Matahari bersinar sangat terik sekali siang ini. Farid baru saja membuka pintu gerbang, ingin secepatnya masuk ke dalam rumah yang sejuk. Ditutupnya kembali pintu gerbang, menuntun motor bebeknya, memarkirnya dengan rapi di garasi samping, segera melangkahkan kaki ke pintu depan. Pintu depan terbuka, sepertinya ada tamu, Farid melihat bayangan orang sedang berbicara dari balik jendela. Kurang jelas terlihat dari pagar sini. Sambil melangkah masuk ia mengucapkan salam.
”Lho…ibu…kapan datang…? Kok nggak ngabarin ? Mana Ayah ?”
”Baru saja ibu sampai.Sengaja tak memberi kabar, sekalian kejutan.”
Baru saja Farid hendak bertanya, budenya sudah memotong pembicaraan
”Sudah, kamu makan saja dulu. Nanti kan bisa ngobrol sama ibumu, sana kamu ganti baju dulu.”
”Iya bude.” Ujar farid
”Sekalian kamu bawakan tas ibumu ini…”
Faridpun mengambil tas yang dibawa ibunya, banyak juga bawaannya. Tak seperti biasanya. Faridpun melangkah masuk ke dalam. Masih bertanya – tanya, kan baru 2 bulan yang lalu ibu berkunjung kemari bersama ayah, kok sekarang sudah datang lagi. Nah sebelum pembaca bingung, ada baiknya dijelaskan dulu semuanya dari awal ya….
Farid, awal 19 tahun, baru saja masuk kuliah tingkat 1 di sebuah Universitas Negeri di kota Yogyakarta, sebentar lagi bersiap masuk tingkat 2, Jurusan Tekhnik. Aslinya dia tinggal di Depok. Tapi karena kuliahnya sekarang, dia tinggal di rumah pakde dan budenya yang memang menetap di Yogyakarta.
Ayahnya, Joko, 46 tahun, orang Jakarta asli, buruh pabrik , bekerja dari awal karir saat masih bujang, kini menduduki jabatan yang lumayan sebagai kepala bagian operator (Kabag) di salah satu Pabrik di Jakarta. Ibunya Lisna, 41 tahun, asli Yogyakarta, ibu rumah tangga. Walau ayahnya orang Jakarta, tetapi ibunya lebih terbiasa memanggil suaminya itu dengan sebutan Mas, bukan abang. Farid mempunyai satu orang kakak perempuan, Ningsih, 21 tahun, sudah menikah. Kini ikut suaminya yang bekerja di Kalimantan. Awalnya setelah lulus SMA, ayahnya menginginkan Ningsih kuliah, tetapi bang Husin, 24 tahun, masih tetangga mereka, yang telah memacari kakaknya dari awal kakaknya SMA melamar kakaknya. Orangtua bang Husin juga memaksa, akhirnya karena kak Ningsihnya juga tak keberatan, dan ayah juga sangat mengenal baik kedua orangtua bang Husin, mereka diijinkan menikah. Awalnya setelah menikah mereka masih tinggal di rumah, tetapi tak lama bang Husin dikirim perusahaan pusat ke Kalimantan. Awalnya bang Husin berangkat sendiri, setelah 3 bulan di sana, setelah merasa mantap, juga karena mendapatkan mess bagi karyawan yang menikah, ia meminta istrinya menyusul. Maklum penganten baru hehehehe. Tentu saja ayah dan ibu awalnya berat melepas anak mereka, tetapi sadar kini kak Ningsih telah menjadi tanggung jawab dan juga hak suaminya. Sedangkan Farid sendiri, sewaktu akhir kelas 3, dia mengikuti program masuk universitas negeri, mengambil jurusan tekhnik yang ia suka. Memilih kota Yogyakarta dan satu kota lain sebagai pilihannya, dan behasil lolos. Memang walau sepintas gayanya seperti malas, tapi otaknya cukup encer. Sebenarnya ayah dan ibunya keberatan, anak perempuannya sudah merantau dibawa suaminya, kini anak lelakinya harus kuliah di Yogyakarta. Tapi untuk menghargai usaha Farid yang bisa lolos dari ujian itu, dan karena di Yogya ada keluarga, maka akhirnya merestui.
Awalnya Farid memang maunya kost saja, tapi ditolak ayahnya. Tak ada yang mengawasi katanya. Di Yogyakarta ini ada kakak ibu, bude Sri, 44 tahun. Suaminya Pakde Harno, 46 tahun, insinyur mesin, bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di alat berat dan mesin industri. Perusahaan pusatnya di Jakarta. Pakdenya bekerja di cabang yang meliputi region Yogyakarta, Solo dan Jawa tengah. Anak mereka 2 orang, perempuan semua. Sebenarnya Farid juga tak asing lagi dengan mereka. Sudah sering berkunjung dan menginap di sana saat libur sekolah atau hari raya. Pakdenya juga amat sangat senang menerima Farid, maklum tak punya anak lelaki. Anak pertamanya, Mbak Santi, 22 tahun, sudah menikah dan kini menetap di Sumatra, ikut suaminya. Suaminya itu pegawai bank swasta. Awalnya kerja di kantor cabang Yogyakarta. Atasannya menyukai dan senang dengan cara kerjanya. Sewaktu ada informasi mengenai posisi yang bagus di cabang Sumatra, atasannya mengajukan dirinya. Sifatnya optional, boleh diambil, boleh tidak, setelah berdiskusi dengan istri dan mertuanya, akhirnya ia mengambilnya, karena selain akan naik jabatan dan memperoleh fasilitas, juga yang menjadi pertimbangan utama.***jinya naik dalam jumlah yang signifikan. Berangkatlah mereka, rupanya sangat kerasan di sana, bahkan suaminya dibajak sebuah bank di sana, mendapatkan fasilitas dan juga rumah dinas yang baik, sepertinya bakalan berkarir penuh selamanya di sana. Anak Pakdenya yang kedua, mbak Sinta, 20 tahun, baru menikah 2 bulan yang lalu, di mana ayah dan ibu Farid juga datang menghadiri acaranya. Menikahnya masih sama tetangga sekomplek. Hampir serumah sama kak Ningsih dulu, pacarnya ngebet minta kawin. Jadilah walau mbak Sinta masih kuliah, namun tetap menikah. Kini tinggalnya cuma beda beberapa blok saja dari sini.Suaminya pegawai Pemda. Mbak Sinta juga tentu saja tetap melanjutkan kuliah. Nah Farid ini menempati kamar mbak Santi, sebenarnya Farid sangat tak enak, karena kamar tersebut sangat bagus dan komplit. Ceritanya sewaktu baru menikah dulu suami mbak Santi merombak sedikit kamar itu. Di bagian luar ada kelebihan lebar sekitar 1.5 meter, ia membuat kamar mandi di dalam, mungkin biar praktis dan nyaman, tak perlu mondar – mandir ke kamar mandi luar. Ternyata tak lama ia bertugas di Sumatra. Jadilah Farid beruntung menempati kamar 4 x 4 dengan kamar mandi di dalam. Pakde dan Budenya, juga mbak Santi, sudah nyaman dengan kamarnya masing – masing dan tak mau menempati kamar mbak Sinta.
Setelah menikah, kamar mbak Sinta tentunya kosong, Pakde Harno yang memang ingin mempunyai ruang kerja juga perpustakaan mini, akhirnya merombak kamar itu. Toh mbak Sinta tinggal hanya beberapa blok saja dari sini, jadi kalaupun datang tak mungkin menginap. Ia meminta bantuan Farid, dikerjakan kalau hari libur, santai saja. Farid tentu saja senang membantu, peralatan kerja Pakdenya juga komplit, mengerjakannya juga santai saja tak buru – buru, setelah beberapa lama mengerjakan jadilah rak – rak untuk buku juga beberapa meja. Farid sebenarnya agak heran kok banyak juga mejanya, tetapi Pakdenya bilang, ruang ini juga untuk Farid. Dan yang lebih menyenangkan Pakdenya memasang internet dan mengganti komputer yang lama dengan yang baru, komplit sama scanner dan printernya, memang untuk mendukung pekerjaan Pakdenyanya juga. Lumayan pikir Farid, nggak perlu ke warnet lagi. Kasur yang lama disimpan di gudang. Pakdenya hanya berpesan, ruang ini boleh Farid pakai, tetapi di luar waktu khusus Pakdenya. Semua anggota keluarga sudah paham mengenai waktu khusus ini. Baik hari biasa atau libur, Pakdenya setiap jam 7 sampai jam 9 malam, rutin meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, baik untuk membaca atau bekerja, dan tak ada yang boleh mengganggu. Dan kini makin asik saja setelah mempunyai ruang khusus. Farid sih tak masalah, toh ia bisa memakainya di luar waktu itu.
Ayah dan ibu mengantar Farid ke Yogyakarta, sekalian mengurus pendaftaran dan administrasi kuliahnya, dan meminta ijin ke saudaranya. Awalnya sewaktu meminta ijin supaya Farid bisa menetap di situ, ayah bermaksud membayar uang tinggal, ya, karena ini kan bukan seperti kunjungan saat liburan. Tentu saja Pakde Harno keberatan, agak tersinggung, katanya ke ayah saat itu. Apa –apaan kau Joko, Farid ini keponakanku, seperti anakku, tinggal saja, tak usah kau malu hati sampai mau membayar uang sewa, memangnya ini kost – kostan. Dan memang Pakdenya ini sangat senang, seperti dapat teman ngobrol sejiwa, maklum nggak punya anak laki, kini dia punya teman diskusi, teman nonton bola saat malam. Memang Pakde dan Farid maniak bola, dulu Pakde kalau nonton malam hanya sendiri, baru bisa mendiskusikannya besok saat ketemu teman di kantor, kini ada Farid yang menemani. Kehadiran Farid seperti anak lakinya sendiri saja.
Untuk uang kiriman bulanan, Farid benar – benar bisa berbahagia, sangat – sangat lebih dari cukup. Ya, maklumlah, ayahnya kan kini berkurang kewajibannya, sudah tak membiayai kakaknya, Ningsih. Jadi bisa melebihkan jatah Farid. Buat makan, paling Farid keluar uang saat di kampus saja, selebihnya dia makan di rumah Pakdenya. Paling ia membeli kopi, susu, gula, dan makanan kecil dalam jumlah agak banyak yang sebagian akan ditaruhnya di lemari dapur, buat keluarga Pakdenya. Selebihnya buat rokok dan bensin. Ayahnya juga membelikan motor bebek, walau bukan baru dan bukan terbitan tahun muda, tapi Farid senanglah, daripada berangkot ria. Pendeknya buat masalah uang, Farid benar – benar makmur, setiap akhir bulan selalu bersisa lumayan banyak, juga bisa lumayan sering traktir temannya.
