Saat didatangi warga, ibu berusia 50 tahun ini dan anak laki-lakinya berusia 22 tahun tersebut berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.
Keduanya kemudian diminta memakai baju oleh warga dan dibawa ke balai desa setempat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Takut keduanya diamuk massa, akhirnya Hamidah dan Anwar dibawa ke kantor polisi untuk ditindak lebih lanjut.
Warga sebenarnya sudah cukup lama menaruh curiga dengan sikap Hamidah yang sudah setahun lebih berstatus janda. Hamidah menjanda setelah dicerai suami keduanya.
Perbuatan terlarang ini terbongkar berawal dari pengakuan tetangga yang melihat Hamidah bermesraan dengan anaknya di teras rumah.
Hamidah terlihat memeluk dan mencium anaknya secara berlebihan. Ditambah dengan kata-kata mesrah. Padahal anaknya sudah berumur dewasa, namun belum menikah.
Hal itu beberapa kali diketahui tetangganya, terutama saat di rumah itu sedang sepi, hanya ada Hamidah dan Anwar.
Diketahui Hamidah tinggal bersama 3 anaknya. Anak pertama, perempuan berusia 25 tahun yang juga belum menikah. Anak kedua, Anwar. Anak ketiga, perempuan berusia 16 tahun yang masih sekolah.
Gerak-gerik Hamidah dan anak keduanya ini pun kemudian menyebar menjadi perbincangan warga. Kecurigaan warga juga bertambah, karena rumah itu kadang terlihat tertutup rapat saat anak pertama dan ketiga Hamidah pergi.
Sehingga warga pun merencanakan penggerebekan. Saat itu anak pertama dan ketiga Hamidah keluar. Tinggal Hamidah dan Anwar di dalam. Rumah terlihat tertutup dan tirai tertutup rapat, padahal baru jam 7 malam.
Hamidah dan Anwar pun kaget saat tiba-tiba mendengar puluhan warga datang dan masuk ke kamarnya. Kebetulan pintu rumah dan kamar tidak dikunci. Hamidah memang jarang mengunci pintu rumah, sebelum anak-anaknya ada di rumah semua.
Kepada polisi, keduanya mengaku sudah berkali-kali melakukan hubungan badan selama setahun belakangan ini. Anwar kerap meminta jatah ke ibunya saat rumah sepi atau di malam hari saat saudaranya tertidur. Bahkan, kadang ibunya yang lebih dulu minta untuk berhubungan.
***
Awal Mula Cinta Terlarang
Sebagai laki-laki dewasa, Anwar sering melihat video porno di ponselnya. Hampir setiap hari, Anwar membuka situs porno kemudian melampiaskan nafsunya dengan beronani.
Sampailah pada suatu malam, Anwar di dalam kamar kembali melihat video porno di ponselnya sampai libidonya memuncak. Tapi kali ini ia kepikiran melampiaskan ke ibunya karena film porno yang ia tonton berkisah tentang hubungan terlarang ibu dan anak.
Saat itu pukul 11 malam. Kakak dan adiknya sudah tertidur di kamar masing-masing. Sementara ibunya juga tidur di kamarnya.
Hamidah sendiri sebagai wanita setengah baya sebenarnya memiliki wajah biasa-biasa saja dengan kulit sawo matang. Badannya sedikit gemuk dan memiliki payudara yang cukup besar.
Anwar yang pikirannya sudah diselimuti nafsu, memberanikan diri masuk ke kamar ibunya. Hamidah terlihat tidur memakai daster. Bagian bawahnya tersingkap hingga terlihat celana dalam berwarna biru. Tanpa memakai BH, sehingga menonjol puting susunya.
Hal ini membuat Anwar makin bernafsu dengan ibunya. Ia pelan-pelan memegang paha Hamidah supaya tidak terbangun. Ia elus-elus hingga tangannya naik mendekati selangkangan ibunya.
Tangan Anwar berpindah ke puting ibunya yang menonjol di balik daster tipis tersebut. Namun Hamidah mulai bergerak namun masih tertidur. Anwar berhenti sejenak.
Melihat ibunya masih tertidur, tangannya kini berpindah ke selangkangan Hamidah yang tertutup CD. Namun tanpa sadar, tangan Anwar memegang gundukan ibunya begitu keras hingga ibunya terbangun.
Hamidah pun sontak kaget. “Anwar, apa yang kamu lakukan nak? tanyanya dengan nada setengah tinggi.
