AKU pergi ke sebuah rumah sakit mengunjungi temanku yang sedang dirawat karena diserang nyamuk demam berdarah.
Aku adalah seorang laki-laki berusia 22 tahun yang sedang kuliah di sebuah universitas swasta jurusan Manajemen Perusahaan.
Setelah aku mengunjungi temanku, aku tidak mampir kemana-mana lagi. Aku langsung menuju ke lift untuk turun ke tempat parkir mengambil mobilku.
Aku berdiri sendirian menunggu pintu lift terbuka. Tidak berapa lama aku menunggu, kemudian datang seorang perawat berbaju hijau muda celana panjang ketat membawa sebuah map berdiri di sampingku. Perawat itu juga hendak menunggu pintu lift terbuka.
Aku memandang dia, dia memandang aku, lalu kami tersenyum. “Dinas disini?” tanyaku.
“Iya, siapa yang sakit?” balasnya ramah.
“Temen kuliah,”
“Sakit apa?”
“Demam berdarah…”
“Iya, sekarang lagi musim, ya?” katanya.
“Boleh kenalan?”
“Ih, aku sudah punya suami dan sudah punya anak, ngapain kenalan dengan aku…” jawabnya.
“Ah, gak apa-apa…” jawabku. “Masa hanya kenalan nggak boleh?”
“Hii… hii…” dia tertawa.
Pintu lift terbuka, kami masuk ke dalam lift hanya berdua.
“Lantai berapa?” tanyaku.
“Lantai 3,”
“Nanti istirahat aku tunggu di café, ya?” kataku.
“Ih, mau ngapain?”
“Makan siang dong? Nggak mau ya aku undang makan siang?” kataku.
“Ha.. haa..” tawanya.
“Beneran nih, jangan hanya tertawa…” kataku lagi.
Lift berhenti di lantai 3. “Aku tunggu, ya?”
“Ya… daggg…” jawabnya, melangkah keluar dari lift dan sebelum pintu lift tertutup kembali, dia sempat menengok ke belakang memandang aku.
Mungkin di dalam hatinya dia berkata, “Kok berani amat ya ini cowok?”
Sampai di lobby rumah sakit, aku mencoba mencari café. Perawat itu mau memenuhi undanganku atau tidak, bukan menjadi masalah, perutku sudah lapar, sekarang sudah jam 11:46.
Café terletak di sudut lobby. Aku memesan sebuah kue pastrie dan segelas kopi capuchino dingin.
Sambil aku makan dan minum, ternyata dia datang juga ke café sendirian. “Terima kasih, mau memenuhi undanganku.” kataku. Mau minum apa atau mau makan, pesan sendiri aja, ya?” kataku.
Dia lalu memesan es coklat dan sebuah roti bakso. Namanya Nurfrida, dia memperkenalkan dirinya padaku. Dia bekerja di rumah sakit ini baru 1 tahun.
Sebelumnya, dia bekerja di rumah sakit yang sama tapi di daerah lain, daerah asalnya. Tetapi kemudian dia dimutasikan kesini karena di rumah sakit ini kekurangan perawat.
Dia tidak bisa menolak karena masih ingin bekerja. Akhirnya dia kost sendirian, tidak bersama suami dan anaknya, karena suaminya seorang karyawan di sebuah instansi pemerintah.
Begitulah cerita Nurfrida padaku dan dia sudah mempunyai seorang anak berusia 3 tahun. Sebelum kami keluar dari café setelah minum dan makan, kami saling bertukar nomor hape.
Karena kesibukanku di kampus, aku hampir lupa dengan Nurfrida. Baru 2 minggu kemudian aku menelepon Nurfrida. Ternyata dia mau menerima teleponku, lalu kami janjian bertemu di café rumah sakit itu lagi pada jam makan siang.
Sekarang gantian aku yang bercerita tentang kuliahku, tentang keluargaku dan yang terpenting aku menegaskan pada Nurfrida bahwa ‘aku belum punya pacar’.
Penegasan ini ‘penting’.
Setelah pertemuan kali ini, kami bertemu lagi minggu berikutnya di tempat yang sama. Kemudian kami lanjutkan pada pertemuan yang keempat yaitu di kantin rumah sakit.
Sama sekali kami tidak pernah membahas masalah sex dan cinta, soalnya dia pernah berkata padaku, “Kita hanya berteman saja, ya?”
Pada pertemuan yang kelima kami kembali bertemu di kantin rumah sakit. Selesai makan, tiba-tiba tangan Nurfrida terjulur ke krag baju kemeja yang aku pakai. “Koq kamu pakai bajunya nggak rapi sih, Nang?” kata Nurfrida membetulkan letak krag baju kemejaku.