Normalnya Farid pulang tiap libur semester atau kadang hari raya, kalau ayah dan ibunya tak berhari raya di Yogyakarta. Memang biasanya orangtuanya rolling, tahun ini hari raya di Jakarta dengan keluarga ayah, tahun besok di Yogyakarta keluarga ibu. Ibu hanya 2 bersaudara dengan budenya, orangtuanya sudah tiada, tapi saudara dan kerabat masih lumayan banyak di Yogyakarta dan sekitarnya. Setelah Farid kuliah di sana orangtuanya kadang menjenguknya, ayahnya biasa ijin atau cuti sehari, berangkat kamis malam, nanti kembali Minggu pagi, naik bis atau kereta, kalau lagi banyak rejeki, naik pesawat. Dahulu kalau ayah ibu datang, maka ayahnya akan tidur di kamar Farid, sedang ibunya sekamar dengan mbak Sinta. Jutru ini, sekarang kan kamar itu sudah dirombak, Farid baru ingat hal itu saat ia membawa tas ibunya. Ia terdiam, berbalik kembali ke ruang tamu. Terakhir 2 bulan lalu saat ayah ibunya datang menghadiri kawinannya mbak Sinta, kamar itu masih belum dirubah.
”Eh, bude, kan kamarnya mbak Sinta sudah jadi ruang kerja Pakde…”
”Oh iya, bude lupa…iya Lis, mas Harno sudah merubah kamarnya Sinta buat ruang kerjanya dan juga buat Farid…ya wislah, kamu tidur di kamar Farid sja, tak masalah kan…?”
”Ng..iya deh mbak, di mana saja juga tak masalah.”
Farid segera membawa tas ibunya, kasur peninggalan mbak Santi ukuran besar, maklum kasur ukuran suami istri. Farid memakainya tanpa menggunakan kayunya, cukup di lantai dialas karpet tipis. Biar nanti dia tanya ibu, kalau memang ibu mau sendiri, dia akan ambil kasur yang di gudang, ngegelar di sebelahnya atu di pojokan kamar. Farid segera mengganti baju dan ke kamar mandi bersih – bersih. Saat ia keluar dari kamar mandi, ibunya sudah di kamar.
”Bu..anu..kalau ibu maunya tidur sendiri, biar nanti Farid ambil kasur yang di gudang buat Farid.”
”Ya..ndak usahlah Rid, kasur ini juga besar, kamu nanti di pinggir sana saja.”
”Ya…sudah kalau begitu. Oh ya bu, jadi bagaimana ceritanya nih sampai ibu kemari tanpa pemberitahuan ? Ayah ke mana ? Terus berapa lama ibu nginapnya…?”
”Duh nanyanya satu – satu dong, tolong nyalain kipas anginnya Rid, ibu gerah nih…”
Farid segera menyalakan kipas angin kecil, memang ibunya tak tahan gerah, sudah kayak udang rebus saja saat ini karena cuaca siang ini memang lumayan panas. Dia menunggu ibunya mendinginkan diri sebentar. Setelah sudah agak adem ibunya memulai menjelaskan.
”Ibu memang sengaja tak beritahu kamu. Jadi ceritanya ayahmu itu lagi ada dinas luar, agak lama 2 bulan, di Sulaiwesi. Karena memang cuma 2 bulan dan sayang ongkos, maka ayahmu memutuskan sekalian saja terus disana. Nah ibu kan sendirian di rumah, daripada tak ada kerjaan juga tak ada yang menemani, maka ibu usul ke ayahmu agar selama ia di sana, ibu tinggal di rumah budemu saja. Ayahmu tak keberatan, bahkan mendukung.”
”Oh begitu, sekarang di rumah siapa yang tinggalin bu? Terus memangnya ayah dinas apaan, tumben, biasanya cuma seminggu atau 2 mingguan saja.”
Ibunya menjelaskan, rumah mereka di Jakarta ditunggui sama Mang Jaka, adik ayahnya. Ibu lalu menjelaskan, di kantor cabang Sulaiwesi, tempat ayahnya bekerja, telah terjadi masalah, ada kebocoran serius ( Bahasa halusnya buat korupsi ). Pimpinan dan pegawainya banyak yang dipecat. Dari pusat memutuskan untuk merekrut atau mempromosikan tenaga baru dari daerah itu, tapi tetap harus ditraining dan dibina oleh orang pusat. Juga sekalian membenahi pembukuannya yang sudah disulap sana – sini. Maka ayahnya dan beberapa orang lainnya dikirim ke sana. Nantinya tinggal di mess milik Perusahaan. Ayahnya mau, uang dinasnya lumayan kata ibu…hehehe dasar. Jadi begitulah ceritanya sampai ibunya datang tanpa pemberitahuan. Ya sudah, farid sih senang – senang saja dengan kehadiran ibunya. Tak lama bude memanggil mengajak makan, Farid keluar duluan, ibunya ganti baju dulu lalu menyusul.
Setelah makan, Farid masuk kamar, mau rebahan sebentar, tadi mbak Sinta baru saja datang ditelepon bude yang mengabarkan kedatangan ibu, kini asik mengobrol sama ibunya dan Bude. Farid segera berbaring sambil mulai berpikir. Agak aneh juga nanti harus tidur sama ibunya. Farid memang sayang sama ayah dan ibunya. Ibunya juga sangat sayang padanya, karena Farid anak bontotnya. Ibunya walau begitu, selalu menjaga diri dengan baik, tak pernah sembarangan kalau mengganti baju, tak pernah bebas membiarkan Farid melihatnya. Farid sendiri termasuk anak yang baik dalam hal perilakunya selama ini, tak pernh menyusahkan atau terlibat masalah serius, sekolah juga tak pernah bikin masalah, namun seiring umurnya tentu saja ia juga sudah mengenal dan melewati tahap pubernya. Bahkan untuk urusan seks juga Farid bukanlah anak kemarin sore lagi. Di SMA dulu, sering melakukannya dengan pacarnya, sayang hubungannya putus. Di kuliahan sekarang, ia juga akrab bergaul, beberapa anak mahasiswi di kampusnya kini mulai dalam tahap seleksinya. Dan jujurnya, memang Farid mengagumi dan mengakui kecantikan ibunya. Dan seperti anak remaja yang dalam tahap berkembang, dulu juga sering ia berkhayal mengenai ibunya. Tapi tak lebih dari itu. Farid juga remaja yang normal, sering membayangkan gadis remaja seusianya.
Sewaktu tinggal di Yogyakarta, memang Farid mengakui kalau kedua kakak sepupunya cantik dan Farid juga nggak munafik sering mengagumi dan mengkhayalkan mereka. Namun Farid mendapati dirinya justru lebih menyenangi dan lebih bergairah pada budenya, Sri. Walau usianya sudah 42 tahun, tetapi bodinya tetap yahud. Bahkan tanpa ragu Farid berani berkata bahwa bodi budenya jauh…jauh lebih nafsuin dan jauh lebih mendebarkan dibandingkan kedua kakak sepupunya itu. Pantatnya besar, teteknya apalagi besar dan masih kencang, selalu membuat Farid ngaceng setiap melihat tonjolan kembar itu di balik dasternya. Yang paling menyenangkan Farid, budenya ini suka sekali memakai daster yang belahan lengannya lebar, memang kadang tetap memakai BH, tetapi kalau hari panas atau malam menjelang tidur, umumnya Bude akan melepas BHnya, dan kalau budenya mengangkat tangannya agak tinggi, maka Farid dari samping bisa melihat pinggiran tetek budenya yang besar itu, kadang bebas, kadang terbungkus BH yang ketat, juga pangkalan lengannya yang berketek rimbun. Dan budenya juga entah tak ngeh atau memang tak peduli, cuek saja. Memang sih Farid sebisa mungkin mencuri lihat dengan tak terlalu bernafsu, tak pernah ketangkap basah sedang memandang, jadi tak ketara. Yang paling Farid ingat, waktu siang dia sudah pulang kuliah, setelah istirahat, budenya yang lagi membereskan kamar mbak Sinta yang baru menikah, memanggilnya. Budenya berdiri di atas kursi, menurunkan kardus – kardus di atas lemari, tadinya Farid menawarkan diri menggantikan, tapi nggak usah kata budenya. Budenya berdiri di atas kursi, menjulurkan tangan mengambil kardus, yang agak ke belakang letaknya. Farid menunggu untuk menerima kardus itu. Matanya sangat melotot seakan mau lepas, menyaksikan belahan lengan daster budenya, bagian samping sebelah tetek budenya sangat jelas terlihat, karena budenya rada mencondongkan badan. Besar, walau sedikit turun, tapi sangat seksi terlihat, pentilnya juga besar dari samping. Mungkin karena gerah mengangkat – ngangkat, bude tak memakai BH. Karet CD atasnya juga terlihat Belum lagi keteknya kehitaman dan rimbun, sangat erotis. Kont01 Farid sangat keras sekali saat itu, untung celana pendeknya yang model lebar, kalau nggak bisa tengsin. Mana kardusnya lumayan banyak, agak lama jadinya memindahkannya, sangat memuaskan mata Farid menatap keindahan di balik belahan lengan daster itu, juga sekaligus menyiksa, celananya sangat sesak rasanya. Yang pasti kalau lagi seru bermasturbasi, Farid senang sekali membayangkan budenya itu. Tapi ya itu tadi, cuma bisa berkhayal saja. Tak mungkin berbuat lebih.
