Pagi-pagi kami sudah duduk menunggu di dekat pintu kantor dukcapil bersama orang-orang lainnya. Jam delapan mereka baru buka, tapi kalau datang di atas jam itu, sudah pasti akan kena antrean yang bakal bikin sinting. Ini saja, datang sepagi ini, nomor antrean yang kudapat di atas 20.
Datang saking paginya, kami bahkan belum sempat sarapan.
Kulihat di depan ada tukang ketupat.
“Obi, kita sarapan dulu, yuk?”
Ajakanku tak digubris sama sekali, dia tetap fokus dengan kegiatannya main game arcade di ponselku.
“Obi,” kali ini sambil kuusap pundaknya, “Kita sarapan dulu yuk?”
Tetap tak ada reaksi. Aku menyerah. Kutunggu permainannya itu selesai satu babak. Baru dia bakal bisa diajak bicara.
Tempat ini mulai ramai didatangi orang-orang. Kebanyakan yang mau mengurs identitas. Ada juga mungkin yang mau mengurus perizinan dan printilan administrasi lainnya. Semoga saja hari ini tidak terjadi hal yang tidak-tidak. Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, mencari-cari tanda bahaya. Bahaya apa? Nanti akan kujelaskan. Pokoknya ada yang kehadirannya bisa bikin kacau rencana hari ini.
Lima menit kemudian permainannya selesai.
“Udah game-nya? Kita sarapan dulu yuk?”
Obi menatapku tak berkedip.
“Kita makan. Yuk?”
“Matan?”
“Iya. Makan. Obi mau makan apa?”
“Loti goleng.”
“Hmmm. Belum ada kalau roti goreng. Itu nanti sore aja ya. Sekarang kita makan kupat aja ya, tuh di depan.”
“Tupat apa?”
“Kupat tahu. Kan Obi suka kupat tahu.”
“Tahu?”
“Iya. Kupat tahu. Obi suka kan?”
“Cuka.”
“Ya udah. Yuk.”
Kugandeng Obi untuk berdiri dan berjalan menuju tukang ketupat.
“Sini hapenya Bunda kantongin dulu ya.”
Setibanya di tukang kupat, kami langsung duduk. Kupesan satu porsi. Tukang kupat itu seperti bertanya-tanya kenapa aku cuma pesan satu.
“Itu si akangnya nggak, Bu?”
Aku jawab dengan menggeleng dan tersenyum kecil. Setelah ini pasti tukang kupat itu akan semakin terheran-heran.
Obi fokus memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Setiap ada mobil yang lewat, dia sebutkan nama mobil itu. Obi hapal semua jenis kendaraan yang pernah ia lihat. Jika ada mobil yang dia belum tahu namanya alias baru pertama kali melihat, dia akan bertanya, dan setelah itu dia tidak akan lupa dengan mobil itu meskipun dia sangat jarang menemuinya di jalan.
“Bunda! Bunda! Pelali! Pelali!” Obi membetot-betot baju gamisku, tanda dia sedang sangat antusias.
“Ferrari? Mana mobil Ferrari?”
“Itu tuh.”
Obi menunjuk sebuah mobil sport berwarna kuning. Jari telunjukku ikut menunjuk mobil itu.
“Wah, iya. Ferrari ya. Pinter Obi.” Kuusap kepalanya.
Obi masih antusias memandangi mobil sport itu sampai tak terlihat lagi. Memang jarang sekali mobil mewah seperti itu muncul di kota kecamatan kecil seperti ini. Mungkin Obi bisa hapal di mana saja dia pernah menemui mobil-mobil mewah ibukota itu.
Kupat tahu pun datang. Satu porsi sebetulnya cukup banyak. Apalagi aku makan tidak terlalu banyak, begitu juga Obi.
“Mau dua sendok, Bu?” Tukang kupat menawarkan.
“Nggak usah, Pak.”
Kuamati tatapan mata tukang kupat itu tampak semakin penasaran.
