telat, tapi mbak juga seneng banget den ngobrol macam-macam ama mbak, apalagi malamnya den narik tangan mbak, hihi”, ujar Mbak Narsih.
Duh, perasaanku campur aduk, ingin sebenarnya segera membalas perkataan Mbak Narsih, tapi aku sadar dia hanya berani mengucapkan itu karena mengira aku sedang tidur, susah payah aku mengontrol nafasku agar tidak menunjukkan detak jantungku yang sudah tidak karuan.
Mbak Narsih masih berlanjut, “Mbak juga ngrasa bersalah, seneng banget waktu lihat nggak ada foto perempuan di sini. Den juga tadi malam nggak cerita tentang pacar, apa artinya den nggak ada pacar saat ini? Mbak tahu nggak ada harapan bisa bersama den, tapi pas gini mbak tu berfantasi kita nikah lho den, tinggal bersama. Hihi, kalau nikah gitu tapi panggilnya nggak lagi den ya, mbak bakal panggil Andi, dan den bakal panggil Narsih. Duh….. keinginan mbak aneh-aneh ya den?”.
Kurasakan tanganku dipegang erat oleh Mbak Narsih, lalu terasa tetesan air hangat. Tangisan? Benar, agak lama kemudian terdengar sesenggukannya. Astaga, jadi selama ini perasaanku ke Mbak Narsih sebenarnya berbalas?