Sehari sudah ibu menginap.Ternyata ibunya mengalami sedikit masalah, biasanya kan kalau menginap ibunya selalu tidur di kamar mbak Sinta. Kini ibunya mempunyai masalah, kalau mau ganti baju, dia tak nyaman melakukannya di depan Farid. Farid yang memang tak mempunyai pikiran apapun, awalnya tak menyadari, tetap saja cuek di kamar. Barulah saat ibunya menyuruhnya keluar, Farid sadar…duh repot pikir Farid. Memang tak setiap saat, hanya kalau saat Farid sudah di rumah, tapi lumayan mengganggu. Dari sisi Farid sendiri, ia mengalami masalah juga, baru kali ini di usianya yang sekarang ini ia tidur lagi bersama ibunya. Dulu masih kecil sih sering, tapi itu dulu waktu masih kecil dan belum kenal namanya wanita dan seks. Memang ibunya tidur memakai daster yang besar, atau kadang daster model kaos dan celana pendek. Ibunya tidur di pojokan dekat tembok, dia di sisi satunya. Awalnya sih biasa saja, tapi kala ia melihat ibunya yang tertidur tak urung matanya jadi jelajatan, walau saat itu ibunya tidur dalam balutan busana yang sopan, tapi melihat tonjolan teteknya yang sangat busung itu, tetap saja membuat Farid bereaksi. Membuatnya berkhayal, seperti apakah keindahan di balik daster itu. Untunglah ia mampu mengendalikan dirinya.
Dua hari pertama, ibunya banyak melewati hari mengobrol sama budenya, atau kadang jalan keliling ke saudara. Farid kuliah seperti biasa. Di hari ketiga saat mandi pagi harinya, Farid sedang asik nongkrong sambil merokok, ritual rutin pagi harinya. Ibunya sudah di depan membantu budenya menyiapkan sarapan. Matanya menangkap BH ibunya yang tergantung di gantungan tembok kamar mandi, Farid menatapnya, mulai berpikiran ngeres, ia bangun dan segera mengambilnya, besar juga pikirnya…size 38, Farid mendekatkan hidungnya, aromanya sangat lembut dan wangi, kont01nya mulai mengeras, sesekali ia gesekkan kont01nya ke BH ibunya. Dan tak lama ia sudah asik main sabun, mengocok kont01nya sambil tetap menciumi BH ibunya, sungguh sangat merangsang dirinya. Setelah lumayan lama kont01nya pun ngecret, agak memerah. Farid menaruh kembali BH itu. Farid kini mulai terobsesi untuk benar – benar dapat melihat tubuh telanjang ibunya, bagaimanapun caranya, biar sebentar atau sekali saja, ia harus bisa. Berjuanglah…Farid menyemangati dirinya sendiri. Farid berpikir sambil memandang sekeliling ruangan kamar mandi itu, mata Farid memandang pintu alumunium kamar mandi, pintunya rapat sekali…tapi untuk saat ini saja pikirnya. Memang kalau buat urusan ngeres, otak kadang – kacang bisa menjadi sangat kreatif dan inovatif hehehe. Ia segera mengambil handuk, menutupi tubuh bagian bawahnya, keluar sebentar, ibunya masih di luar, ia segera membuka laci meja di kamarnya, mengambil obeng model double, ia kembali ke kamar mandi, menutup pintunya, melepas handuknya dan memulai kreatifitasnya. Mengukur posisi yang pas buat matanya, agak tinggi di tengah, biar tak perlu terlalu membungkukkan badan, juga sudut pandangan harus luas dan maksimal. Dengan mata obeng kembang, ia mulai mengendorkan beberapa mur, tak perlu terlalu kendor. Setelah kelar, ia balik mata obeng, memakai mata obeng min, ia mulai mencongkel sela sekat alumunium, perlahan dan pelan saja, terciptalah celah yang lumayan nyaman dan tak mencolok mata, kalaupun ada yang melihat tak akan curiga itu sengaja dibuat. Obeng ia taruh di pinggir bak mandi. Ia mengarahkan matanya, mencoba mengintip, nampak ruangan kamarnya dengan jelas. Pas….pikirnya. Apalagi bagian belakang pintu kamar mandi ini tak digunakan untuk menggantung handuk. Ia segera mulai mandi sambil bersiul – siul dengan gembira. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia tutup pintu amar mandi dari luar, mengetes sebentar, sangat jelas…hatinya bersorak. Ups…hampir lupa, ia segera mengambil obeng dan membereskannya. Lalu ia keluar kamar, siap sarapan dan berangkat kuliah. Di luar Pakdenya sudah duduk, minum kopi sambil makan roti. Farid mengucapkan salam, lalu duduk ikut sarapan. Bude dan ibunya nampak sedang asik sarapan sambil menonton acara gosip di TV.
”Hey Rid…nanti malam ada siaran langsung nih..Milan lawan MU, temanin Pakde nonton ya.”
”Iya Pakde, pastilah, seru sih, nanti Farid temanin. Sekalian nanti sore Farid beli cemilan. Megang mana Pakde ?”
”Pasti Milanlah. Kuliah jam berapa Rid..?”
”Nanti jam 9an. Kelar jam 1.”
“Oh gitu…ya sudah, nanti malam ya. Pakde pulangnya mungkin agak malam, maklum di kantor sini lagi sibuk. Pusat baru saja dapat kontrak awal rencana kerjasama dengan Perusahaan pertambangan, sekarang lagi sibuk banget, seleksi tenaga terbaik buat dikirim ke sana. Kalau Pakde sih rasanya berat kepilih, maklum sudah tua, mungkin jatah yang muda.”
”Iya Pakde. Oh iya Pakde, itu komputernya sudah selesai Farid install program – program yang Pakde minta, nanti kalau sempat dicek saja ya.”
”Iya…iya, bagus tuh, Pakde memang butuh program itu, bakal membantu kerjaan Pakde. Sengaja pinjam CDnya sama teman Pakde, sayang Pakde sulit installnya, nggak kayak biasa sih. Rada gaptek.”
”Nggaklah…nanti Farid ajarin deh, nggak beda sama yang biasa, Cuma perlu penyesuaian sedikit.”
Memang Pakde Harno tak terlalu menguasai komputer, kalau install program sebenarnya dia bisa, tapi ya itu, kalau program yang benar dan sesuai, tinggal klik, next, klik, next, finish. Kalau program – program yang seperti ia minta Farid installin memang ia tak paham. Maklum program bajakan. Pakde nggak paham memakai cracknya. Takut salah katanya. Padahal sih tinggal copy exe.nya ke directorynya atau masukin patchnya sesuai direktori installnya. Ya sudahlah Farid sih senang saja membantu Pakdenya yang sudah baik padanya. Dia sendiri juga tak begitu paham program – program yang Pakdenya minta install, lebih ke program buat mesin dan perhitungan yang rumit. Belum ia pelajari di kuliahnya. Akhirnya Pakde dan Farid kelar sarapan dan segera berangkat.
Di kampus Farid sama sekali tak konsentrasi. Pikirannya terlalu penuh bayangan mesum. Setelah jam pertama selesai, ia memutuskan bolos saja mata kuliah selanjutnya nitip absent saja. Mau pulang nggak enak, masih pagi, ya sudah ia kini asik nongkrong di kios – kios dekat kampusnya. Mengobrol sama beberapa anak jurusan lain yang ia kenal. Biasalah, mengobrol ngalor – ngidul sambil merokok bareng, Farid memesan kopi susu. Menawarkan kepada yang lain, yang dengan tanpa sungkan menerima. Ya, betapa rokok dan minuman ringan dapat menjadi media yang menjembati dan menghasilkan persahabatan. Sekitar jam 12 kurang, matanya menangkap sosok cantik yang sudah lama ia suka. Kakak seniornya, Yuni, anak hukum tingkat 4. Sudah beberapa kali Farid mencuri kesempatan mengajak bicara. Awalnya kaku, tapi karena Farid cukup luwes dan juga muka badak, akhirnya mulai akrab. Juga mendapat nomor HP-nya, sesekali Farid kirim SMS. Tapi Farid tetap waspada, selalu berusaha mengajak ngobrol kalau Yuni sedang sendiri. Bukan apa, takut anak hukum pada ngamuk, biar gimana kan dia sudah menjamah lahan dan propertinya anak hukum, bisa dituntut pasal berlapis, pidana dan perdata. Nah itu Yuni sedang foto copy. Farid permisi sebentar sama anak – anak, bilang ke si Joe yang punya warung, nanti dia bayar,nanti dia balik lagi. Farid melangkah dengan pasti, melirik dulu ke sekeliling, takut ada anak senior dari hukum, oke tampaknya aman.
”Hei Yun..”
”Eh…kamu Rid, nggak masuk ?”
”Sudah tadi, tapi mendadak bosan, ya sudah titip absent saja.”
”Dasar..entar ketinggalan lho.”
”Hehehe. Lagi apa Yun..?”
”Oh ini, aku lagi fotocopy bahan kuliah, minjam di perpus.”
”Oh gitu, kamu nggak ada kuliah..?”
”Ada sih, nanti jam 1, Hari ini cuma satu saja, jam berikutnya malas, habis yang masuk asisten dosen doang. Nanggung sih benarnya.”
Farid masih asik mengobrol, akhirnya fotocopyan Yuni selesai, ia membayarnya. Maksudnya Yuni yang bayar, bukan Farid dong hehehe. Farid melirik jam duabelas seperapat, nekad sajalah…
”Yun..eh..sudah makan belum ? Eh anu..kalau belum, mau nggak sekalian sama aku. Aku traktir deh, makan bakso saja di pengkolan, mau nggak..?”
”Duh..gimana ya, aku sebenarnya mau balikkin buku lagi ke perpust…eh tapi enak juga nih kalau ditraktir. Ya sudah deh.”
”Nah gitu dong. Kamu tunggu sebentar ya. Aku ambil motorku dulu.”
Farid bergerak cepat, kembali ke warung minuman, membayarnya, sekalian pamit sama anak – anak, ada bisnis katanya. Anak – anak yang sempat melihat Farid mengajak Yuni mengobrol di kejauhan, hanya memberi semangat sambil bertoast ria dengannya. Iyalah anak kuliahan juga norak, kalau temannya ada yang usaha dekati anak senior, mereka juga ikut senanglah. Setelah beres, Farid ke parkiran. Tak sampai 4 menit ia sudah membonceng Yuni ke warung bakso. Nggak terlalu jauh juga tak terlalu dekat sih, tapi sangat enak dan murah, sering dikunjungi anak – anak kuliahan. Agak ramai siang ini, karena pas jam makan siang, setelah menunggu, akhirnya mereka berdua sudah asik menikmati pesanannya. Farid makan dengan grogi, ya pastilah…nggak nyangka bisa ngajak Yuni. Mereka makan sambil mengobrol. Ngalor ngidul yang penting ngobrol. Sudah kelar Farid membayar dan mengantarkan Yuni kembali. Berhenti sedikit jauh dari gerbang kampus…
”Kok di sini berhentinya Rid..”