Anwar hanya diam saja dan tangannya tak beranjak dari vagina ibunya. Nafsu yang menyelimuti kepalanya seakan tak mendengar ibunya. Justru tangan kirinya kini meraih payudara ibunya.
Anwar mencengkram dengan keras payudara ibunya. “Jangan nak,” teriak Hamidah.
Hamidah berusaha menyingkirkan tangan anaknya dari payudara dan vaginanya. Namun tangan anaknya begitu kuat.
Hamidah tak berani berteriak lebih kencang. Takut anak-anaknya bangun dan mengetahui aksi Anwar dan malah bikin malu Hamidah.
“Kenapa kamu lakukan ke ibu nak? tanya Hamidah lagi sambil tetap berusaha menyingkirkan tangan anaknya.
“Aku kepingin bu,” akhirnya Anwar menjawab. Bahkan tangan kanannya kini berusaha masuk ke balik CD ibunya. Ia menjamahnya penuh nafsu.
“Jangan nak,” Hamidah tetap berusaha menolak dan masih memegangi tangan anaknya. Namun tak bisa menghalangi tangan nakal anaknya yang sudah menjamah vaginya.
“Jangan nak,” kata Hamidah mengulang, namun suaranya sudah terdengar pasrah.
Kini tangan kiri Anwar menyelinap di balik daster ibunya dan memegang payudara besar ibunya.
Hamidah tak bisa menahan tangan anaknya. Tubuhnya sudah dijamah oleh anaknya sendiri.
(Bersambung)
Dalam pikiran Anwar, di depannya adalah wanita untuk pelampiasan nafsunya. Pikirannya benar-benar gelap, menutupi akal sehatnya. Ia seperti benar-benar lupa, bahwa di depannya adalah ibunya.
Ia tak bisa menahan gejolak nafsu. Telinganya juga seakan tiba-tiba tuli, tak mendengar suara ibunya dari tadi meminta untuk menghentikan aksinya.
“Anwar, lepaskan nak,” ucap Hamidah seperti merengek.
Anwar tak peduli, vagina dan payudara wanita yang ia jamah langsung dengan tangannya itu adalah yang melahirkannya.
Sementara Hamidah sudah benar-benar tersadar dari tidurnya. Meski menjanda, di usianya saat ini, seks kini bukanlah prioritasnya. Jika pun terbesit tentang berhubungan badan, ia tak kepikiran dengan anak sendiri.
Ia benar-benar menolak, namun tangannya tak kuat menyingkirkan tangan Anwar. Untuk berteriak, Hamidah juga takut. Takut anak pertama dan ketiganya terbangun hingga tahu kejadian ini. Karena ini bisa menjadi aib yang besar. Ia tak mau, kedua anaknya membenci Anwar atau malah membenci dirinya.
Tangan Anwar masih memegang vagina dan payudara ibunya. Tangan kirinya memilin puting ibunya dan jari tengah tangan kanannya berusaha menembus lubang vagina ibunya.
Sementara penis Anwar sudah mengeras sejak nonton film porno di kamarnya. Penis itu mengacung di balik sarung tanpa celana dalam. Seperti siap digunakan menuju ke lubang vagina ibunya. Lubang tempatnya lahir.
Tapi Anwar masih kesusahan memasukkan jari ke vagina ibunya yang kering. Hamidah sadar, tak ada nafsu pada anaknya. Meski sudah dijamah, ia tak merasakan sedikit pun getaran pada tubuhnya yang bisa membuat vaginanya basah.
Anwar tak kepikiran untuk menjilat vagina ibunya agar basah. Tak kepikiran juga untuk menjilati payudara ibunya. Apalagi untuk berciuman dengan ibunya.
Ia kini hanya ingin nafsunya terlampiaskan secepatnya. Ia juga tak mau berlama-lama di kamar ibunya. Takut saudaranya ada yang tahu.
Anwar juga tak kepikiran untuk menyodorkan penisnya ke mulut Hamidah dan memaksanya untuk mengulum penis yang lumayan besar itu. Lumayan besar untuk ukuran standar penis orang Indonesia tersebut.
Tangan Hamidah masih memegangi tangan anaknya yang terus berusaha menjamah bagian penting dan sensitif dari tubuhnya.
Tahu ibunya terus menolak, Anwar pun tiba-tiba menindih tubuh ibunya agar tidak bergerak. Yang dilakukan Anwar itu membuat ranjang kayu itu berbunyi cukup keras.
