TIDAK lama Mama meninggal, Papa menikah lagi dengan adik iparnya sendiri yang sudah menjanda, atau tanteku.
Hubungan mereka, setahuku sejak Mama sakit, Mama tidak bisa menunaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri, tanteku yang sudah menjanda inilah yang menggantikan posisi Mama melayani Papa di ranjang. Aku pernah memergoki mereka bersetubuh. Satu kali, selebihnya aku tidak tahu.
Aku sempat marah menyaksikan kejadian ini. Mama berbaring sakit, tetapi Papa malah berselingkuh dengan adik iparnya sendiri di kamar sebelah.
Alangkah tidak tahu dirinya mereka mengumbar syahwat di tengah Mama lagi bergumul dengan sakit kanker payudaranya.
Tetapi sekarang mereka sudah menikah secara resmi dan direstui oleh keluarga, aku dan adikku sebagai anak menurut saja.
Aku dan adikku sudah bekerja, kami tidak tinggal serumah dengan Papa dan ibu tiri kami, atau kami tetap memanggilnya Tante. Umurnya 36 tahun, selisih 10 tahun dengan aku. Aku berumur 26 tahun, sedangkan adikku berumur 24 tahun.
Rupanya malaikat pencabut nyawa setelah mencabut nyawa Mama tidak segera meninggalkan rumah kami. Setelah Papa menikah kurang lebih sekitar 1,5 tahun, kami kembali mendapat berita buruk. Papa mendapat serangan jantung mendadak dan meninggal dunia.
Kami diberi cobaan yang sungguh berat, tetapi kalau itu sudah takdir, cobaan seberat apapun, harus kami ikhlas menerimanya, akan tetapi menyisakan sebuah ‘pekerjaan rumah‘ untukku, yaitu mengenai tanteku, atau ibu tiriku.
Maka itu setelah masa duka kami selesai, aku pulang ke rumah hendak menyelesaikan ‘pekerjaan rumah‘ itu bersama ibu tiriku.
“Aku mau bicara, Tante.” kataku.
“Tante minta maaf Ref, kalo dulu Tante pernah mengecewakan kamu.”
“Ya sudahlah Tante, yang sudah lewat tidak usah diungkit lagi. Yang aku ingin bicarakan adalah yang sekarang ini…”
“Tante bersedia keluar dari rumah ini kalo kamu dan Zeco mau menjual rumah ini…” tukas tanteku.
“O… nggak Tante, bukan itu. Aku dan Zeco tidak bermaksud menjual rumah ini karena darah Mama tertumpah di rumah ini sewaktu melahirkan aku dan Zeco,” jawabku. “Tante boleh terus tinggal di sini kalau Tante misalnya, mau menikah lagi…”
“Nggak Rifan, Tante sudah nggak mau menikah lagi…”
“Lho kok…? Tante kan masih muda? Apakah Tante sudah tidak memerlukannya? Untuk urusan makan dan minum, Tante nggak usah khawatir, aku sanggup memenuhi kebutuhan Tante.” kataku.
“Jangan bicarakan dulu masalah ini ya Rif, Tante lagi nggak enak badan.”
Ya sih, tanteku yang duduk di sampingku wajahnya kelihatan pucat dan ia juga memakai mantel di luar dasternya. Tetapi sewaktu ia batuk-batuk aku sempat melihat dari luar mantel tanteku payudaranya yang montok berguncang, sehingga sempat membuat dadaku bergetar untuk beberapa saat.
“Kita ke dokter saja ya, Tante.” ajakku.
“Rifan…” desah tanteku merebahkan kepalanya di pundakku.
Ini sih bukan sakit biasa, kataku dalam hati. Ditinggal mati oleh papaku hampir 3 minggu pasti ‘demam asmara‘.
Di tempat duduk itu aku menyusupkan tanganku ke balik mantel tanteku meremas buah dadanya yang montok dan kenyal. Bibir tanteku semakin melumat liar bibirku. “Mmmphh… ooohhh… Rii..iff…” desahnya.
Aku tidak mau kalah. Lidahku masuk ke dalam mulut tanteku menjelajah rongga mulutnya. Ludahnya terasa manis. Lalu kami saling bertukar ludah. Setelah itu kami meneruskan ciuman kami sampai napas tanteku tersengal-sengal aku baru melepaskannya.
“Maaf Tante,” kataku.
“Kita di kamar aja ya, Rif…” ajak tanteku dengan napas tidak teratur dan matanya sayu. “Disini nggak leluasa…”
Tanteku mengajak aku ke kamar. Di dalam kamar, suasana sewaktu Mama masih hidup tidak berubah. Tempat tidur tidak diganti oleh Papa, hanya mengganti penghuninya saja, yaitu istri barunya.
Sekarang tempat tidur itu ditempati oleh aku yang bertelanjang bulat dengan mantan istri papaku yang juga bertelanjang bulat untuk mulai bercinta.
Aku tidak bisa menolak kenyataan ini.
Mulut tanteku yang dulu dipakai untuk menghisap penis papaku, dan atau pernah dipakai pula untuk menghisap penis mantan suaminya yang menceraikan tanteku setelah 7 tahun menikah karena tanteku dianggapnya mandul, kini dipakai untuk menghisap penisku.
Tanteku memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang hangat. Aku lupa segalanya sewaktu penisku dihisap, disedot bercampur dengan mengocoknya.
