Aku sendiri memulai dari seorang buruh cuci, mengucek baju dan kolor kotor orang lain pakai papan gilas siang dan malam. Sampai-sampai tanganku mengeriput, terasa terbakar karena terpapar kimia sabun cuci. Namun berkat sedikit keberuntungan dan kesempatan, kini aku menjadi pengusaha tape singkong brand Ogah Pulang. Omzetnya lumayan untuk memberi makan 15 mulut.
Sepuluh tahun aku berjuang. Getirnya kehidupan aku lewati. Mulai dari dikejar rentenir hingga hampir kena santet karena persaingan bisnis. Semua kunikmati dengan ikhlas.
Kini usiaku 25 tahun dan masih single. Cukup banyak lelaki mendekat, tapi kutolak karena mau fokus bisnis. Setidaknya itu yang kukatakan kepada diriku. Namun hati kecilku tahu, aku sedang menipu diriku. Di hatiku ada dia. Dia yang tidak bisa kumiliki tapi kuharapkan. Bodoh aku memang, tapi aku wanita yang lebih mementingkan perasaan daripada akal. Perasaan ini yang membuatku selalu berkata tidak kepada pria-pria yang mencoba menambatkan perahunya di pelabuhanku.
Dia. Cinta pertamaku. Meskipun antara aku dan dia terpaut usia yang jauh. Tapi di mataku dia pangeran pelindungku. Nahkoda bahtera rumah tangga yang handal. Walau rokok terus menggerus paru-parunya. Sedikit demi sedikit. Membuatnya ia harus masuk rumah sakit beberapa kali.
Suatu hari datang sepucuk surat. Kurir bermotor pengantarnya, bukan burung hantu Harry Potter. Siapa yang masih berkirim surat di zaman sekarang. Hanya orang kuno ketinggalan teknologi yang masih surat-menyurat. Kubaca pengirimnya, oh ternyata orang tuaku.
Aku baca isinya. Tak kuasa aku menitikkan air mata membaca kerinduan mereka kepadaku. Aku pun rindu mereka. Tapi aku ragu untuk pulang. Karena di kampung itu ada sesuatu yang membuatku kecewa dan marah. Sesuatu yang membuatku nekat minggat dan hampir mati di kota. Tapi kata-kata umi, penuh dengan kerinduan yang lara, memohonku untuk kembali.
Ahhh… sedih.
Aku urus segala sesuatunya agar usahaku dapat kutinggal sementara. Dua hari kemudian aku pulang kampung dengan kereta Dwimuka menuju Desa Wangimerbabu, desa penghasil tebu sejak zaman VOC. Dari kursiku aku memandang keluar jendela, menonton gedung-gedung pencakar langit silih berganti, perlahan menghilang menjadi pepohonan, baru kemudian berjejeran ladang-ladang tebu dan gunung Tuktuk, gunung yang mirip perempuan tidur menyamping, memamerkan pantatnya kepada semua orang.
Sayang, penduduk desaku kebanyakan hanya jadi buruh tani di ladang tebu. Padahal mereka dulu pemilik tanah. Tergiur oleh uang banyak, mereka menjual ladangnya berhektar-hektar. Namun mental mereka tidak siap. Bukannya memutar uang itu, melainkan habis sekejab hanya untuk membeli mobil-mobil mewah atau kawin lagi dan beranak pinak. Kini mereka harus menghisap ‘azab’ bekerja untuk orang lain demi hidup di tanah bekas milik.
Setelah 6 jam perjalanan aku tiba di stasiun Wangimerbabu. Stasiun ini pernah jadi saksi baku tembak antara pejuang Indonesia dengan penjajah belanda. Bahkan tumpukan perisai karung isi pasir berlubang peluru masih dibiarkan berada di depan pintu exit. Cipratan noda darah pejuang terlukis di kanvas karung goni.
Waktu menunjukkan jam makan siang. Di depan stasiun kereta api menanti “ojek-ojek” berkuda. Aku naik ke salah satu kereta kuda dan meminta Mang Kusir mengantar aku ke rumah.
“Teplak, teplok, teplak, teplok,” suara ladam kuda membawaku menyusuri jalan berpagar pepohonan Mahogani nan rimbun. Bau rerumput dan sesekali bau tai kuda di jalan mewarnai perjalananku. Orang-orang yang kami lewati menganggukkan kepala menyapa. Kampung ini masih seperti dulu, alamnya, orang-orangnya, aromanya. Seolah waktu berjalan sangat lambat di tempat ini. Sesekali aku mengusap kedua lenganku atasku untuk menghangatkan badan. Di sini memang lebih dingin dibandingkan Jakarta.
Tibalah aku di depan sebuah rumah yang sudah terlihat tua. Warnanya tidak secerah dulu. Material bangunannya masih bambu. Namun atapnya sudah berubah menjadi genteng tanah liat. Aku turun dari delman. Ada sedikit perasaan bersalah, karena belum merenovasi rumah ini.
Seorang berusia 40-an keluar dari pintu memeriksa siapa yang datang. Mataku berkaca melihat sosok dengan rambutnya yang kini sudah bergaris uban. Ketika orang itu melihat aku, seketika wajahnya berubah.
“Siti!” teriak umi tertahan dan menutup mulut, kemudian ia berlari hampir terseok-seok jatuh untuk memeluk aku. “Siti kamu pulang!” Ia melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil mendapatkan permen kesukaannya. Kedua lengannya memelukku erat, seakan takut aku akan melayang pergi jika tidak.
Tak lama kemudian seorang bertubuh tinggi muncul keluar dengan membungkuk. Pintu rumah kami memang pendek untuk mengingatkan penghuninya untuk selalu merendahkan hati.