“Mungkin aku butuh istri,” jawabku.
Selesai dia membetulkan letak krag baju kemejaku, “Terima kasih.” kataku memegang tangannya yang diletakkan di atas meja. “Saya mencintai kamu.” ujarku berani.
“Hi.. hi..” dia menjawab aku dengan tertawa. “Ah, gombal…” katanya.
“Kamu gak yakin aku mencintaimu…?”
“Cinta gombal dan cinta monyet bedanya tipis…”
“Nanti aku jemput kamu pulang ya? Kamu pulang jam berapa?” tanyaku.
“Jam 4,” jawabnya.
“Aku tunggu di café…” kataku.
“Iya…” jawabnya.
♤♤♤♤♤
Kurang setengah jam lagi jam 4 aku sudah duduk ke café menunggu Nurfrida pulang kerja. Jam 4 lewat 15 menit Nurfrida datang menemui aku di café dengan pakaian biasa, bukan pakaian dinas.
Aku hampir pangling dengan Nurfrida, karena dia memakai celana jeans dan kaos yang ketat, menampakkan tonjolan payudaranya yang kelihatan kecil.
Aku mengajak dia minum, dia tidak mau minum. Katanya di dekat kostnya ada warunk makan yang lumayan enak.
“Kost kamu bebas? Kalau bebas aku pengen mampir…” kataku.
“Bebas, mampir aja… tapi kost aku jelek lho…” jawabnya. “Hanya ada tukang cuci pakaian, pemilik kostnya tidak tinggal disitu.” katanya sambil kami berjalan ke tempat parkir mobil.
Masuk ke dalam mobil, momen itu tidak aku sia-siakan. Mesin mobil aku nyalakan, lalu aku mencoba merangkul lehernya. Ternyata Nurfrida tidak menolak rangkulanku bahkan dia menyodorkan bibirnya yang bergincu merah tipis padaku.
Kami berciuman sambil melumat bibir untuk beberapa saat. Aku memaklumi, karena sekian lama dia meninggalkan suaminya, pasti dia menginginkan kehangatan dari seorang laki-laki, tidak bisa dipungkiri.
Letak kost Nurfrida sekitar 3 kilometer dari rumah sakit tempatnya bekerja, masuk ke gang sempit dan aku harus berhati-hati saat memarkir mobilku di tepi jalan.
Kami mampir makan di warung makan terlebih dahulu. Setelah itu kami baru pulang ke kost. Di sekitar kost Nurfrida banyak kontrakan dan kost untuk karyawan dan mahasiwa.
Di depan kost Nurfrida terdapat sebuah ruang tamu lengkap dengan seperangkat sofa. Lalu aku harus menelusuri gang dan melewati beberapa kamar dan di depan setiap kamar terdapat kerancang pakaian yang bertuliskan nama masing-masing pemilik kamar. Nurfrida menempati kamar di ujung gang.
“Inilah kost aku. Jangan hina ya, jelek.” kata Nurfrida. “Nggak ada tempat duduk. Kost murahan…”
Di dalam kamar kost Nurfrida hanya ada sebuah televisi ukuran kecil dan sebuah kotak plastik yang terdiri dari 3 laci. “Aku mandi dulu.” katanya. “Silahkan duduk mau di mana saja…”
Nurfrida keluar dari kamar kostnya, lalu dia menutup pintu, sehingga tinggal aku sendiri di dalam kamar kost Nurfrida. Aku duduk di tempat tidur yang diletakkan di lantai.
Aku langsung memeluk Nurfrida dan mencium bibirnya, bibir-bibir kami saling melumat kembali sehingga aku memberanikan diri melepaskan ikatan handuknya.
Nurfrida tidak menolak dan malahan dia memberikan aku meremas payudaranya yang kecil dan lembut itu. Sehingga dengan demikian aku langsung tahu bahwa dia menginginkan sex dariku.
Aku segera melepaskan kaos, celana panjang dan celana dalamku. Sewaktu aku sudah telanjang, aku menyodorkan penisku yang tegang ke mulut Nurfrida.
“Tidak bisa…” katanya memegang penisku yang tegang. “Mandi dulu sana…” suruhnya kemudian melepaskan penisku yang dipegangnya, lalu bangun dengan telanjang dari kasur mengambil handuk bersih untukku di laci kotak plastik.
Hanya membungkus tubuh telanjangku dengan handuk, lalu aku pergi dari kamar kost Nurfrida. “Mau mandi ya, Mas?” tanya seorang cewek Chinese padaku.