Batang penisku yang keras berurat itu digenggamnya erat-erat dengan telapak tangannya seraya diurutnya naik-turun sementara mulutnya menghisap kepala penisku, wawww….
“Ohhh… pantesan Papa tergila-gila pada Tante…” desahku. “Aku seperti melayang sampai langit tingkap ketujuh… jangan sampai keluar, Tante…”
“Ayo masukkan…” suruh tanteku merubah posisinya berbaring mengangkang di kasur.
Tapi tidak segera kumasukkan penisku ke lubang vagina tanteku yang sudah tampak basah terbuka melebar berwarna kemerah-merahan terbakar napsu dan di atasnya terdapat sepetak rambut hitam ikal yang kasar.
Kucium vagina tanteku. Aroma amis menyeruak, tapi kuabaikan saja. Terus kujilat vagina tanteku dengan penuh kenikmatan. Bolak-balik lidahku menyapu belahannya yang berwarna coklat tua itu. Tanteku bergelinjangan.
“Jangan berhenti, Rif… jilat truss…. ohhh…. nikmat…!” rintih tanteku.
Tak cukup hanya di depan vaginanya lidahku beroperasi. Kumasukkan lidahku ke dalam lubang vaginanya. Kujulurkan jauh-jauh berusaha menjangkau rahim tanteku yang katanya matan suaminya mandul itu dan lidahku berputar-putar.
“Ohhhh…. Rifan… ohhh… ohhh… lagi… lagi Rifan, puaskan Tante… bawa serta Tante ke tingkap langit ketujuh… Tante ingin, Rifan…” racau tanteku menjelang masa-masa orgasmenya.
Kelentitnya tampak sudah mencuat. Warna vaginanya juga berubah semakin merah. Kusergap kelentitnya dan kusedot.
“Aggggghhhh…. aagghhhhh…. Rifaa…aannnn…..” jerit tanteku menjepit kepalaku dengan pahanya, sementara kepalanya terdongak dengan mata melotot, lalu iapun kejang-kejang. “Aggghhhhhh…. aagghhhhh….. ooooooohhhhhhh….”
Hanya beberapa detik tanteku sudah orgasme, selanjutnya iapun terkapar lemas dengan napas ngos-ngosan di tempat tidur.
Aku memeluknya dan mencium bibirnya bak pahlawan yang menang perang, sementara tanteku seperti musuh yang dikalahkan. Lama ia baru sadar lalu ia mengambil penisku diarahkan ke lubang vaginanya.
Lubang bekas dipakai papaku, lubang bekas dipakai mantan suaminya, tetapi tetap dengan rakus kudorong masuk penisku dengan satu hentakan yang kuat dan tidak terukur, jlebb… blessssss… masuklah penisku ke dalam lubang vagina tanteku.
Tanteku memejamkan matanya. Air matanya keluar dari pinggir matanya. Ia memeluk aku dan menangis. “Maafkan Tante, Rif. Betapa malangnya nasib Tante. Dari satu laki-laki pindah ke laki-laki lain, seperti tidak puas-puasnya Tante ini. Kini giliranmu…” kata tanteku sedih.
“Semoga ini yang terakhir ya, Tante. Aku sayang Tante kok… aku janji nggak akan meninggalkan Tante…”
“Ditinggal juga gak apa-apa, Rif…” kata tanteku.
Lubang yang pernah dipakai oleh 2 laki-laki ini masih terasa menjepit penisku dengan erat. Entah lubang itu yang sempit atau penisku yang besar. Lalu mulai kugoyang dan kugoncang tubuh tanteku yang berbaring terlentang ditindih olehku di atas kasur itu dengan paha mulusnya yang terkangkang lebar dengan gerakan maju-mundur dan naik-turun.
Penisku yang keras kuusahakan menusuk ke lubang vagina tanteku dalam-dalam.
“Ohh… Rif…. ohhh…” rintih tantemu menikmati tusukan penisku yang bertubi-tubi di lubang vaginanya.
“Enak kan, Tante…?”
“Ya, Rif…”
“Nanti aku keluarkan di dalam ya? Aku mau Tante hamil, mau kan?”
“Mau sayang…” jawab tanteku memeluk aku erat-erat membiarkan penisku penisku terus menghujam lubang vaginanya.
Akhirnya akupun merasa air maniku ingin keluar. Kupercepat gerakan penisku menikam lubang vagina tanteku yang basah. Sejurus kemudian akupun mengejang hebat disertai penisku menyemburkan cairannya yang hangat dan kental ke rahim tanteku.
[ chrooottttttt…. chroooottttttt…. chroootttttt…. chotttt… chotttt…. croootttttt…. crooottttt….. croootttt…. ]
“Aggghh…. Lindaku sayang….” erangku.
[ chotttt… chotttt…. croootttttt…. crooottttt….. croootttt…. chotttt… chotttt…. croootttttt…. crooottttt….. croootttt…. ]
Tanteku mencium bibirku bertubi-tubi. “Mantap sekali… hi.. hi…” katanya tertawa gembira, sementara aku selonjotan di atas tubuh telanjangnya, dadaku menindih kedua payudaranya yang membusung kenyal.
“Ahh… baru sekali saja sudah loyo…” ledeknya.
Hari-hari berikutnya, aku harus berkata dengan jujur, bahwa aku mencintai tanteku. Ia mengurus aku seperti suaminya. Ia menabung gajiku untuk keperluan anak kami nanti bisa kuliah.
Siapa bilang tanteku tidak bisa hamil?
Sewaktu giliranku, ternyata bisa tuh…