”Eh..sori Yun, nggak enak sama angkatan kamu, ngerti kan..”
”Iya juga sih hehehe….ya sudah..makasih ya Rid sudah ditraktir.”
”Bukan apa – apa kok, cuma bakso. Ya sudah aku permisi, selamat kuliah ya.”
Yuni tersenyum, Farid segera melaju, hatinya senang sekali. Nyengir terus sepanjang perjalanan pulang, hampir keserempet angkot…kebanyakan nyengir sih. Tak lama ia sampai ke rumah, jam 1 lewat dikit. Sepi pikirnya, saat mengetok pintu. Diketoknya pintu, tak ada sahutan…sekali lagi, juga sama. Dia mengeluarkan kunci serep jatahnya dari tas, membuka pintu sambil berusaha menelepon HP budenya. Tak lama budenya menyahut, minta maaf lupa SMS Farid. Katanya dia, ibunya, sama mbak Sinta lagi jalan – jalan ke pasar klewer sebentar. Suami mbak Sinta minta dibelikan baju batik buat kerja. Ya sudahlah…Farid mengucapkan salam, mematikan HP. Ia lalu menutup pintu, menguncinya. Setelah ganti baju dan bersih – bersih, ia masuk ke ruang kerja. Ya, mendingan juga browsing. Farid dengan sangat berkonsentrasi asik membuka situs – situs porno kesayangannya, mengamati dengan berdebar model – model yang bertetek besar, bikin ngaceng saja pikirnya…dasar si Farid, kalau ngelihat situs porno ya ngacenglah, kalau mau ketawa ya lihat situs humor hehehe. Jam 3 lewat, karena sudah terlalu pusing dan terlalu keras anunya, Farid mematikan komputer, tak lupa menghapus tracknya. Masuk ke kamar rebah – rebahan. Ia pun tertidur. Rasanya belum lama ia tertidur, bahunya serasa ada yang menggoncang – goncang…duh ganggu saja pikirnya, ia membuka mata. Ibunya, sudah memakai daster, rupanya sudah pulang.
”Hei…bangun dulu sana. Tuh ibu belikan makanan. Kamu belum makan ya ? Kasihan…maaf deh, habis ibu keasikan jalan. Yuk bangun dulu, sekalian temani ibu makan.”
”I..iya bu, bentar, masih ngantuk. Ibu duluan deh. Farid cuci muka dulu.”
”Ya sudah. Cepat ya…”
Tak lama Farid sudah di meja makan. Ibunya membuka bungkusan makanan yang dia beli. Mereka pun mulai makan.
”Bude ke mana Bu…?”
”Tidur..kecapekan katanya.”
”Oh…tadi ke mana saja…?”
”Oh itu…mbakmu Sinta minta diantarin nyari kemeja batik buat suaminya, ya sudah sekalian sajalah, ibu tadi lihat – lihat, sayang tak ada yang bagus buatmu.”
”Nggak bagus apa kemahalan bu hehehe…”
”Hush…kamu ini.”
”Ayah belum telepon bu…?”
”Belum,mungkin repot. Biar nanti ibu yang telepon. Kamu ingatkan ya, takut ibu lupa.”
Setelah makan, Farid membawa piring dan mencucinya. Ibunya duduk di sofa, menyalakan TV. Hobi banget sih nonton acara gosip. Padahal mah itu kebanyakan setingan selebritis saja, buat mengatrol popularitas. 80% seperti itu, yang benarnya cuma 20% saja. Paling malas Farid nonton acara kayak gitu, nggak mutu dan nggak ada manfaatnya pikirnya. Yang untung cuma si seleb saja. Tapi karena saat itu tak ada kerjaan, juga mau tidur lagi tanggung, ia duduk menemani ibunya. Sesekali menyahut menjawab ibunya yang mengomentari berita yang ada. Emangnya gue pikirin pikir Farid, mengenai seleb yang mencalonkan diri jadi bupati. Gila saja yang nyalonin apalagi milih pikir Farid. Akhirnya setelah beberapa berita yang penuh balutan kebohongan, acara selesai. Ibunya menanyakan apakah Farid mau terus nonton, Farid menggeleng, bilang mau ke ruang kerja main internet. Ibunya mematikan TV.
”Ya sudah, jangan sampai terlalu sore main komputernya. Duh sudah sore gini tapi tetap panas. Gerah sekali sih, ya sudah ibu sekalian mandi saja dulu baru istirahat. Kamu tolong kunci pintu rumah dulu ya sebelum main komputer.”
Farid mengunci pintu, lalu menyusul masuk kamar, sengaja tak menutup pintu. Ibunya yang sedang mengambil baju di lemari melihatnya sambil bertanya.
”Lho, katanya kamu mau internetan Rid..?”
”Iya…ini mau ambil USB dulu, ada data yang mau Farid lihat.”
”Oh gitu…wislah…ndak paham ibu.”
Ibunya segera mengambil baju dalam salin, lalu masuk dan menutup pintu kamar mandi. Farid buru – buru menuju pintu kamarnya, pura – pura menutup pintu itu, suaranya sengaja ia keraskan, cukup untuk membuat yakin ibunya kalau ia sudah keluar dari kamar. Ketika pintu kamarnya tertutup, secepat kilat ia mengendap menuju pintu. Ia sudah yakin, ibunya tak bakalan keluar lagi, toh semuanya sudah dibawa ibunya ke kamar mandi. Dengan cepat matanya sudah menempel di lobang yang ia buat itu. Nampak ibunya masih berdiri di kamar mandi, memutar keran air, mungkin menunggu airnya agak banyak. Agak menyamping posisinya. Tak lama ibunya menatap kembali bak mandi lalu mulai bergerak….
Jantung Farid mulai berdetak lebih cepat dari seharusnya, ibunya mulai memegang bagian bawah dasternya, mengangkatnya sedikit, nampak pahanya yang putih mulus, lalu angkat lagi, tampak CD putih yang tebal, lalu perutnya yang rata, lagi…wowww….teteknya yang besar bergantungan dengan indah sekali, kont01 Farid langsung tanpa malu – malu segera mengeras. Teteknya sangat besar dan sekal, masih tinggi, pentilnya coklat dan besar. Mata Farid tak lepas menatap ke tubuh ibunya. Tangan ibunya mulai terangkat, melepaskan daster melewati lehernya, astaga…keteknya sama kayak bude, lebat juga, Farid meneguk ludahnya. Perlahan Farid menurunkan celananya. Walau sedang sangat keras…tapi Farid masih berlogika, ia mengambil kaos kotornya, meletakkan dekat kakinya, buat tatakan nanti. Tangannya mulai mengocok batang kont01nya. Di dalam kamar mandi, ibunya mulai menurunkan CD putihnya…gila…tebal sekali m3mek ibunya, rimbunan hitam nan lebat makin menambah pesona keindahannya. Kocokan Farid makin cepat.
Di dalam ibunya nampak memegang sebentar teteknya, membuat tetek besar itu berguncang. Mungkin melihat apakah ada kotoran yang menempel, sambil nunggu air bak penuh. Ibunya bergerak lagi, mengambil sikat gigi dan menaruh odol. Sesaat kemudian ia mulai menyikat giginya, gerakannya secara otomatis membuat teteknya yang besar itu bergoyang dengan sangat nafsuin. Farid tak melepaskan pandangannya. Akhirnya ibunya kelar menggosok giginya. Tak lama ia mulai mengambil gayung, menyiramkan air ke tubuhnya. Ibunya lalu mengambil sabun, mulai mengusapkannya, di daerah teteknya, kini teteknya nampak mengkilap, licin dan bersabun, makin menambah pesonanya di mata Farid. Farid mengurut – ngurut kontolnya, jantungnya berdebar keras. Nampak ibunya memijat dan menyabuni pentilnya, membuatnya makin mancung saja. Sangat erotis sekali melihat gunung kembar itu bergoyang dan bergerak lincah saat disabuni, licin seperti belut yang mau ditangkap. Lalu ibunya mulai menyabuni pangkal lengannya, bulu keteknya nampak berbuih karena sabun, Farid meneguk ludahnya, terangsang berat dia. Setelah itu ibunya mulai menyabuni bagian perutnya yang rata, lalu punggungnya. Setelah kelar dengan bagian atas, ibunya mulai menyabuni daerah selangkangannya, jembutnya seakan menggumpal karena buih busa sabun, tangannya mulai menyabuni belahan m3meknya sampai ke lobang pantatnya, mata Farid menangkap, daerah belahan pantatnya nampak ditumbuhi jembut yang halus. Farid makin asik saja mengocok kontolnya, sekali – kali ia mengelus kepala kontolnya. Saat ibunya menyabuni kakinya, ia mengangkat satu kakinya bergantian, meletakkannya di pinggiran bak. Farid mengocok kontolnya sangat kuat saat ia menyaksikan m3mek ibunya yang ditumbuhi jembut cukup lebat kini mengangkang lebar, memperlihatkan lobang m3mek yang kemerahan bercampur buih sabun, sungguh membuat nafsunya naik ke ubun – ubun. Sangat cepat ia mengocok kontolya, sesat ia merasakan denyut nikmat menjalar di batang kont01nya, dengan cepat ia mengambil kaos kotornya, menaruhnya di kepala kont01nya…pejunya segera muncrat tak tertahankan. Farid diam sebentar, kont01nya masih tegang, ia masih terus mengintip, menyaksikan ibunya mulai menyiram kembali tubuhnya, seluruh tubuhnya nampak berkilat oleh air, menambah tinggi sensualitasnya. Namun Farid juga paham, walau tak rela tapi sudah waktunya ia cabut. Dengan cepat ia menaikkan celana pendeknya, mengambil kaos bekasnya, menjejalkannya di belakang lemari. Perlahan sekali ia membuka pintu kamarnya, lalu menutupnya kembali dengan perlahan.