“Iya…”
“Tunggu sebentar ya, teman aku lagi mandi… Mas temannya Mbak Nur ya?”
“Iya…” jawabku.
“Sudah kerja apa masih kuliah?”
“Masih kuliah…”
“Di ini ***, ya?”
“Kok tau?”
“Hi.. hi…” dia tertawa senang. “Ling, cepat mandinya…”
“Iya, ini sudah selesai…” jawab yang berada di dalam kamar mandi.
“Namamu siapa?”
“Amelia, yang di dalam kamar mandi itu A Ling..” jawabnya.
“Aku Unang…”
Kemudian A Ling keluar dari kamar mandi. Tubuh A Ling gemuk chubby ternyata, matanya sipit, tapi cantik, putih kulitnya. “Kok pakaiannya nggak dibawa keluar sih Ling, orang mau mandi?” teriak Amelia.
“Nanti aja…” jawab A Ling. “Sudah Kak, sana kalau mau mandi.” suruh A Ling.
Aku pun melangkahkan kakiku masuk ke kamar mandi setelah melemparkan senyuman pada A Ling. Sewaktu aku menutup kamar mandi, ternyata di belakang pintu kamar mandi tergantung celana dalam dan BH A Ling yang besar.
Berarti tadi A Ling keluar dari kamar mandi tidak memakai celana dalam dan BH. Pantesan dia menutupi dadanya dengan handuk. BH Aling berbau asem, sedangkan celana dalamnya terdapat lendir kental berwarna kekuningan dan baunya amis.
Ohh… kalau aku tidak memikirkan Nurfrida, aku sudah beronani dengan BH dan celana dalam A Ling. Aku segera mandi. Sabun mandi yang berada di dalam kamar mandi aku pakai saja.
Selesai aku mandi dan masuk ke kamar Nufrida, Nurfrida menutup tubuhnya hanya dengan kain sarung.
Aku melepaskan handukku dan melepaskan kain sarung Nurfrida sehingga kami telanjang bulat, lalu aku kembali menyodorkan penisku ke depan mulut Nurfrida.
“Mmm… nggak bisa, benar… aku belum pernah…” kata Nurfrida manja, tapi dipegangnya juga batang penisku, lalu dia mencoba mengulumnya dengan mulutnya.
Hanya sebentar Nurfrida mengulum penisku. Dia melepaskan penisku dari mulutnya, aku membaringkan Nurfrida di kasur membuka lebar pahanya.
Bulu jembutnya sangat lebat dan panjang-panjang sampai vaginanya tidak kelihatan kalau bulu kemaluannya tidak disibak. Aku mencium vagina Nurfrida. Cucinya tidak bersih masih bau amis.
“Pernah dijilat memekmu?” tanyaku.
“Hii… hikk… nggak pernah…” jawab Nurfrida tertawa menyeringai.
“Boleh aku jilat?”
“Hmmm… ya, silahkan…”
Akupun mulai menjilat vagina Nurfrida dengan lidahku. Tidak pernah terpikirkan olehku sampai aku bisa menjilat vagina Nurfrida, seorang perawat, aku masih ingat ketika untuk pertama kalinya aku bertemu dengan dia di depan lift rumah sakit.
Siapa yang terpikirkan?
Lubang vaginanya aku korek-korek dengan lidah. Nurfrida menggeliat. “Oohhh… Uuhhnaannggg…” desahnya memegang rambutku.
Lidahku berpindah menjilat anusnya. Nurfrida semakin menggeliat dan lubang vaginanya menjadi sangat basah dan kini belahannya terbuka sehingga muncullah kelentitnya. Biji kecil itu aku jilat-jilat.
“Ooouugghhhh….. ooouughhhh…. ahhhh… ooouughhh…” lenguh Nurfrida dengan napas tersengal-sengal.
Lalu aku gigit ketika biji itu menjadi sangat keras. Tubuh Nurfrida melejit naik dari kasur menggeliat dan mengejang. “Aaagghhhhhhhhh…..” teriaknya panjang saat orgasmenya datang menerjang tubuhnya.
Hanya sebentar kenikmatan dahsyat itu menyerang Nurfrida, kemudian dia terbaring dengan napas tersengal-sengal. Aku segera memasang penisku di depan lubang vaginanya tidak mau menunggu, lalu sambil berlutut aku dorong masuk penisku ke lubang vagina Nurfrida.
Sreppp… sreppp… bleesssss…. terbenam sudah semua penisku di dalam lubang vagina Nurfrida yang sempit tapi licin itu.