Aku sudah menyiapkan diri menghadapi tatapan aneh semua orang bahkan tatapan sinis atau menghina. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa juga. Dan aku sudah sejak lama memutuskan untuk tak mau peduli. Aku tak mau ambil pusing omongan orang lain, toh mereka juga tak benar-benar berpengaruh bagi hidupku.
Kuaduk kupat itu supaya bumbu kacangnya merata. Kumakan suapan pertama.
Suapan kedua untuk Obi.
“Obi. Ini kupatnya. A’…”
Obi masih fokus mengidentifikasi mobil-mobil yang lewat. Kudekatkan sendok itu ke mulutnya, ketika sudah menyentuh, baru lah Obi membuka mulutnya itu, awalnya kecil, tapi terus kudorong suapan itu sehingga masuk semua. Obi mengunyah dengan pelan. Sambil matanya tetap fokus melihat ke jalanan.
Suapan ketiga aku lagi. Butuh waktu sekitar satu sampai dua menit untuk Obi menyelesaikan satu sesi mengunyah sesuap makanan. Terkadang aku harus mengingatkannya untuk mengunyah karena tak jarang Obi berhenti mengunyah lantaran terlalu fokus melakukan hal lain. Total hampir 30 menit waktu yang kuhabiskan untuk makan sambil menyuapi Obi makan.
Kubersihkan saus kacang yang sedikit belepotan di sekitar mulut Obi. Orang yang memperhatikan kami tak punya pilihan lain selain menganggap kami aneh. Kupikir aku sudah terbiasa dengan tatapan dan pikiran orang-orang—meskipun aku tak betul-betul bisa mendengar pikiran mereka. Namun rupanya tetap berat juga rasanya mendapatkan perhatian yang tidak diinginkan—apalagi ini bukan untuk hal yang baik.
Aku sudah sering sekali membayangkan pikiran apa yang terlintas di benak orang-orang.
Anak segede itu masih disuapin? Idiot kali ya?
Wah, anak autis ya?
Kasihan. Ganteng-ganteng gangguan mental.
Mungkin semacam itu. Satu-dua pernah benar-benar terucapkan, baik di depanku maupun di belakangku. Dan aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak peduli, tapi tetap saja ada sekelumit sakit menyeruak di hati.
Setelah selesai membayar, segera aku beranjak dari tempat itu. Agak keras kutarik pergelangan tangan Obi karena aku ingin cepat minggat.
“Aduh. Bunda, cakit.”
Kutatap wajah Obi dengan perasaan campur aduk. Wajahnya memang menunjukkan dia sedang merasakan sakit. Obi selalu terus terang dengan apa yang dia rasakan.
Kukendurkan genggamanku di tangan Obi. Obi langsung melepaskan tangannya dan berganti dia yang menggandeng tanganku.
Pintu kantor sudah dibuka, tapi belum ada yang dipanggil masuk, sementara antrean semakin ramai saja. Sepertinya bakal ngaret setengah jam. Obi kuberi handphone supaya matanya tidak ke mana-mana. Aku tidak tahu jenis orang seperti apa yang datang ke tempat ini. Harus selalu waspada. Mataku langsung menjelajah ke sekitar. Hmmm, sepertinya masih aman.
Eh, tak lama kemudian datang seorang perempuan muda, tergopoh-gopoh, hampir jatuh tersandung kaki orang lain. Sudah mah datangya heboh, penampilan cewek ini juga tak kalah menarik perhatian. Dia pakai seragam SMA, dengan baju yang lumayan ketat. Tidak terlalu ketat sampai tampak slutty, tapi juga tidak cukup longgar untuk menyembunyikan dua gundukan payudaranya yang sangat ranum. Padahal dia sudah pakai cardigan, dikancing, tapi masih tidak bisa menyamarkan tonjolan dadanya itu—malah semakin kelihatan bahwa dadanya besar.
Aku langsung sigap memblok bidang pandang Obi. Bisa kacau balau kalau Obi sampai lihat cewek semolek ini.
“Maaf. Maaf. Saya takut keselang.”
Sial. Bukan cuma body-nya saja, suaranya juga feminin abis.
“Ini belum ada yang dipanggil kan, ya?”