Sesampainya di ruang kerja, ia tak menyalakan komputer, hanya duduk saja, jantungnya masih berdebar. Baru kali ini ia melihat tubuh telanjang ibunya, dan sangat – sangat mengguncangnya, tubuh ibunya sangat seksi sekali, tak menampakkan usianya yang sudah 41. Bahkan Farid berani membandingkan dengan budenya, tampaknya keduanya sama – sama menawan. Beda – beda tipislah. Pesona wanita dewasa yang sudah matang yang sangat memabukkan. Kalau awalnya ia hanya terobsesi melihat tuuh telanjang iunya, kini di otaknya mulai timbul pemikiran liar lainnya, yang ia sendiri tahu, bahwa pemikiran ini amat sangat tak mungkin ia lakukan. Mengintip adalah satu hal, tapi kalau lebih lagi, itu mustahil pikirnya. Bisa habis ia dimaki ibunya. Lama Farid melamun jorok, akhirnya jam 5 lewat ia keluar, budenya sudah bangun, sedang menonton TV, Farid menegurnya berbasa – basi. Ia masuk kamarnya. Nampak ibunya sedang tidur, menghadap tembok, istirahat. Farid memperhatikan sebentar, lalu ia mengambil kaos bekasnya tadi, membawanya ke kamar mandi, mau ia bilas sekalian mandi.
Malamnya jam 7, Pakdenya belum pulang. Farid baru kelar makan bersama ibu dan budenya. Kini mereka sedang santai mengobrol. Farid ke kamarnya, mengganti celana dan memakai jaket lalu keluar lagi. Ibunya menanyakan mau kemana.
”Mau ke mana Rid…?”
”Eh mau beli makanan kecil buat nanti nonton bola sama Pakde.”
”Eh Rid sekalian saja antar ibu. Ibu kepingin minum wedang jahe, sudah lama nih tak minum.”
”Ya sudah, ibu ganti baju dulu, Farid tunggu.”
Ibunya lalu berbicara sebentar dengan bude.
”Mbak, aku pergi sebentar ya. Mbak mau..? nanti aku belikan sekalian.”
”Ya sudah. Rid kamu beli yang di dekat pasar saja, enak tuh, sudah pernah ke sana kan..?”
Farid hanya mengangguk. Pakdenya sering mengajaknya ke sana. Semenjak Farid tinggal di sana, kalau malam dan senggang Pakdenya memang sering minta dibonceng keliling cari makanan. Pakdenya malas kalau harus keluarin mobil, jadi lebih sering pergi sama Farid naik motor, sekalian buat teman ngobrol. Farid sih oke – oke saja, sekalian jadi tahu buat referensi tempat makanan yang enak. Ibunya sudah berganti pakaian, kini mereka sudah di jalan. Farid ke mini market dahulu beli cemilan. Setelah itu baru mereka ke sana. Karena sudah malam dan dingin, ibunya duduknya agak rapat. Farid merasakan ada yang empuk – empuk kenyal sedikit menempel di punggungnya. Jadi sedikit bereaksi kontolnya. Tak lama mereka pun tiba. Farid menyalakan rokok, Lisna agak kurang suka sebenarnya, sayangnya suaminya mengijinkan anak ini merokok setelah masuk kuliah, memang suaminya juga merokok. Mereka duduk menunggu pesanan diantar, ibunya memulai percakapan.
”Gimana kuliahmu..?”
”Biasa saja bu.”
”Ya…yang penting kamu tekun saja. Ayah dan ibu pasti mendukung. Ngomong – ngomong sudah hampir setahun kamu kuliah, jangan – jangan sudah punya pacar nih…”
”Ah ibu bisa saja, tadi katanya Farid musti tekun kuliah.”
”Bukan begitu, kalau memang ada yang kamu suka ya jalankan saja kalau memang itu jodohmu.”
”Belum bu, belum…masih mencari yang tepat dan sesuai.”
Pesanan mereka diantarkan, mereka meminumnya sambil ngobrol ringan. Setelah selesai ibunya memesan lagi 2 bungkus buat pakde dan bude. Jam hampir jam 9 kurang saat mereka tiba. Pakde sudah pulang, lagi di ruang kerja. Farid mengantarkan wedang jahe lalu keluar lagi. Ke kamarnya baca buku. Ibu dan bude masih asik ngobrol. Tak lama ibunya masuk kamar, sebelum tidur ibunya menelepon ayah. Farid hanya mendengarkan saja. Setelah selesai ibunya langsung tidur. Farid masih asik membaca buku. Lumayan banyak halaman yang ia sudah baca, matanya sudah penat, ia segera menaruh bukunya. Ia melihat ibunya, nampak sudah terlelap. Sungguh sangat dilematis bagi Farid. Setelah ia mengintip ibunya tadi sore, kini dirinya menyimpan hasrat yang baru, yang jauh melebihi dari sekedar mengintip. Wajah ibunya nampak sangat cantik, Farid memandang dasternya, sayang daster tidur yang saat ini ibunya kenakan yang model besar dan longgar. Lama Farid memandangnya, sambil berkhayal jorok…..ah sudahlah, sudah jam 1 kurang, lebih baik keluar, menunggu bola. Farid pun keluar kamarnya, takut kalau di kamar terus otaknya akan pusing tujuh keliling. Di luar ia menyalakan rokok sambil menonton TV. Masih menonton Film, setelah agak lama, acara siarang langsung siap dimulai. Baru saja ia mau membangunkan Pakdenya, Pakdenya sudah keluar dari kamar. Akhirnya mereka mengobrol sambil menonton bola sambil menikmati kopi dan cemilan. Pertandingannya juga seru. Silih berganti menyerang. Farid dan Pakdenya sesekali berteriak kalau ada moment seru. Sesudah selesai Farid masuk kamar, ngantuk berat langsung tidur. Untunglah pikirnya…jadi nggak ngeres nih otak.
Paginya ia sudah bangun, memang sudah terbiasa, walau nonton bola sampai larut, tapi tetap di pagi hari ia bangun. Setelah selesai sarapan, ia berangkat kuliah. Pulang siang, langsung tidur pulas. Sorenya ia bangun, didengarnya suara air di kamar mandi, segera saja ia berdiri, mengintip, kembali ia terpesona dengan tubuh telanjang ibunya. Tapi tak lama ia mengintip, langsung kembali pura – pura tidur. Ibunya memakai daster model kaos dan celana pendek. Malamnya semuanya asik berkumpul menonton TV, sambil bersantai Sekitar jam 10…byar…pet…lha mati lampu. Ibunya nampak terpekik. Untung tak sampai berapa detik lampu emergency menyala. Memang selain tak tahan gerah, ibunya juga paling takut sama gelap. Kalau gelap biasa saja, yang masih mendapat cahaya dari ruang lain ibunya tak begitu takut, tapi kalau gelap total seperti ini, ibunya sangat takut. Katanya saat kecil dulu, waktu mati lampu, ibu pernah ditakuti sama para sepupunya yang menyamar pakai sprei putih. Ibu menjerit histeris saat itu, makanya ibu samapi sekarang paling takut sama gelap. Mau pakai lilin satu tak masalah, yang penting ada cahaya.
Farid dan Pakde lalu mengobrol sambil merokok di teras, ibu dan bude tetap di dalam. Lama juga mati lampunya, hampir 2 jam kini, belum nyala. Ibu dan budenya sudah masuk kamar. Di kamar Farid juga ada lampu emergency. Farid menyalakan sebatang rokok lagi, kembali mengobrol. Setengah jam kemudian Pakdenya juga mengantuk, akhirnya mereka masuk, Farid mengunci pintu dan jendela. Farid masuk kamarnya, ibunya nampak sudah tidur di pojokan, memeluk guling, agak gelap. Lampu emergencynya di atas lemari sudah agak lemah pancarannya. Farid melihat jendela juga dibuka sama ibunya. Farid segera berbaring di ujung satunya. Sebelum lupa, ia pencet tombol kipas angin, biar pas listrik nyala, kipas angin langsung nyala. Hampir satu jam ia berbaring, susah tidur, gerah, kampret nih pikirnya…bayar listrik saja yang mahal, sekalinya mati, lama benar, sudah hampir 4 jam mati lampu, nanti sekalian saja deh ajak teman kampus demo. Mungkin makiannya berguna juga, tak berapa lama listrik menyala…baguslah pikirnya. Ia segera bangun menutup jendela, takut banyak nyamuk, juga kipas angin sudah menyala. Dan pas ia berbalik mau ke tempat tidur, ia terpana, tadi karena lampu emergency yang tak terlalu terang, ibunya yang tidur di pojokan yang agak gelap dan terhalang guling, matanya tak begitu jelas melihat. Kini setelah lampu terang, ia melihat ternyata ibunya tidur dengan melepas bagian atas dasternya, hanya ber BH saja, mungkin saking gerahnya, tadinya mungkin ia menggunakan daster yang ia lepas sebagai penutup, juga menutupinya dengan memeluk guling, kini setelah terlelap beberapa lama, gulingnya sudah tak ia peluk lagi, dan dasternya sudah lepas. Farid meneguk ludahnya. Pemandangan yang dilihatnya sangat merangsang nafsunya.Tangan ibunya satu terangkat ke belakang kepala, sebagai bantal kepalanya, memperlihatkan rimbunan keteknya, juga teteknya yang besar di balik bungkusan BH yang ketat, sontak kont01nya langsung meronta. Ibunya sudah terlelap, apalagi kini kipas angin sudah menyala. Mulai nyaman dan sejuk. Walau begitu nampak tubuh ibunya masih sedikit menyisakan keringat. Membuatnya berkilat dan mempesona..
Perlahan Farid naik ke tempat tidur, berbaring. Matanya terus menatap pemandangan menggoda di hadapannya. Ampun….pikirnya. 15 menit pertama ia hanya memuaskan diri dengan melihat, celananya sudah sesak sekali. Belahan tetek ibunya sangat jelas sekali. Bahkan Farid bisa melihat pentilnya yang terceplak samar di balik BH yang agak tipis itu. Farid mulai goyah, akhirnya dengan sangat perlahan ia mendekat. Dengan agak gemetar, hidungnya mulai menciumi pangkal lengan ibunya, aroma yang harum dan menggelitik nafsunya mulai tercium. Tangannya terjulur, mulai membelai bulu ketek ibunya, keset dan tebal. Setelah puas, ia beralih…tangannya dengan gemetar memegang BH putih ibunya, terasa keras dan empuk. Sesekali jarinya menyentuh belahan tetek ibunya yang sangat dalam itu. Lama ia menyentuhnya, pentilnya terasa juga walau dibalik BH, ibunya nampak masih tertidur pulas. Makin lama makin timbul keberanian Farid, nekad deh pikirnya, tingal lihat nanti saja, paling kalau tengsin cuma diomelin. Jari jemarinya dengan terampil dan perlahan mulai mengangkat bagian bawah BH ibunya, agak sulit di awalnya, cukup ketat membungkus tetek ibunya, lalu BH itu mulai kendor, dan diangkatnya penutup BH itu sekilas farid takjub karena melihat ukuran tetek ibunya berukuran 38B…jantung Farid berdetak dengan sangat tidak normal kini. Bahkan Farid merasa ia bisa mendengar dentuman detak jantungnya yang berdebar. Tetek besar itu kini terpampang bebas, sangat kencang dengan pentil mengacung sempurna, dihiasi lingkaran kecoklatan yang agak lebar. Tepat saat ia masih mengagumi, ibunya bergeser, kini tidur dengan tubuh miring.