“Kriek…,” suara itu tak dipedulikan Anwar.
Kini justru berganti, Anwar dengan cepat memegang keras kedua tangan ibunya. Ia mengarahkan tangan ibunya di kanan-kiri kepala Hamidah.
“Bentar aja ya bu, Anwar tidak tahan,” bisik Anwar di telinga Hamidah, seperti sadar kembali bahwa orang yang sedang ia tindih adalah ibunya. Namun tidak dengan nafsunya, ia tak peduli, masih tetap ingin lampiaskan pada tubuh ibunya.
Ibunya hanya geleng-geleng kepala. Isyarat menolak. Tak bersuara. Karena keberatan dengan tubuh Anwar yang menindihnya dengan keras.
“Ibu jangan bergerak lagi, biar segera selesai,” ucap Anwar.
Hamidah kembali hanya geleng-gelang. Tubuh anaknya yang menindihnya membuatnya mulai susah bernafas.
“Nanti kalau berisik, kakak dan adik bangun malah malu kita,” kata Anwar.
Hamidah diam. Bingung. Juga seperti terhipnotis dengan perkataan Anwar. Ia tak mengiyakan, juga tak menolak. Air matanya seperti akan keluar. Kejadian malam itu tak pernah terpikirkan olehnya. Tak pernah kepikiran dalam hidupnya, anaknya sendiri akan menidurinya.
Melihat Hamidah terlihat mulai pasrah di atas kasur, Anwar melepas tangan ibunya pelan-pelan. Ketika ibunya seperti tak memberontak, ia beranjak dari tubuh ibunya.
Anwar berada di samping kanan ibunya dan melepas sarungnya kemudian melempar ke lantai. Hamidah masih terdiam, tubuhnya tak bergerak. Matanya melihat ke langit-langit. Ia seperti pasrah dengan apa yang terjadi berikutnya.
Anwar kemudian menuju bawah kaki ibunya. Di sinilah Hamidah mulai tersadar anaknya sudah setengah telanjang dengan penis yang tegang. Sementara kaos oblong warna hitam masih menempel di tubuh Anwar.
Ini baru pertama kali Hamidah melihat penis anaknya sejak beranjak remaja hingga dewasa. Terakhir kali Hamidah melihat penis anaknya adalah setelah Anwar sunat kelas 4 SD. Setelah jahitan sunat di kelamin Anwar sembuh, ia tak pernah melihat lagi Anwar telanjang. Saat itu, Anwar juga mulai malu terlihat telanjang di hadapan keluarganya.
Melihat Anwar dewasa telanjang dengan penis tegang di hadapannya, perasaan Hamidah masih hambar. Ia biasa saja. Libidonya tak muncul. Gairah seksualnya seperti sudah mati.
Hamidah tetap pasrah dengan apa yang dilakukan anaknya. Ia berharap kejadian malam itu segera berakhir. Ia juga takut anak-anaknya bangun dan melihat kejadian ini. Karena kadang anak ketiganya, tiba-tiba ke kamarnya untuk tidur bersama.
Hamidah melihat Anwar jongkok di atas kakinya. Daster bagian yang setengah tersingkap, dinaikkan oleh Anwar sampai ke perut Hamidah. Kini vagina yang masih terbungkus celana dalam terpampang bebas di hadapan anaknya.
Anwar lalu berusaha melepas celana dalam ibunya. Hamidah masih belum ada respon. Ia benar-benar pasrah. Anwar seakan bisa melancarkan aksinya dengan baik. Ia menarik celana dalam itu hingga lepas dari kaki ibunya dan melemparnya ke lantai.
Vagina tempatnya lahir itu kini ada dihadapannya. Terlihat begitu jelas di depan Anwar. Karena Hamidah tak pernah mematikan lampu kamar saat tidur.
Sementara penis Anwar tak sedikitpun melemah. Terus berdiri dengan keras. Lalu ia melebarkan kaki ibunya sambil melihat wajah ibunya. Secara bersamaan, Hamidah juga melirik ke anaknya saat kakinya dipegang dan dibuka oleh Anwar. Kontak mata pun terjadi di antara keduanya.
Tatapan Hamidah seakan tak percaya ini terjadi. Di dalam hati, ia kembali berharap ini segera berakhir. Juga berharap Anwar mengurungkan niatnya.
Anwar masih terus menatap ibunya. Namun tak ada niat mengurungkan aksinya. Ia menatap ke Hamidah hanya untuk memastikan ibunya tak melawan.