Aku naikkan kedua pahanya yang terkangkang lebar ke pahaku, lalu aku mulai menggenjot lubang vagina Nurfrida keluar-masuk.
Nurfrida hanya berbaring diam saja dengan mata tertutup.
Sampai aku selesai menggenjotnya dan menyemburkan air mani di dalam lubang vaginanya, Nurfrida tetap berbaring diam.
Nurfrida membiarkan air maniku keluar dari lubang vaginanya meleleh membasahi kasurnya, lalu kami berpelukan dengan telanjang bulat menikmati sisa-sisa kenikmatan kami.
Malam itu aku tidak pulang. Aku menginap di kost Nurfrida kembali melanjutkan percumbuan kami sampai 3 (tiga) kali tanpa memakai kondom.
Kami kembali melanjutkannya sampai 4 atau 5 kali seminggu @ 2 kali atau 3 kali setiap main dengan durasi sekitar 20 – 30 menit setiap pertarungan, hingga pada suatu sore….
A Ling kugoda. Mula-mula dia menolak, karena dia takut Nurfrida cemburu. Aku tidak segera mundur teratur dari hadapan A Ling. Dengan Nurfrida aku berhasil, masa dengan A Ling aku kalah, demikian kataku dalam hati.
“Aku jamin, kalau kamu sampai dimarahi Mbak Nur…” kataku pada A Ling. “Aku tidak mau kalian konflik, aku bukan apa-apanya Mbak Nur…”
Lalu A Ling pun mau naik ke mobilku. Dia kuliah di jurusan Farmasi baru semester 3. “Sudah punya pacar?”
“He.. he… temen aja sih…”
“Wah… aku kalah cepet dong…” kataku.
A Ling mencubit tanganku gemes.
Aku tidak hanya menurunkan A Ling di depan mini market, tetapi aku ikut masuk dan ikut A Ling berkeliling berbelanja.
A Ling belanja keripik kentang, kerupuk, mie instan, susu cair, pelembab wajah, lalu pembalut.
“Kamu lagi haid?” tanyaku.
“Iya, tapi sudah hampir selesai sih…” jawabnya.
“Cewek kalau lagi mens napsunya tinggi ya, apalagi kalau sudah hampir selesai gitu… bener gak sih…?” tanyaku menggoda A Ling.
“Nggak tau, napsu gimana sih…”
“Pengen gitu… pengen dicucuk-cucuk ‘itu’mu… sering masturbasi…?”
“Hii… hi… nggak…!”
“Ayo ngaku…”
“Nggak… nenek bilang itu gak boleh, itu berbahaya…” candanya.
Belanjaannya tidak sampai 200 ribu rupiah. Aku keluarkan 200 ribu masih ada sisa duit receh.
Keluar dari mini market, aku mengajak A Ling mampir ke café, dan aku berharap Nurfrida tidak menelepon aku.
Di café tidak begitu ramai dengan pengunjung malam itu. A Ling memesan bakso bulat, aku mie setan dan 2 minuman cacing kremi genderuwo (cendol, maksudnya).
Sebelum pesanan kami datang, A Ling memberikan aku membelai rambutnya sambil ngobrol, aku juga berhasil mencium pipinya. Dan dari situ, aku semakin berani.
Minuman kami datang, aku sudah berhasil membelai paha A Ling yang terbungkus celana jeans. Kami terus makan.
Selesai makan, kami melanjutkan ngobrol, aku mencium jari jemari A Ling. Tak ayal keluar dari café, A Ling pun menggandeng tanganku mesra seperti kami sudah lama pacaran. Teteknya yang montok, dia biarkan aku sundul-sundul dengan tangan.
Keberanianku semakin menjadi-jadi sewaktu aku menyalakan mobil, aku tidak segera menjalankan mobilku. Aku keluarkan penisku menyuruh A Ling menghisap.
A Ling mau saja menghisap penisku, tetapi tidak sampai keluar air mani. Itu sudah cukup bagiku, karena kemenangan sudah berada di pihakku.
Sesampai di kost, lampu di kamar Nurfrida sudah menyala. Jantungku berdebar-debar karena takut A Ling menyuruh aku pergi ke kamar Nurfrida.
Ternyata tidak. A Ling membiarkan aku masuk ke kamarnya dan dia mengunci pintu.
Di tengah kebimbanganku, masuklah Amelia ke dalam diriku dan sewaktu aku membawa Amelia pulang ke rumah tidak kusangka ibuku suka dengan Amelia.
Amelia ringan tangan. Dia mau membantu ibuku bikin kue. Ibuku bikin kue untuk dijual. Maka itu ibuku menyenanginya dan menganggap Amelia seperti menantunya.