Farid dengan perlahan mulai berbaring, kepalanya tepat di depan tetek ibunya itu. Jarinya mulai menyentuh pentilnya, keras juga empuk, tak lama ia menyentuhnya, ia punya agenda lain. Mulutnya mulai bergerak, pentil itu mulai ia jilati, aroma wangi sabun dan sedikit keringat karena ibunya tadi kegerahan sungguh menimbulkan sensasi wangi yang menaikkan birahinya. Lidahnya mulai menggoyang – goyang pentil ibunya. Lalu ia mulai mengulumnya, menghisapnya lembut, nampak tubuh ibunya sedikit bergerak, tapi masih tertidur. Kontolnya sudah sangat keras saat ini. Satu tangannya menyusup ke balik celananya, memainkan kontolnya. Farid asik sekali mengulum dan menghisap kedua pentil itu bergantian, ibunya masih pulas tertidur, bahkan sesekali ibunya mendesah, membuat Farid makin terangsang, sedikit makin berani, ia mulai meremas tetek ibunya. Saking semangatnya ia menghisap pentilnya dengan kuat. Ibunya tentu saja kelojotan dan segera terbangun, nampak kaget dan terkejut, Farid juga terkejut segera melepaskan mulutnya dari pentil ibunya. Tangannya yang tadi meremas kontolnya juga sudah ia keluarkan. Ibunya segera merapikan BH-nya, menutupinya dengan daster. Suara ibunya pelan saat berbicara takut terdengar keluar, namun nada marahnya tak bisa disembunyikan. Farid memasang muka bersalah dan menyesal.
”FARID..A..apa yang kamu lakukan.”
”Se…sebelumnya Farid minta maaf bu. Ta…tapi tadi saat lampu menyala, Farid melihat ibu yang hanya tidur memakai BH, Fa…Farid jadi ingin merasakan ba..bagaimana rasanya menetek sama ibu. Ma…maafkan Farid bu.”
”Duh…nak, kamu ini sudah besar, sudah tak pantas lagi seperti itu. Ini juga salah ibu, karena gerah makanya tidur hanya seperti ini.”
”Bu…Farid benar – benar menyesal, tapi sungguh tak ada niat lain. Farid hanya mau merasakan menetek saja. Maaf ya bu.”
”Sudah…ibu sebenarnya marah, tapi kali ini ibu maafkan, ingat kamu sudah sebesar ini, sudah tak pantas lagi menetek sama ibu, ada – ada saja kamu.”
”Ya…ya bu…eh…boleh nggak Farid menetek sebentar lagi, tanggung bu.”
”Nggak…nggak…sudah kamu tidur sana.”
Ibunya menunggu Farid pindah ke ujung ranjang, saat Farid berbalik, ibunya segera memakai dasternya, berbaring menghadap tembok, sungguh…Lisna sangat terkejut dengan apa yang Farid perbuat. Macam – macam saja pikirnya. Tapi anak itu tak salah sepenuhnya, salah Lisna juga tidur dengan hanya ber BH saja. Wajarlah anak seusia Farid tergoda. Lisna kemudian kembali memejamkan matanya, ia merasakan m3meknya sedikit basah.
Farid berbaring memunggungi ibunya…nyaris pikirnya. Ia memang sudah memperhitungkan resikonya, dan memang ibunya hanya marah saja. Tak mungkin sampai mengadu ke ayahnya. Farid memang menyesal….sangat menyesal karena tak bisa ke tahap lebih jauh.
Esoknya sikap ibunya sudah seperti biasa. Hanya Farid yang sedikit canggung. Tapi tak urung malamnya Farid meminta untuk menetek sama ibunya, biar bagaimanapun setelah merasakan. Tentu Farid ingin merasakannya lagi, tentu saja ditolak mentah – mentah oleh ibunya. Farid tidur sambil merengut. Pantang menyerah saat tidur esok harinya ia kembali meminta, kali ini dengan rayuan maut dan ancaman. Lisna hanya berbaring saja mendengarkan ocehan anaknya ini.
”Bu…ayo dong…kasih deh, satu kali saja.”
”Nggak…kamu ini sudah bangkotan begini, minta yang aneh – aneh saja.”
”Bu…ibu nggak sayang nih sama Farid.”
”Rid…ibu sayang sama kamu, tapi kalau kamu minta yang aneh kayak gini, tak ada kaitannya sama soal kasih sayang ibu.”
”Ah pokoknya memang ibu tak sayang.”
Lisna hanya diam saja. Walau ia sayang sama anak lelaki bontotnya ini, tentu ada batasnya, nggak mungkin ia mengabulkannya. Lisna memilih diam saja, biar saja pikirnya, nanti juga kalau didiamin, anak itu akan anteng dengan sendirinya. Lagian sudah lama nih bocah nggak pernah kolokan berlebihan, kok sekarang sudah sebesar ini dia mulai lagi. Farid kembali merengek.
”Baik kalau ibu tak mau, nanti Farid nggak akan pernah mau pulang ke Jakarta.”
”Rid…jangan begitu. Tapi kalau kamu tak mau pulang ya nggak apa, ibu juga bisa ngirit jadinya hehehe.”
”Tuh..ibu malah bercanda. Sudah kalau ibu tak mau, biarin nanti Farid bayar perempuan saja buat ngerasain netek. Iya…Farid bakal lakukan itu.”
”Rid…jangan…bahaya tahu, kamu bisa kena penyakit.”
”Biarin…lagian kalau netek doang mana ada sih kena penyakit. Besok Farid mau lakukan deh.”
”Rid kamu ini kelewatan ya. Kamu mikir dong. Aduh nggak tahu deh ibu musti ngomong apalagi.”
Lisna hanya diam saja, berpikir. Susah punya anak laki paling kecil. Kalau sudah maunya suka aneh – aneh. Dia pikir nggak ada resikonya apa bayar perempuan…duh nih anak. Dibilangi malah bisa saja jawabnya, kalau netek saja nggak bahaya. Lisna menghela nafas menatap Farid yang merengut.
”Eh..baiklah, ibu akan turuti, dengan dua syarat.”
Wajah Farid langsung berubah cerah. Dengan agak nyengir ia segera menjawab, ibunya jadi sedikit kesal melihat cengirannya.
”Ya sudah…apa syaratnya bu ?”
”Pertama…ingat ini hanya karena ibu sayang sama kamu maka ibu ijinkan itu juga hanya kali ini aja, tak ada yang lain kali, mau kamu ngambek atau ngapain kek, ibu nggak bakalan kasih lagi.”
”Oke…terus apa lagi bu…?”
”Kedua…jangan pernah kamu membayar perempuan buat hal – hal yang aneh. Jangan, ingatlah ibu dan kakakmu yang juga wanita. Lagipula resikonya Rid. Ibu perlu menekankan hal ini, kamu biar bagaimanapun jauh dari pengawasan ayah dan ibu.”
”Iya bu.”
Lisna lalu diam sejenak, agak ragu, ia mengenakan daster panjang berbahu, mau menurunkan dasternya lewat bahu jelas tak bisa, terlalu sempit, karena belahan lehernya tinggi dan rapat. Dengan sungkan akhirnya ia mengangkat roknya, Farid sekilas bisa melihat pahanya yang mulus juga Sempak merahnya yang tebal, Lisna segera menutupi daerah selangkangannya dengan bantal. Ia kembali mengangkat dasternya, memperlihatkan perutnya yang rata dan mulus, sedikit lagi, nampak bagian bawah teteknya, saat membuka kaitan BH-nya. Farid menatapnya tanpa berkedip, Lisna sedikit risih jadinya.
”Sudah..nggak perlu dilihatin terus sampai melotot begitu, kalau mau netek cepat, kalau sudah, kamu cepat tidur.”
”I..iya bu, bukan melihati, hanya mengamati lebih jauh dulu.”
”Alah…apa bedanya Rid. Kalau kamu tak mau ya sudah, ibu turunin lagi daster ibu. Ibu juga mau tidur.”
Farid tentu saja tak mau ibunya mengurungkan niatnya, segera ia berbaring sejajar dekat ibunya. Mulutnya segera menghisap pentil ibunya. Pentil itu masih setengah mekar saat ini. Lidahnya segera menjilati dan memainkannya. Lisna agak terkejut jadinya, tak menyangka anaknya akan memainkan pentilnya, namun ia hanya diam saja. Ya…sebenarnya para pembaca juga pasti sudah pahamlah niat dan agenda terselubung si Farid sebenarnya. Farid masih asik memainkan pentil ibunya bergantian. Dia ingat sekali, dulu waktu SMA dia sering ngewek sama pacarnya. Dan pacarnya selalu terangsang setiap kali Farid memainkan tetek dan pentilnya. Padahal saat itu tetek pacarnya tak begitu besar, masih dalam tahap pertumbuhan. Dan kini saat ia melakukannya pada tetek ibunya yang besar ternyata efeknya lebih dashyat. Farid merasakan sesekali suara ibunya mendesah tertahan, mungkin tak mau anaknya mendengar, kedua pentilnya sudah sangat besar dan mekar mengacung, terasa nikmat sekali dikulum oleh lidahnya. Farid menghisapnya bervariasi, pelan lembut lalu kuat, berulang – ulang, bahkan ibunya diam saja tak melarang saat Farid makin berani, tangannya kini meremas kuat tetek milik Lisna sambil menghisap pentilnya kuat. Desahannya kini sudah terdengar jelas di telinga Farid.