Seakan belum cukup, aku juga kemudian menyadari bahwa anak ini wangi banget. Wangi yang terlalu otentik untuk diabaikan.
Kaus kaki putihnya panjang hampir mencapai lutut. Rambutnya dikuncir kuda. Dan ketika dia tersenyum, seakan-akan dunia ini tak pernah suram.
Aku sampai pegal menoleh terus ke belakang karena memang sememikat itu rupa anak ini. Kuperhatikan, semua orang di sekitar juga sama terpikatnya. Semua mata mereka bagai tersihir.
Buru-buru kulirik Obi. Syukurlah dia masih fokus dengan game-nya.
Sepertinya cewek SMA itu pemegang antrean awal yang tadi pergi dulu setelah mendapat nomor. Memang banyak yang begitu. Bikin runyam kalau sampai mereka terlambat datang setelah kantor dibuka, karena nanti mesti ada yang diselang, terselang, ditunda, dan sebagainya.
Pengeras suara di depan kantor mulai memanggil nomor antrean. Cewek itu segera masuk. Benar kan ternyata dia nomor satu.
Syukurlah. Artinya dia bakal segera pergi dari tempat ini dan tak lagi menjadi potensi ancaman buat Obi. Aku tinggal memastikan Obi tak pernah melihatnya, apalagi melihat dada kencangnya itu.
Obi sudah berhenti main game rupanya. Ini rada gawat. Aku harus memberi dia pengalih perhatian lain supaya tak beradu pandang ketika cewek itu keluar dari kantor nanti.
“Obi. Kita lihat mobil lagi, yuk,”
Obi menggeleng, lalu bilang, “Minum.”
Ah, bisa-bisanya aku lupa memberi minum. Segera kukeluarkan botol minum yang sudah disiapkan dari rumah. Kuserahkan pada Obi, dan benar saja dia kehausan karena langsung ia tenggak sebotol air minum 600 ml itu sampai habis.
Obi lalu main HP lagi. Oke, setidaknya matanya tidak nganggur. Aku harap-harap cemas menanti si cewek SMA keluar dari kantor. Ada keinginan supaya dia cepat-cepat keluar saja selagi Obi fokus main HP.
Selang beberapa menit, belum juga keluar cewek itu, Obi memberiku kode.
Obi kuajari untuk memberikan kode jika hendak ke kamar mandi. Kalau mau pipis, tempelkan jari telunjuk ke telapak tangan, kalau mau BAB tempelkan jempol.
Obi menoleh ke arahku yang kebetulan sedang memperhatikannya juga. Dia meletakkan jari telunjuknya.
Oke, ini mungkin kesempatan emas. Selama Obi ke kamar mandi, yang mungkin membutuhkan waktu sekitar tujuh menit, kuharap cewek SMA itu keluar, jadi risiko untuk ketemu dengan Obi 0%,
Segera kubawa Obi ke kamar mandi di sisi gedung kantor. Jaraknya tidak terlalu jauh. Sialnya, ketika sampai ruang kamar mandi itu, tak ada seorang pun di dalam sana. Obi merengek minta ditemani. Biasanya kalau di kamar mandi umum ada orang lain, dia akan menunggu sampai orang-orang pergi, tapi kalau sudah kebelet betul dia pun terpaksa pipis sendiri. Dia cukup memahami bahwa aku tidak bisa ikut masuk kalau sedang ada orang lain.
Aku tak punya pilihan kalau situasi kamar mandinya kosong melompong.
Ini akan mempersingkat waktu yang dibutuhkan. Padahal aku butuh Obi berlama-lama di kamar mandi. Kalau dia pipis sendiri biasanya akan lebih lama. Pernah rekor mencapai 15 menit karena ternyata dia bermain-main dengan tombol flush urinoir. Aku harus menunggu ruang kamar mandi kosong untuk menyeretnya keluar.
Obi pipis di urinoir terdekat dengan pintu ruang kamar mandi. Aku celingak-celinguk gelisah, khawatir ada orang masuk.
“Udah belum?”
“Udah.”