(Bersambung)
Hamidah masih tak tahu sejauh mana anaknya mencumbu tubuhnya yang sudah tak muda lagi itu. Ia masih pasrah dan ingin anaknya segera mengakhiri momen itu.
Anwar kini memalingkan pandangan dari wajah ibunya. Ia mulai menunduk melihat gundukan vagina ibunya. Ia benar-benar yakin untuk melakukan ini. Anwar sudah tak tahan.
Anwar memegang penisnya dan mulai mengarahkan ke vagina Hamidah. Ketika penis itu menempel di mulut vagina ibunya, rasanya tubuh Anwar seperti kesetrum. Rasanya seperti sampai di ubun-ubun juga.
Anwar tahu penisnya susah masuk ke vagina ibunya. Ia hanya menggesek-gesekan dulu. Tapi itu sudah membuatnya nikmat.
Hamidah juga merasakan penis anaknya mulai berusaha masuk ke vaginanya. Hamidah tetap tak ada rasa. Ia masih diam saja berpasrah.
Anwar yang benar-benar tak tahan, mulai berusaha mendorong penisnya supaya masuk. Rasanya seret. Namun Anwar tak peduli. Ia dengan pelan-pelan memasukkan penisnya.
Kepala penis Anwar sudah masuk. Ia cabut lagi sebentar dan memasukkan kembali. Ia mengulangi hal itu beberapa kali.
Kini Anwar berusaha memasukkan penisnya lebih dalam. Pelan-pelan, sudah setengah batangnya tenggelam di vagina ibunya. Anwar terlihat menikmati itu.
“Huuuu, ahhhh,” tak sadar Anwar mendesah dengan nada pelan.
Namun Hamidah mulai merasakan kesakitan. Ditambah ia masih diselimuti rasa takut, kecewa, dan tak percaya apa yang terjadi. Hal itu tentu membuatnya tak akan bisa menikmati apa yang terjadi.
Hamidah memang sudah cukup lama tak berhubungan badan. Bahkan sebelum dicerai suami keduanya, ia sudah berbulan-bulan tak pernah seranjang. Hingga akhirnya resmi bercerai. Pernikahan dengan suami keduanya, tak dikaruniai anak.
Tapi Hamidah tak pernah bermasalah soal kebutuhan biologis. Ia fokus memperjuangkan hidupnya dan anak-anaknya. Apalagi sejak ditinggal suami keduanya.
Meski anak pertama dan keduanya sudah bekerja, ia juga harus bekerja dari pagi hingga siang hari dengan berjualan di pasar. Agar kebutuhan rumah terpenuhi dan ada tabungan untuk sekolah anak ketiganya.
Sepulang dari pasar, ia istirahat sebentar. Lalu sore hari mulai bersih-bersih rumah, cuci baju, hingga memasak. Malah hari, Hamidah sudah kelelahan, ia habiskan waktu dengan nonton tv, hingga kantuk menyapa.
Esoknya, Hamidah harus bangun pagi saat Shubuh. Ia kemudian masak dan bersih-bersih rumah. Pukul 6 pagi ia sudah harus pergi mengambil tahu-tempe di juragannya untuk dijual di pasar.
Kalau dagangannya habis, ia dhuhur sudah pulang. Kalau belum, ia tunggu sampai jam setengah 2 siang. Jika sampai jam itu, habis atau tidak ia akan pulang dan setor uang ke juragannya.
Sisa dagangannya ia jual ke tetangganya. Jika masih tidak habis, terpaksa ia masak sendiri. Jadi anak-anaknya, hampir tiap hari menu makannya adalah tahu dan tempe. Begitulah, kehidupan sehari-hari Hamidah.
Tak terasa, Anwar sudah berhasil memasukkan seluruh batang penisnya ke vagina Hamidah. Lalu Anwar pelan-pelan menarik penisnya dan memasukkannya lagi. Begitu berulang. Anwar pun makin bernafsu.
Vagina ibunya sudah mulai terbuka cukup lebar, tak begitu seret lagi. Seperti muat menampung penis Anwar.
Sementara Hamidah, masih belum nyaman dengan yang ia rasakan. Ia merasa ada yang mengganjal di dalam vaginanya. Ia masih sedikit merasakan kesakitan, karena vagina kering.
Anwar sendiri, tak begitu peduli dengan vagina ibunya yang kering. Ia tetap bisa merasakan kenikmatan.