”Ssshh…Ooohh…sudaaaahhh…yaaa…Rid…”
”Aaahhh…Riddd…sudaaaahhh…..ibuuuu…”
”Ughhh….taaakk……tahhaaaaannnnnn……”
Bantal yang menutupi sempaknya terlepas saat Lisna mengangkat pantatnya, mengejang dan menyemburkan orgasme. Sungguh bahkan dengan suaminyapun ia tak pernah mengalami orgasme hanya dengan dimainkan teteknya atau pentilnya. Mungkin karena suaminya itu, kalau sudah puas main sama teteknya dan ngacengnya sudah keras akan segera menyodok m3meknya. Tapi anaknya ini, Farid amat sangat membuatnya terangsang, lidahnya begitu menggelitik pentilnya, dan mungkin karena yang melakukannya Farid, anaknya sendiri, yang seharusnya tak boleh malah makin membuatnya bergairah, hisapannya yang kuat, sudah begitu Farid sudah lumayan lama menetek padanya. Hampir setengah jam lebih, bukan hanya menetek tepatnya, dibarengi remasan dan permainan lidah yang agresif pada pentilnya. Lisna benar – benar merasakan sekujur tubuhnya dibanjiri kenikmatan. Ia sebenarnya sudah mau menyuruh Farid stop, sudah cukup, pasti anak itu juga sudah puas, tapi ia tak bisa, masih merasakan nikmatnya saat teteknya yang besar ini dimainkan dan diremas sama anaknya ini. Biarkan sebentar saja lagi deh pikirnya toleran.
Farid merasakan betapa sesaknya celana pendeknya, tanpa ibunya sadari, satu tangannya perlahan menurunkan celana dan kolornya sebatas paha, membebaskan kontolnya dari sengsara. Ia masih asik mengulum pentil ibunya, kini pentil itu sudah sangat keras dan kemerahan karana Farid terus menghisapnya dengan kuat. Farid menyadari bantal yang tadi menutupi sempak ibunya kini sudah entah di mana, juga entah ibunya sadar atau tidak. Yang pasti kontolnya yang bebas kini tepat menghadap sempak yang kelihatan tebal itu. Perlahan ia geser pantatnya, sedikit demi sedikit, akhirnya kepala kontolnya menyentuh sempak ibunya.
Lisna masih menikmati hispan pada pentilnya, makin kuat Farid menghisapnya, membuat badan Lisna serasa melayang. Lalu ia menyadari, sepertinya ada sesuatu yang sudah amat familiar sekali menyentuh permukaan sempaknya. Ya..ampun ini kan..ini kan…ujung kontol anaknya. Lisna agak kaget, tapi ia berpikir, mungkin Farid sudah sangat ngaceng, jadi menurunkan celananya karena merasa sesak. Dan karena posisi mereka berdekatan saat Farid menetek, maka wajarlah kalau ujung kontolnya menyentuh permukaan sempak nya, itu bukan kesengajaan. Lisna memutuskan membiarkan saja. Tapi makin lama ia meraasakan sentuhan itu makin cepat, sudah menyerupai gesekan yang konstant, bahkan saat ia agak merenggangkan kakinya karena sedikit pegal dan untuk menyamankan kembali sempaknya yang sudah agak basah menempel, kontol Farid dengan cepat merangsek masuk menempel di antara kedua pangkal pahanya, tepat di bawah sempak-nya. Biarkan saja pikir Lisna, mungkin saat ia agak merenggangkan kakki, tak sengaja kontol anaknya meleset masuk ke antara pahanya. Maka kini kontol Farid berada di antara jepitan pangkal selangkangannya. Lisna bahkan hanya diam saja saat kontol itu mulai bergerak maju mundur….wajar saja, Farid lagi menetek, Lisna agak menggerakkan badannya sesekali, mungkin ia menyesuaikan ritme badannya dengan tetekku yang bergoyang. Lisna sedikit terkejut juga, menyadari besarnya benda yang sedang menempel di pangkal pahanya. Besar dan cukup panjang. Ia merasakan bagian bawah sempak-nya terelus dengan nyaman seiring kontol yang maju mundur di jepitan pahanya. Tak urung ia merasakan m3meknya makin basah saja Saat ini ia merasakan sensasi yang tak biasa. Jujurnya, suaminya sendiri amat memuaskan dirinya. Selalu bisa membuatnya menikmati dan mengalami orgasme setiap berhubungan. Mungkin kini sedikit berkurang frewkensinya, karena usia suaminya tak mudah lagi, namun secara kemampuan, Lisna merasakan cukup dan terpuaskan. Namun saat ini ia merasakan sesuatu yang lain. Ada kenikmatan tersendiri yang menjalari tubuhnya.
Farid menyadari ibunya hanya diam saja, tahap demi tahap, secara perlahan Farid bergerak, kini bahkan kontolnya sudah berada di jepitan pangkal paha ibunya, di bawah selangkangannya, ibunya tak melarang, tetap diam, juga saat ia memaju mundurkan memompa kontolnya. Makin PeDe saja Farid, masih tetap menetek, satu tangannya kini meluncur turun ke bawah, dan mulai diletakkan di atas sempak ibunya. Hanya diletakkan, menunggu reaksi ibunya, tak ada reaksi. Farid mendiamkan saja dahulu, merasakan ketebalan dan nyamannya sempak itu. Lalu setelah agak lama, Farid makin nekad saja, tangannya mulai menyusup ke balik sempak ibunya. Saat itu Lisna tersadar. Ia melarang anaknya, suaranya direndahkan sepelan mungkin. Kontol Farid masih di jepitan pahanya.
”Farid…cukup rid. Jangan melangkah lebih jauh lagi.”
”Ta…tapi bu…”
”Cukup…tadi juga kau hanya minta menetek saja kan, nah sudah ibu berikan, sekarang sudah, cukup, jangan melangkah terlalu jauh. Kita sudahi dan tidur.”
”Ibu…ibu sebenarnya curang, kalau memang dari awalnya ibu hanya mengijinkan Farid menetek, kenapa ibu tak melarang saat kontol Farid mulai menyentuh sempak ibu, bahkan saat berada di jepitan paha ibu, ibu mendiamkan saja.”
”Bu…bukan begitu nak…”
”Memang BEGITU bu. Sekarang saat Farid sudah dalam kondisi BEGINI, ibu malah menghentikan, makanya Farid bilang ibu curang.”
”Te..terus maumu bagaimana…?”
”Paling tidak biarkan Farid menyelesaikannya bu, sampai keluar. Sekali in saja”
”APA..? TIDAK…ibu belum gila nak…..ta..tapi baiklah karena kamu bilang ibu curang, ibu bantu kamu sampai tuntas, tetap dengan posisi ini, di jepitan paha. Ingat, pertama dan terakhir kalinya.”
Farid tak menyahut, sebagai jawaban ia mulai menggerakkan pantatnya, memaju mundurkan kontolnya. Perlahan saja, juga menyerang kembali pentil coklat ibunya dengan hisapan dan kuluman yang kuat. Lama – lama gerakan kontolnya makin cepat, sedikit membuat paha Lisna berkeringat, Lisna sendiri sebenarnya mulai merasakan terangsang, namun mana bisa pikirnya. Tak boleh dan tak mungkin. Karena desakan tubuh Farid, makin lama tubuh Lisna makin mepet ke tembok, sedikit banyak menghambat gerakannya dan justru membuat Farid makin leluasa menekannya. Kontol Farid bergerak cepat, karena terlalu cepat jepitan paha Lisna makin renggang, bahkan sangat renggang, kontol Farid terlepas. Baru saja Lisna hendak menyuruh Farid membetulkannya, anaknya ini sudah bertindak cepat, sangat cepat, tubuh atas Farid menempel ke teteknya, menekannya kuat, tangannya di bawah tak bisa bergerak, satu tangannya di atas dipegang kuat oleh Farid. Sementara entah bagaimana caranya dan cepatnya, satu tangan Farid yang lain sudah mengangkat bagian penutup CD-nya merenggangkannya, dan karena m3meknya memang sudah basah dan mekar, dengan cepat dan mudah kont01 anaknya itu sudah menerobos masuk ke dalam lobang m3meknya, tubuh Lisna bergetar saat kontol Farid menghujam masuk. Ia mau protest dan marah, tapi bibirnya sudah di ciumi dengan kuat oleh anaknya itu. Lisna berusaha memberontak, tapi sia – sia, Farid sudah mulai memompakan kontolnya, tangannya yang tadi mengangkat sempak-nya sudah beralih fungsi, kini sambil memainkan it1lnya. Farid merasakan nikmat sekali m3mek ibunya ini, masih terasa rapat dan hangat. Kontolnya menyodok dengan mantap, keluar masuk tanpa jeda. Lisna masih berusaha melepaskan ciuman Farid, tapi sulit. Sodokan Farid makin kuat saja, tanpa ampun, saat menusuk ke dalam, ia sodokkan sedalam mungkin, belum lagi jemarinya sangat aktif menggelitik it1lnya. Lisna lambat laun mulai merasakan gelombang kenikmatan menghantam dirinya. Sejujurnya sewaktu Farid belum nekad memasukkan kontolnya secara paksa, Lisna juga sudah mulai tak tahan, ia sudah merasakan sangat terangsang dengan gesekan kontol Farid di pahanya. Memang Lisna mudah sekali bangkit birahinya, sedikit rangsangan yang pas akan membuatnya panas. Saat Farid masih memompa kontolnya pada jepitan pahanya, Lisna juga sudah mulai berpikir…entah berapa lama lagi ia mampu menahan gairahnya, ini bukan lagi masalah hubungan ibu – anak, ini masalah gairahnya sebagai wanita. Dan tanpa ia duga, justru saat ia sedikit kendor, anak itu dengan cepat memanfaatkannya. Bukan salah anak itu sepenuhnya, lelaki manapun pasti tak sabar dan merasa puas hanya dengan jepitan paha saja saat lelaki itu sudah sangat terangsang.
Dan kini Lisna mulai menikmati, pantatnya bahkan ikut bergoyang sesekali mengimbangi. Farid juga merasakan perubahan bahasa tubuh ibunya ini, namun ia belum mau melepaskan ciumannya yang sekaligus mencegah ibunya berteriak. Tidak sampai saat yang tepat pikir Farid. Maka ia segera mempercepat sodokannya, makin mempercepat permainan jarinya di it1l ibunya. Badan Lisna mulai bergerak liar, desahannya tertahan mulut Farid. Sodokan kontol anaknya sangat mantap, belum lagi it1lnya yang geli – geli enak. Tak butuh waktu lama tubuh Lisna akhirnya mengejang, menyemburkan orgasmenya. Setelah ibunya keluar, Farid memperlambat pompaannya, perlahan ia lepas ciumannya. Lisna nampak lega, sedikit mengambil nafas…
”Gila kamu Farid….apa…apa yang…”
”Bu…sudahlah, tubuh ibu nggak nolak kan..”