“Ya udah. Cuci.”
“Sama Bunda.”
“Hah?”
“Cuci. Titit.” Obi nyengir sambil mengangkat bajunya sampai ke dada.
Tak ada waktu untuk membujuknya. Kalau ada orang datang bisa jauh lebih berabe. Kupencet tombol flush, air pun mengucur deras, kuambil secuplik air mengalir itu lalu kubasuhkan ke kepala penis Obi beberapa kali.
Kini setelah selesai dan keluar dari ruang kamar mandi, aku was-was lagi teringat situasi sebelumnya. Sialnya, Obi ngeluyur saja tanpa ditunda-tunda. Mungkin dia mau segera main HP lagi.
Sesampainya kembali di depan kantor, tidak ada perubahan orang yang mengantre. Aduh, jangan-jangan belum kelar cewek tadi itu.
Untunglah Obi langsung minta HP. Kuberikan HP itu tanpa ragu. Mataku waspada menatap arah pintu kantor. Aku jadi kesal karena ruang tunggu di kantor dukcapil ini sempit sekali. Apa tidak bisa dibikin lebih lebar lagi padahal kan kantor ini didatangi orang-orang setiap hari? Sungguh tidak profesional.
Ketika pikiranku sedikit teralihkan sibuk mengutuki para pejabat, tahu-tahu cewek SMA itu keluar dari pintu. Wajahnya sangat sumringah dan di tangannya dia memegang sebuah kartu. Pasti KTP-nya yang baru jadi. Dia tampak sangat senang sudah punya KTP.
Aku siap siaga memblok bidang pandang Obi. Untungnya anak itu fokus main game.
Kupikir sudah akan terlewati satu masalah pelik ini.
Karena terlalu fokus memblok pandangan Obi, aku tidak memperhatikan posisi kakiku sendiri yang ternyata agak melintangi jalan.
Si cewek SMA tentu saja sama alpa-nya karena sedang senang. Maka terjadilah peristiwa merepotkan itu.
‘BRUG!’ Si cewek tersandung kakiku.
Semua orang kaget. Bahkan Obi. Tapi aku tak sempat memperhatikan Obi karena pikiranku teralihkan ke si cewek SMA.
“Aduh, maaf Bu, saya ga sengaja.” Wajahnya tampak ketakutan campur menahan sakit.
“Kamu ga apa-apa?”
Wajahnya meringis. Tapi dia menggeleng. Ketika kuperiksa, ternyata lututnya berdarah. Aku langsung saja panik. Aku lupa sama sekali dengan Obi dan dampak apa yang ditimbulkan peristiwa ini kepadanya.
“Aduh, berdarah ini, Dek. Ayo duduk dulu.” Aku merasa sangat bersalah. Kenapa keteledoranku harus merusak hari bahagianya?
“Tunggu di sini ya. Saya cari obat dulu.”
“Ga apa-apa, Bu. Saya cari di warung aja.”
“Nggak. Kamu tunggu di sini ya. Duduk.” Aku bergegas bertanya ke orang kantor. Aku sama sekali tak sadar meninggalkan Obi bersama cewek itu dan jarak mereka tak ada satu meter.
Aku sigap mencari kotak P3K, untungnya ada milik kantor dukcapil—meskipun kondisinya kurang bagus karena mungkin tak ada perawatan sama sekali. Segera kutangani luka di lutut anak SMA itu.
Yang gila adalah, dalam kondisi seperti itu pun, aku tetap merasakan aura feminin yang luar biasa terpancar dari tubuh cewek ini. Aku tak bisa membayangkan apa yang dirasakan Obi.
“Maaf ya saya ngerusak hari bahagia kamu.”
Gadis itu buru-buru menggelengkan kepala.
“Nggak, Bu, saya yang minta maaf sudah bikin repot Ibu.”
Sebagai sentuhan akhir, kutiup plester luka yang baru selesai kutempelkan di lututnya. Aku sendiri kurang mengerti kenapa aku melakukan itu.
“Udah. Nanti jangan lupa diganti ya.”