Rasa sakit jepitan vagina Hamidah di penisnya tak ia rasakan. Anwar kini melayang-layang. Anwar tak melihat wajah ibunya. Ia fokus melihat penisnya maju mundur menembus vagina Hamidah.
Ini bukan pertama kali Anwar melakukan hubungan badan. Di umur 20-an, Anwar melepas perjakanya dengan pacarnya yang sudah tak perawan.
Anwar juga beberapa kali main ke lokalisasi setelah gajian tiap akhir pekan. Ia bercinta dengan perempuan seharga Rp 150 ribu.
Jika punya uang lebih, ada tambahan uang lembur dan bonus, Anwar pun memilih pesan cewek di Michat. Ia akan cari yang cantik sesuai seleranya. Paling mahal ia memesan cewek seharga Rp 400 ribu.
Namun beberapa bulan belakangan ini, ia sudah lama tak jajan. Ia ada tanggungan kredit ponsel di aplikasi. Sehingga uangnya hanya cukup untuk membeli kebutuhannya, beli rokok, bensin, dan nongkrong. Ia juga sesekali ngasih uang ke Hamidah meski tak besar, untuk kebutuhan makan di rumah.
Ketika nonton film porno dan libidonya naik, Anwar terpakasa melampiaskannya dengan onani di kamar mandi. Atau kadang kalau tidak tahan, ia lakukan di kamar dan membersihkannya dengan tisu. Tak lupa ia menutup rapat pintunya.
Hal itu hampir tiap hari ia lakukan, sepulang dari nongkrong dengan teman-temannya. Atau kadang sepulang kerja saat sore hari. Anwar seperti kecanduan nonton film porno.
Sekitar 5 menit ia memaju-mundurkan penisnya di vagina Hamidah, Anwar sudah tidak tahan. Pejunya seakan mau muncrat. Sudah di ujung kepala penisnya.
“Uhhhh,” Anwar kembali mendesah pelan. Ibunya tak mendengar.
Sekarang pilihannya, akan ia lepaskan pejunya di dalam rahim ibunya atau dikeluarkan di luar. Sementara Hamidah tak kepikiran soal itu. Ia masih merasakan sakit di vaginanya dan kepalanya masih bingung dengan yang terjadi. Sedangkan rasa di hatinya sudah bercampur aduk.
(Bersambung)
Hamidah sudah tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya menatap langit-langit dan sesekali melihat wajah anaknya yang seperti tak peduli siapa yang sedang ia cumbu.
Anwar sendiri lebih fokus melihat penisnya memompa vagina ibunya. Kadang-kadang mendongak, melihat wajah ibunya, hanya untuk meyakinkan jika tak ada perlawanan dari ibunya.
Cairan spermanya seperti sudah sampai di ujung kepala penis. Beberapa kali gesekan lagi, sudah pasti akan muncrat.
“Ahhhhh,” Anwar sedikit mengerang lebih keras. Diimbangi dengan gerakan penisnya yang lebih cepat. Hentakan yang begitu keras. Ibunya pun terkaget dan memindahkan pandangannya ke arah Anwar.
“Aduhhh,” suara Hamidah akhirnya keluar, ia kesakitan. Anwar tak peduli. Seperti tidak mendengar. Anwar terus lanjut memompa vagina ibunya.
Beberapa detik kemudian, Anwar tiba-tiba mencabut penisnya dari vagina ibunya. Lalu kemudian lompat ke lantai. Hamidah pun kembali kaget.
“Aduhhh,” ringik Hamidah.
Anwar sudah ejakulasi dan menyemburkan spermanya ke lantai pojok kamar ibunya. Cukup banyak deras sperma yang ia keluarkan.
Entah kenapa Anwar memilih mengeluarkan spermanya di luar, bukan di rahim ibunya.
Anwar yang sudah tersalurkan hasratnya, langsung mengambil sarungnya lalu keluar dan menutup kamar ibunya. Anwar begitu saja meninggalkan ibunya. Tanpa melihat keadaan ibunya.
Ia pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil dan membersihkan penisnya. Setelah selesai pergi kamarnya.
Sementara Hamidah berusaha untuk duduk di ranjangnya. Pikirannya masih kacau. Ia melihat jam dinding, menunjukkan pukul 11.35 malam. Pelan-pelan Hamidah beranjak dari ranjangnya dan menuju kamar mandi. Ia tak memakai celana dalamnya, ia tak tahu ke mana Anwar tadi melemparnya.