“Putri abi sudah kembali…”
Abi terlihat ragu-ragu untuk menghampiri aku. Aku menatapnya tajam. Tapi sedetik kemudian aku yang langsung berlari kepadanya dan memeluknya. “Iya Siti sudah kembali.”
“Ayo masuk…masuk…,” kata umi menarik aku ke dalam rumah. Bagian dalam rumah ini hampir-hampir tidak ada yang berubah. Semua posisi perabot masih sama. Bahkan kotak plastik tempat menyimpan karet gelang masih sama. Aku tahu karena ada coretan nama aku dengan spidol permanen Swallow di tutupnya.
“Sini…” Umi mengantarkan aku ke kamarku. Kamarku yang kecil itu masih bersih dan terawat. Boneka teddy bear pink pemberian teman abi dari luar negeri masih duduk di sudut ranjang
“Abimu yang merawat kamarmu. Dia selalu bilang, jaga-jaga kalau kamu pulang.”
“Uuuu so sweet,” ujarku.
“Apa itu sosuit?” tanya umi yang tak paham Inggris. Maklum dia hanya diizinkan sekolah sampai SD oleh kakekku. Seperti wanita-wanita kebanyakan di kampung ini. Karena pemikiran orang desa masih kolot. Wanita ditakdirkan untuk masuk dapur saja.
“Manisnya…,” jawabku, “Terimakasih abi.”
Aku memeluk abi, sampai ia jatuh ke atas kasur.
Umi menjitak kepalaku. “Abimu sudah tua, remuk nanti kamu timpa gitu. Kalau umi jadi janda, kamu mau tanggung jawab.”
Aku tertawa.
“Kamu berapa hari di sini?” tanya abi.
“Tidak lama-lama, umi. Siti hanya berkunjung sebentar dan harus kembali ke kota.” Aku belum menentukan pasti berapa lama aku akan di sini. Antara kangen dan kewajiban di kota masih tarik-menarik
“Kenapa hanya sebentar. 10 tahun kamu tidak pernah pulang. Nunggu abi dan umi masuk kubur dulu, iya?” protes umi. Ia tampak sedih dan agak kecewa
Aku merasa bersalah, karena sudah selama itu aku memang tidak pulang. Aku bangun dan peluk umi. “Kan Siti sudah pulang, jangan marah-marah donk…,” rajukku.
“Biarkan anak kita istirahat dulu. Capek kan dia,” kata abi.
Mata umi berkaca-kaca menatapku sambil mendongak sedikit. Aku sudah jadi lebih tinggi dari umi. Setelah melepas rindu sebentar, mereka membiarkanku beristirahat.
Waktu menunjukkan jam 4 sore abi mengajakku berjalan-jalan ke hutan di belakang rumah. Kami melewati jalan setapak yang terbentuk karena rumput liarnya mati sering terinjak. Sampailah kami di sebuah pohon besar dengan ayunan terbuat dari ban. Tali goninya masih kokoh menggantung di dahan, meski sedikit termakan waktu. Bagian dalam ban sudah tumbuh rerumput liar. Aku duduk di atasnya. Kakiku rapat menjejak, mendorong ban itu ke belakang, kemudian wuiiiiiii…. Aku berayun seperti masa kecil. Aku ingat abi yang buatkan ayunan ini kala dulu sedang bersedih. Karena sahabatku, Joni dipotong dan digoreng ibu. Ya, kalian tak salah dengar. Aku baru tahu saat menyantap pahanya dengan lahap waktu makan malam. “Hemm… ayam goreng yang lezat!”
“Kamu selalu suka bermain dengan ayunan ini,” kata abi.
“Ya… dan abi selalu menemani Siti dan mendorong bannya, sampai melayang tinggi.”
Abi tertawa kecil mengingat itu. “Ya, terkadang abi khawatir mendorong bannya terlalu jauh, dan kamu akan terjatuh. Tapi kamu selalu minta abi mendorong lebih kuat.”
Kami lanjut berjalan menuju sungai. Airnya dingin segar. Arusnya sedang saja. Dalamnya setengah betis. Tapi kalau tidak hati-hati, airnya bisa menyengkat keseimbangan. Karena bebatuan di bawahnya agak licin. Saat kami hendak menyeberanginya. Aku melompat ke punggung abi dan berkata, “Gendong…”
“Kamu kan sudah gede bisa sendiri.”
“Ya ga apa-apa, mau aja di gendong kayak dulu.”
“Kamu berat…”
“Ih. abi sopan sekali. Sensitif tahu…,” aku cemberut. Aku jadi merasa bersalah dengan pola makanku yang rada banyak menyantap junk food akhir-akhir ini.
Abi tertawa. Hop! Hop! Ia mementalkan tubuhku lebih ke atas agar posisinya lebih mantap. Kemudian merangkul kakiku. Abi melangkah, menggendongku menyeberangi sungai itu. Setelah sampai di seberang abi berkata, “Kereta sudah sampai, silahkan turun nona.”
Aku melompat turun. Kami lanjut berjalan. Sampailah kami di spot yang kami tuju. Tepi jurang dengan pemandangan indah. Di bawah kami adalah lembah. Kami duduk di tepian batu yang menjorok ke depan dan memandang matahari yang perlahan bergerak turun.
“Jika kamu punya satu permintaan, apakah itu?” tanya abi.
Aku berpikir sejenak. Lalu berkata, “Sudah.”
“Sudah apa?”
“Sudah mengucapkan permintaanku dalam hati,” jawabku.
“Apa?”
“Rahasia.”
Abi tersenyum.
“Kalau abi dikasih satu permintaan, abi akan minta apa?”
“Mmm… kalau abi… Abi minta… kamu segera dapat jodoh.”
Seketika aku menjadi murung.