Gadis itu menunduk-nundukkan kepala. Berkali-kali bilang terima kasih.
“Kalau gitu saya permisi, Bu.”
Saat dia beranjak berdiri, tiba-tiba Obi menahan tangannya. Aku terkesiap karena baru teringat lagi pada Obi. Aku tidak sempat berpikir apa-apa.
Obi menengadah menatap lurus mata gadis itu, lalu tangannya yang satu lagi menyodorkan KTP yang ternyata terjatuh di bawah kursi Obi.
Sekilas kubaca nama yang tertera di kartu itu. Mustika Ayu Herlambang. Namanya saja sedap betul.
Dia mengangguk-angguk lagi, “Makasih, Kak.”
Obi melepaskan tangannya tepat ketika Tika mengambil kartu itu. Lalu Tika pun buru-buru pergi. Sebetulnya daripada sakit, dia lebih merasakan malu.
Mata Obi tak lepas dari Tika sampai dia menghilang naik angkot.
Aku terus memperhatikan Obi dengan was-was. Sepeninggal Tika, Obi menatapku. Tatapannya sangat intens hingga aku seakan bisa merasakan apa yang ingin dia sampaikan. Sebagai orang yang paling memahami cara kerja Obi, aku sudah membayangkan skenario terburuk bahwa agenda bikin KTP ini akan harus diulang minggu depan.
Obi menempelkan jari tengah ke telapak tangannya.
Aku sudah menduga. Tidak mungkin Obi tahan dengan godaan sedahsyat Tika. Tapi tak ada salahnya kucoba memberikan reaksi normatif, mengandaikan bahwa selama ini Obi punya kans untuk tidak bertindak impulsif.
Aku menggelengkan kepala sambil kutatap balik Obi seserius yang kubisa. Reaksi Obi ternyata di luar dugaan. Dia melepaskan tatapan tajamnya itu dan menunduk. Lama aku memperhatikan wajahnya. Ada yang beda ternyata. Ada raut yang tak pernah kusaksikan sebelumnya.
Kalau dipikir-pikir, tanda jari tengah yang ia sampaikan pun sepertinya lebih berupa informasi ketimbang permintaan untuk memenuhi tuntutan itu. Biasanya, kalau kasih tanda jari tengah Obi sambil mengerang tak sabaran. Kali ini ia tak bersuara sama sekali.
Apakah anggapanku sebelumnya terlalu pesimis? Apakah agenda bikin KTP kali ini akan berjalan lancar?
Sambil menimbang-nimbang berbagai opsi, kuperhatikan raut wajah Obi lekat-lekat. Aku sungguh penasaran apa yang sedang dipikirkannya. Ini pertama kali dia tampak berusaha menahan diri dari amukan birahi yang kuyakini sedang berkecamuk di dalam dirinya.
Sekitar satu jam kemudian nomor antrean kami dipanggil. Kubawa Obi masuk kantor dukcapil. Tanpa ada bicara, Obi mengikuti semua proses teknis pembuatan KTP itu dengan patuh. Dia hanya sedikit terkesiap ketika terkena blitz kamera yang mengambil fotonya. Aku sungguh takjub.
Beberapa menit kemudian, KTP-nya pun jadi. Obi memandangi KTP itu dengan antusias. Mataku tak lepas dari memperhatikan Obi sampai kami keluar dari kantor itu.
Setibanya di luar, Obi menyerahkan KTP itu kepadaku lalu memberi kode jari tengah lagi.
Ah, rupanya dia menahan diri sampai bikin KTP-nya selesai.
“Udah ga tahan, ya? Di rumah aja mau ga? Kita langsung pulang kok sekarang.”
Obi menatapku tajam dan kali ini menggeleng tegas. Entah kenapa aku merasa lebih terintimidasi daripada biasanya yang dia teriak-teriak dan merengek—sesuai dengan kondisi kelainannya. Kali ini Obi tampak seperti orang dewasa normal. Raut wajahnya.