Sepanjang perjalanan ke kamar mandi pikirannya seperti kebingungan. Ia lalu kencing dan membersihkan vaginanya.
Saat hendak kembali ke kamarnya, ia menuju kamar anak ketiganya dan ternyata masih begitu terlelap. Sementara kamar anak pertamanya selalu dikunci saat tertidur.
Hamidah menuju ke dapur untuk meminum segelas air putih sebelum menuju ke kamarnya kembali.
Di pojok kamar, ceceran sperma Anwar, dengan cepat ia bersihkan dengan kain kotor, takut anak pertama dan ketiganya tahu kejadian malam itu.
Setelah beres, Hamidah menemukan celana dalamnya yang dilepas Anwar dan memakainya kembali. Lalu ia beranjak ke atas ranjang.
Selimut ia tarik dan menutup tubuhnya. Kembali ia melihat langit-langit. Seakan masih tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan.
Ia sedikit mengingat-ngingat sekilas apa yang terjadi dari awal, apa yang dilakukan Anwar padanya.
Semakin mengingat momen yang terjadi barusan, tubuh Hamidah semakin lemas. Kemudian ia membaringkan tubuhnya dan berusaha untuk tidur.
***
Hari yang Mulai Berbeda
Jam menunjukkan pukul 05.00 WIB. Hamidah masih terlelap tidur, tidak seperti biasanya. Kali ini Hamidah sedikit bangun terlambat. Biasanya ia yang pertama kali bangun pagi di rumah itu.
“Jangan,” teriak Hamidah. Ia kaget ketika anak ketiganya membangunkannya. Ia tiba-tiba trauma dengan kejadian selama. Melihat yang di depannya adalah bukan Anwar.
“Kenapa bu,” tanya anak perempuannya. “Maaf nak, barusan mimpi,” Hamidah berkilah.
“Sudah pukul 5 pagi bu,” kata anaknya. “Ha, ibu kesiangan,” jawab Hamidah sambil memastikanke jam dinding.
Hamidah langsung beranjak dari kamarnya untuk melakukan rutinitasnya. Meski ia merasakan badannya yang tidak enak. Sedikit pegal-pegal dan mulai meriang.
“Ibu seperti tidak enak badan, mangkanya kesiangan bangunnua,” kata Hamidah pada anaknya sambil berlalu.
Sementara anak pertamanya sudah bangun dan membantu melakukan pekerjaan rumah. Lalu siap-siap untuk berangkat kerja. Sedangkan Anwar masih tertidur pulas.
Kali ini Hamidah lebih siang berangkat ke pasar. Ia tetap memaksakan ke pasar meski tubuhnya tidak enak.
“Ibu tidak apa-apa?” tanya anak ketiganya.
Pukul 06.30, Hamidah pun segera pergi ke pasar. “Jangan lupa kakakmu (Anwar) dibangunin, sebelum kamu berangkat (sekolah),” ucap Hamidah lalu keluar rumah.
Anak ketiga Hamidah berangkat sekolah bersama teman-temannya naik sepeda. Cukup ditempuh waktu 15 menit, tidak jauh.
“Kak, bangun,” teriaknya membangunkan Anwar sambil menggedor-gedor pintu kamar Anwar. Ia lakukan berulang-ulang, biasa ia lakukan sampai bangun.
“Iya, cil,” begitu biasa Anwar memanggil adiknya. Tak pernah Anwar memanggil adiknya dengan nama asli.
Diketahui, nama anak ketiga Hamidah adalah Fadian dan anak pertamanya Ratna.
“Kak Anwar, Kak Ratna, aku berangkat dulu,” pamit Fadian pada kedua kakaknya.
“Iya,” sahut Ratna yang sedang menyisir rambut di kamarnya. Sementara Nawar tak menjawab.
Ratna masuk kerja pukul 07.30, sedangkan Anwar masuk pukul 08.00.
Anwar bangun dari tidurnya dan duduk di samping ranjangnya. Pikirannya tiba-tiba ingat kejadian semalam bersama ibunya dan sontak penisnya menegang.
Ia sebenarnya ke kamar mandi, tapi takut ketahuan kakaknya jika penisnya masih tegang. Anwar masih bertahan di kamarnya sambil memegang penisnya di balik sarung.
Jam menunjukkan pukul 07.00 pas, sebentar lagi kakaknya akan berangkat kerja.
(bersambung)