”Bukan itu, tapi kan kamu nggak perlu sekasar tadi.”
”Bu…ini juga karena ibu sendiri, sebenarnya mau tapi belagak nolak. Lagian mana bisa tahan Farid, sudah sejauh ini, juga salah ibu yang paling besar adalah…tubuh ibu terlalu seksi…sungguh sangat merangsang.”
”Ya sudahlah, mau bagaimana lagi, kamu sudah masukin ke dalam m3mek ibu, sekalian saja…tuntaskan sampai selesai, untuk kali ini pake kondom dulu, nggak kenapa. Tapi ingat karena kamu sudah melakukannya juga karena kamu mengakui sendiri kalau kamu terangsang sama tubuh ibu……sebaiknya kamu melakukannya sebaik mungkin, atau ibu tak akan memaafkanmu.”
”Beres…anggap saja sudah dilaksanakan. Bu…celana dalamnya dibuka ya, biar nggak ribet, sekarang agak mengganggu nih, haduh emangnya ibu ada stok kondom? Kalo aku gak ada bu, kalo gak ada gak usah lah bu gak papa…”
”Duh kamu ini, tadi waktu maksa nyodok pertama tadi, nggak ada masalah, setelah ibu melunak, malah ngelunjak, ya sudah cabut dulu kontolmu,biar ibu buka celana dalam ibu, Oh iya pintu kamar kamu kunci dulu takut bude/pakdemu mendadak masuk, iya ibu juga gak ada kondomnya lho rid, lha wong ibu kira dirumah kok, yaudah gakpapa gausah pake kamu keluarin didalem juga” ujar lisna
Farid mencabut kontolnya, ibunya masih berbaring segera menurunkan sempak merahnya, Farid kembali terpesona melihat m3mek ibunya, jembutnya sangat menggiurkan, dan walau m3mek ibunya sudah sangat basah, juga lobangnya kini melebar karena baru ia sodok, tetap terlihat menawan, bahkan lobangnya yang kemerahan itu makin mempesona.
Farid langsung bergegss mengunci pintu kamarnya
Sementara Lisna baru sekarang melihat dengan jelas kontol anaknya ini, sedari tadi hanya menerka dari merasakannya saja. Matanya menatap dengan kagum, sedikit lebih besar dari punya suaminya, juga masih penuh tenaga dan semangat muda. Saat ia masih menatap terpesona, Farid malah sudah asik memainkan m3meknya, pakai mulut dan lidahnya…
”Rid…aduh jangan…kan basah…Rid…”
”Farid…ibu…risiiiiihhh…aaaahhhh…”
Dan Farid memang tak peduli, walau sudah basah dan baru saja ia sodok, tetapi m3mek itu terlalu menggodanya, aromanya harum dan khas. Bahkan sedikit asin rasanya karena cairan ibunya tadi. Lidahnya asik sekali memainkan it1l ibunya, menggoyangnya ke sana kemari. Lobang m3mek ibunya ia sodok, sekaligus pakai jari telunjuj dan jari tengahnya. Lisna mendesah nikmat.
Tak mau kalah, juga tak kuat menahan gairah yang sangat enak, Lisna sedikit mengubah posisi tubuhnya, kini tangannya menggenggam kontol anaknya itu, meremasi biji peler Farid. Tangannya mengocok kontol anaknya yang agak lengket karena cairan m3meknya. Setelah itu tanpa ragu lidahnya mulai menjilati kontol Farid yang kini terasa asin dan gurih. Menjilatinya dengan ganas, bertekad membalas semaksimal mungkin, bukan hanya anaknya yang bisa membuat puas….aku juga bisa. Lidahnya bergerak lincah, kini kontol yang tadinya lengket itu sudah kembali normal, basah oleh jilatannya dan kembali terasa tawar. Lidahnya menggelitik kepala kontol Farid, membuat anaknya sedikit menggoyangkan pantatnya. Lalu hup…perlahan mulutnya mulai mengulum dan menelan kontol itu, amblas sampai batas maksimal mulutnya mampu menelan, saat sudah masuk semua ke mulutnya, ia segera mengemut dan menghisapnya kuat, kontan Farid kelojotan, gilaaaa….ternyata ibu sangat hebat untuk urusan ini pikir Farid yang sementara ini sedang asik memainkan m3mek Lisna. Kontolnya terasa dikulum dan dipompa dengan cepat, enaknya saat bersentuhan dengan bibir Lisna yang tebal menggoda itu. Belum lagi saat mengulum dan menghisap, lidah ibunya tetap aktif menggelitik. Mana tahaaaannnnn……
Lidah Farid masih saja menggoyangkan it1l yang lumayan besar itu, sesekali menghisap dan menariknya lembut. Jarinya juga makin cepat saja menyodok lobang m3mek ibunya itu. Terasa basah dan lengket pada kedua jarinya itu. Dengan gemas ia menarik lembut it1l ibunya, Lisna kelojotan, kembali Farid menggoyangkan it1l itu secepat dan selincah mungkin, lidahnya bergerak tanpa henti. Lisna desahannya agak teredam karena sedang menghisap kont01nya, hanya pantatnya yang bergoyang liar, dan…..Farid merasakan sedikit muncratan orgasme Lisna di jari dan bibirnya. Hisapan di kontolnya terasa sangat kuat saat ibunya orgasme tadi, sampai lemas dengkulnya. Farid segera menghentikan aksinya, dengan perlahan menahan gerakan kepala ibunya.
” Bu , aku mau masukin lagi kontolnya nih udah mentok hehe”
” Yowes, kamu aja yg diatas rid, ibu dah cape”
ujar lisna
Kini ia sudah menindih tubuh telanjang ibunya, kaki ibunya mengangkang lebar, blessss….kontolnya menerobos, langsung memompanya dengan cepat. Nampak tetek besar itu bergoyang sangat menambah nafsunya, Farid segera menciumi ketek ibunya, menjilati dan memainkan bulu ketek itu, aromanya sensual sekali, membuat goyangan dan sodokannya makin cepat. Ibunya hanya terkikik kegelian saja saat ia memainkan mulutnya tadi. Lalu Farid mulai menjilati leher ibunya, ibunya sekuat tenaga berusaha mendorong kepalanya…nggak tahan banget dengan gelinya sapuan lidah Farid, mana saat m3meknya disodok kontol Farid, membuat tubuh Lisna serasa dibanjiri aliran nikmat tanpa jeda. Farid tetap saja menjilati leher Lisna. Tangannya kini meremas kuat kedua tetek ibunya itu bergantian. Pompaannya makin kuat, sangat cepat, kini Farid melepaskan jilatannya, mulai mencium bibir hangat ibunya, yang juga dibalas. Ciuman yang panas dan membara. Pantat Farid bergerak makin cepat seiring sodokannya, kaki ibunya makin mengangkang lebar, sesekali tangan ibunya membelai punggung dan pantatnya. Farid merasakan denyut kenikmatan yang familiar…akhirnya…croot…crooot…pejunya menghantam dengan kuat, menyirami dan membanjiri m3mek ibunya. Mereka terkulai lemas, Farid masih menindih ibunya. Akhirnya ia mencabut kontolnya, lalu bergulir, berbaring di samping ibunya. Setelah berdiam diri agak lama, ibunya yang memulai pembicaraan.
”Rid…ini hanya rahasia ibu dan kamu saja ya. Jangan sampai siapapun tahu, terutama ayahmu. Ibu tak mau membahas ini salah apa nggak, yang pasti ibu menikmatinya. Ya..ibu nggak akan bohong,…….selanjutnya juga boleh kita lakukan.”
”Iya bu…eh, kenapa ibu nggak keberatan…?”
”Duh nih anak nanya lagi…ibu menikmatinya, juga ibu sayang kamu, selama ini ibu nggak pernah mengkhianati ayahmu. Baru kali ini ibu membiarkan tubuh ibu dimasuki lelaki lain selain ayahmu. Itu juga karena yang melakukannya kamu.”
”Iya…tapi awalnya nggak mau kan…akhirnya heheheheh…”
”Ih pakai acara ngeledek lagi. Tapi ingat ya Rid, jangan kamu sampai membayar perempuan buat begituan. Cukup kamu puaskan sama ibu, sepuasmu.”
Farid hanya diam saja, terlalu indah rasanya semua kejadian yang barusan ia alami. Hasrat dan impiannya tercapai, walau awalnya sedikit berliku dan maksa, tapi endingnya jelas, ibunya menikmati dan sudah membuka lebar – lebar gerbang kelanjutannya. Lagi asik ia melamun ibunya kembali berbicara…
”Eng…tapi ibu mau tahu nih…jujur ya, kalau ngelihat kamu barusan sepertinya sudah paham banget nih, jangan – jangan kamu main sama perempuan bayaran ya…?”
”Duh…nggak bu…nggak. Jujur ya, semua pengalaman Farid itu sama bekas pacar Farid di SMA. Awalnya dia yang mengajak, sesudahnya jadi rutin. Tapi sungguh setelah putus dan lulus SMA, Farid tak pernah begituan lagi, sampai saat tadi sama ibu.”
”Ampun…kamu ternyata bandel juga ya. Tapi ingat ya jangan sampai kamu main sama perempuan sembarangan.”
” Yowis ibu mau ke kamar mandi dulu sekalian bersih bersih ” ujar lisna bangun dari tempat tidur
Farid hanya mengangguk senyum saja ke ibunya, membayangkan tubuh ibunya yang selama ini ia bayangkan diam” Kini dapat melihatnya langsung bahkan menikmati seluruh bagian tubuh ibunya
Malam itu saja, 3 kali lagi mereka bergelut dengan panasnya. Paginya Lisna sudah bangun, Farid masih tertidur dengan senyum yang manis tersungging di bibirnya. Lisna memandangnya sejenak, mencium pipi anaknya, lalu ke kamar mandi, sudah mandi saja sekalian pikirnya. Setelah rapi berpakaian ia segera keluar. Di luar mbaknya sudah bangun, suaminya juga asik membaca koran. Lisna mengucapkan salam lalu membantu mbaknya menyiapkan sarapan.