Aku memutar otak mencari tempat. Tidak bisa di ruang kamar mandi kantor tadi karena bagian bawah bilik WC-nya tidak tertutup. Ada dua opsi, di WC pom bensin atau di WC sebuah masjid. Di WC pom bensin sangat berisiko karena tempatnya lumayan ramai. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil opsi yang satunya.
Kugandeng tangan Obi menyeberang jalan menuju gedung opsi yang satunya. Benar saja tempat itu sangat sepi. Tanpa perlu menyelinap, langsung kubawa Obi ke toilet pria. Ada banyak bilik dan semuanya kosong. Kami langsung memasuki salah satunya—yang paling jauh dari pintu.
Toiletnya tidak terlalu sempit, tapi sayangnya tidak ada WC duduk.
“Buka celananya ya. Sini.”
Aku langsung berjongkok dan dengan telaten melucuti celana Obi. Untung ada kapstok untuk menggantung celananya. Dari balik celana dalam tampak penis Obi sudah sangat tegang. Sebetulnya termasuk hebat sekali Obi bisa menahan konaknya selama lebih dari satu jam. Ini pertama kali.
Kuperosotkan celana dalam itu sampai ke lututnya. Penisnya langsung menyembul. Aromanya yang khas seperti membakar seluruh saraf penciuman di hidungku. Aku sendiri ternyata lumayan horny.
Kukocok pelan penis tegang dan berurat itu. Kudekatkan hidungku, kuhirup aromanya dalam-dalam. Tanganku yang satu lagi langsung menelusuri selangkanganku sendiri. Kusibak gamis longgarku, kutahan sebatas pinggul. Dari luar celana dalam kuusap-usap vaginaku sendiri.
Aku mendongak ke atas. Obi menatapku tajam. Sial, ini benar-benar pengalaman baru. Tak pernah sebelumnya Obi menatap seperti itu. Biasanya dia langsung menunjukkan wajah horny-nya. Kali ini malah seakan-akan aku yang sudah sedari tadi menahan berahi.
Aku tersenyum, kemudian mulai kudekatkan mulutku ke penis Obi. Lalu Obi meletakkan tangannya di kepalaku. Aku pun langsung melumatnya. Sepertinya memang aku yang lebih berahi kali ini.
“SLLRRPP…! Ahh…!”
“Ehhmm…!” Obi mengerang kecil—seperti ditahan. Dan itu sangat merangsang bagiku karena biasanya dia mengerang tanpa ditahan.
Mataku tersenyum sambil mendongak menatapnya.
Tanganku yang mengusap dari luar kini menyusup ke dalam CD untuk mengusap dari dalam. Sudah mulai becek di bawah sana.
“Hmmmhhh…! SLLRRRP! SLRRRP!”
Maju mundur kepalaku menyedot penis tegang anak kandungku ini. Sejak awal kunyalakan keran air deras-deras untuk meningkahi suara kegiatan kami.
Obi mulai merem melek tanda sangat menikmati. Aku jadi tambah horny. Aku pernah baca bahwa salah satu puncak kebahagiaan perempuan adalah ketika melihat wajah pasangan yang sedang dilanda nikmat. Kurasa itu benar, dan karena aku seorang ibu yang melihat wajah anaknya, kebahagiaanku bisa jadi lebih besar.
Tangan Obi yang satu lagi diletakkan juga di atas kepalaku. Dia mulai terbawa suasana. Tapi belum sampai menggunakan tangannya untuk menggerakkan kepalaku lebih cepat.
Hampir lima menit aku menyepong Obi. Aku sendiri sudah sangat basah. Kusudahi saja karena khawatir Obi ejakulasi.
Aku berdiri, kemudian menggulung gamisku di pinggul secara lebih paten. Kuperosotkan CD-ku, lalu kugantung di kapstok. Hal yang sama kulakukan pada CD Obi. Sekarang semua sudah siap.
Aku pun menungging di depan Obi. Obi maju mendekatkan penisnya, siap menerobos vaginaku. Tapi ia berhenti, lalu mundur sedikit. Aku yang sudah sangat horny hampir saja protes.
Aku menoleh ke belakang, Obi sedang memperhatikan penis tegangnya.
“Kenapa sayang?” tanyaku heran.
“Tondom.”
Ah, kok aku bisa lupa ya? Tapi aku jauh lebih heran kenapa Obi bisa ingat. Biasanya selalu aku yang harus menahannya ketika dia mau langsung tancap gas.
Karena sekarang aku yang malah sudah tak tahan…
“Nggak apa-apa. Nggak usah pake kondom.” Sepertinya hari ini masih aman.
Saking tak sabaran, satu tanganku meraih penis tegang Obi agar maju lagi. Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya…
“AHHHHH…!” aku tak bisa menyembunyikan eranganku.
Penis Obi masuk dengan lancar menerobos vaginaku.
Obi diam sejenak, tapi aku yang tidak sabar mulai menggerak-gerakkan pantatku. Obi akhirnya ikut menggenjot dengan kecepatan yang sama.
“Ahhh… Mmmmh… Mmmmhh…” sebisa mungkin kutahan desahanku.
Kedua tangan Obi memegang pinggulku kiri-kanan, dan dia mulai meningkatkan kecepatan genjotannya. Aku sudah tak perlu ikut bergerak. Cukup kunikmati setiap sodokan penis Obi. Aku sedikit malu karena awalnya kupikir aku yang memuaskan Obi, tapi kali ini malah sebaliknya.
Aku menoleh ingin melihat raut wajah Obi. Sambil menjaga kecepatan genjotannya, mata Obi lurus menatap mataku. Lalu ia tersenyum. Ini juga senyum yang berbeda. Bukan senyum polos Obi yang selama ini kulihat. Ada maskulinitas yang meningkat secara drastis di raut wajah itu.
Aku tak bisa menahan diri untuk balas tersenyum juga. Bukan senyum keibuan, tetapi senyum wanita birahi yang sedang menikmati disetubuhi dari belakang.
Tak lama kemudian, sambil kecepatan genjotannya semakin meningkat, Obi berinisiatif meremas pelan kedua payudaraku—meskipun masih dari luar gamis.
“Ahhh… Iya sayang. Terus… Mmmmhhh… Mmmmmhh… Obi pinter.”
Aku hampir mencapai orgasme. Setelah sekian lama, kurasa inilah senggama paling nikmat yang kurasakan. Selama ini bukannya aku tak menikmati bersetubuh dengan Obi, hanya saja kali ini hawanya lain. Dia seperti orang yang berbeda. Obi seperti… normal. Kalau biasanya aku seperti ngentot dengan anak kecil yang tak sabaran, yang hanya mementingkan kepuasannya sendiri, kali ini justru Obi yang seakan-akan sedang menangani birahiku yang tiba-tiba meroket. Seakan-akan aku yang sedang dipuaskan.
Aku bertanya-tanya dalam hati, apa ya penyebabnya? Paling logis sih ini soal pertemuan dengan cewek SMA tadi, si Mustika Ayu.
“AHHH… AHHH… Bunda sampe sayang.” Kalau ada orang di luar, pasti sedikit terdengar desahan klimaks-ku barusan.
Badanku kelojotan, terutama di bagian selangkangan. Obi menghentikan sejenak genjotannya, membiarkanku mengatur napas pasca-orgasme.
“Obi, mau ganti dari depan ga?”
“Hah?”
Kulepaskan penis Obi sejenak, lalu aku berbalik menghadapnya. Satu kakiku kuangkat supaya lubang vaginaku terpampang jelas.
“Sini,” kuminta Obi mendekat. Dia pun mendekat dengan penis tegangnya.
Kali ini aku yang mengarahkan penisnya untuk gol. Dengan bimbinganku, tak perlu banyak basa-basi, sekali tusuk saja langsung ‘SLEP!’.
Satu tangan Obi dengan pengertian langsung menahan kakiku yang terangkat. Kulingkarkan tanganku di bahunya yang bidang. Kami bersitatap seraya Obi mulai menggenjot lagi penisnya.
Selama ini, saat ngentot dengan Obi, biasanya porsi rasa sayangku sebagai seorang ibu lebih mendominasi ketimbang berahi. Tak jarang Obi mengentotku menjelang tidur sambil kunyanyikan nina bobo.
Tapi kali ini aku bingung mana yang lebih besar apakah berahi atau rasa sayang. Rasa sayang ini pun, sepertinya tak lagi hanya rasa sayang ibu ke anak, tapi muncul rasa sayang baru yang dulu mungkin pernah kurasakan pada ayahnya Obi.
Aku sungguh ingin menciumnya, tapi anehnya aku malu luar biasa untuk itu. Aku tidak berani nyosor duluan, aku juga tidak berani meminta Obi menciumku. Padahal biasanya kalau di rumah dia tak pernah permisi-permisi kalau mau mencium bibirku. Tapi kali ini, lihatlah itu, tatapan matanya yang sayu justru menggodaku untuk takluk. Dan aku sangat tersiksa karena hasrat tak tercapai ini (meskipun bagian bawah tetap terpuaskan, hehehe…).
Daripada aku semakin tak kuat menatap matanya, kubuka saja kancing gamisku, lalu kukeluarkan payudaraku yang putingnya sudah tegang tak karuan.
“Obi, nenen sama Bunda sini.”
Kuarahkan kepala Obi untuk mencapai dadaku. Ia pun menurut. Seakan belum cukup kejutan yang kualami, kali ini Obi menservis buah dadaku dengan cara yang sangat berbeda dari biasanya. Dia memulai dengan jilatan-jilatan tanggung, lalu jilatan panjang seperti usapan, baru kemudian sesekali mengenyot. Saat mengenyot pun permainan lidahnya tidak berhenti. Dan tak hanya puting-nya, dia melumat semua bagian bukit kencang ini. Dijilat-jilatnya seperti sedang menjilat es krim.
Satu tangannya meremas pelan payudaraku yang lain.
“Ahhh… Obi pinter banget sih hari ini. Mmmmhhh… Mmmmmmmhhhh…”
Sudah kuyup buah dadaku dilumuri ludahnya, Obi berpindah mengenyoti leherku setelah sebelumnya melepas jarum pentul yang menahan tutupan jilbabku. Ini skil baru yang sebelumnya belum pernah dia tunjukkan.
Obi mengenyot dan menjilati leherku dengan begitu telaten seperti sudah ahli. Aku tak tahu lagi.
“Mmhhhhh… Mmmmmmhh… Obiiii… Sayang… Sssshhhh… Ahhhhh….”
Benar-benar tanpa ampun anakku ini.
Gerakan Obi semakin cepat.
Lalu dalam satu momen yang seperti tiba-tiba, Obi melepaskan cupangannya di leherku, kemudian dia menatap lurus mataku. Tatapan yang terlalu dalam.
Aku kan kaget ya dibegitukan, jadi reaksiku selanjutnya tak bisa kukendalikan.
Kusosor saja bibir manisnya itu. Kueratkan pelukan lenganku di bahunya.
“Mhhhh… Slrlrrhsspp… Mmmmhhhh…”
Aku lupa sedang ada di mana, waktu dan ruang jadi tak lagi relevan.
Obi semakin mempercepat genjotannya. Lalu dia lepaskan ciuman kami tiba-tiba, padahal aku masih belum puas.
“Bunda. Mau clot.”
Aku tersenyum, kemudian menjawab, “Iya, crot aja sayang.”
Obi mengangguk.
“Sini cium Bunda lagi.”
Kami melanjutkan ciuman basah kami, dan beberapa saat kemudian Obi menghujam-hujamkan penisnya di luar kendali, tanda ejakulasi.
Kami masih lanjut saja berciuman.
Obi melepaskan kakiku yang terangkat, otomatis ketika kaki itu turun, penisnya hampir terlepas dari vaginaku karena kini aku berdiri tegak.
Aku melingkarkan tanganku di leher Obi, Obi melingkarkan tangannya di punggungku. Kami terus berciuman sampai tak tahu berapa lama. Baru berhenti ketika terdengar suara orang menyalakan keran air di luar.