Sehingga ibuku tidak pernah melarang aku berduaan di kamar dengan Amelia yang baru aku kenal seminggu.
Coba kalau Amelia tau bagaimana aku dengan A Ling di kamar malam itu…
A Ling menyerahkan tubuh mulus putihnya total padaku untuk aku permak satu persatu bagian tubuhnya, padahal di sebelah kamarnya, adalah kamar Nurfrida, A Ling berani aku ajak melakukan posisi 69.
Vagina A Ling masih mulus kencang dengan bibir vagina rapat 2 garis. Tetapi semulus-mulusnya vagina tetap bau amis juga.
(Ngaku aja hu, yang suka ngejilat… bener atau benar….???)
Bulu kemaluannya hanya sedikit tumbuh di atas perbukitannya. Aku jilat… aku sapu dengan lidahku vagina A Ling sampai belalan vaginanya mekar, sementara A Ling menghisap penisku dengan rakus. Bijiku diemut-emutnya dengan nikmat di dalam mulut.
Dari posisi 69, kemudian aku tiarap di depan selangkangan A Ling untuk menjilat vaginanya supaya tanganku bisa meremas payudaranya yang mulus putih montok dengan puting besar seperti sudah pernah dihisap itu, karena areolanya yang berwarna gelap juga sudah melar.
Pantat A Ling naik-turun. “Iihhh… aaahhh… aaahhh… ahhh…” rintihnya. “Ufffhh…. ooohhhh…”
“Sudah mau keluar…?” tanyaku dengan mulut bau vagina A Ling dan lendir vaginanya sudah entah berapa banyak yang kutelan.
“Belom… ak.. ak…ku orgasme lama…” jawabnya.
“Sering pakai dildo…?”
“He… he… ak… ak… ku ini… mmm… lesbi, Kak…” ngaku A Ling.
O… lesbi…?
Tetapi sewaktu lubang vagina A Ling sudah menganga, aku tetap memasukkan penisku ke lubang vagina A Ling yang pret itu, hu… sampai terpeleset beberapa kali sebelum masuk.
Malu juga aku. Gagal maning… gagal maning…
Akhirnya bisa kumasukkan penisku dan langsung kupompa lobang sempit itu dengan penisku yang berukuran 15 sentimeter. Waww… nikmat dan legit, hu…
Sambil kuterkam leher A Ling dan kugenjot lubang vaginanya A Ling merintih nikmat.
Dari leher, kuterkam teteknya. Masih terus menggenjot. Benar-benar kutusuk malah lubang vagina A Ling, bukan menggenjot lagi sampai basah kuyup tubuhku dan tubuh A Ling dengan keringat.
Nurfrida tidak ada dalam pikiranku saat itu, karena begitu nikmat vagina A Ling dibandingkan dengan vagina Nurfrida yang sudah pernah melahirkan anak, apalagi sekarang sering kugenjot, pasti bentuk lubang vagina Nurfrida sudah tidak sekenyal seperti pertama kucabuli.
“Ini pertama kali vaginaku terima air mani, Kak…” kata A Ling selesai aku menggagahinya.
A Ling sangat jujur!
Reactions: ropan, taeng, nfajar, dan 2 lainnya
Kini penis itu dihisap oleh Amelia yang bersebelahan kamar dengan A Ling. Aku ingat bagaimana pertama kali aku bertemu dengan Amelia di depan kamar mandi kostnya.
“Mas temannya Mbak Nur ya?” tanya Amelia waktu itu.
“Nang, ngajak Amel makan…” panggil ibuku.
Tidak kugubris panggilan ibuku. Aku hanya menjawab, “Iya…”
Vagina Amelia masih rapi seperti vagina A Ling. Mulus dan kencang rapat dengan 2 garis. Tetapi jembut Amelia keriting lebat sampai mengelilingi bibir vaginanya.
Habis kami saling menjilat, aku mencoba memasukkan penisku ke liang vagina Amelia. Amelia tidak menolak.
Tetapi aku harus bersusah payah menjebol selaput darah Amelia sampai penisku perih dan sakit. Aku dan Amelia seperti pengantin baru ‘first night in love‘.
“Kamu masih perawan ya, sayang…” tanyaku.
“Iya, Bang… hikks…”
“Aku tidak berani masukin kalo gitu…” kataku.
Kusedot dalam-dalam puting Amelia yang kecil, lalu kulepaskan, plop…
Sedangkan di atas payudara Amelia yang putih mulus mungil dan kencang penuh dengan lukisan bibirku.
Amelia masih memberikan kesempatan pada penisku untuk memasuki liang vaginanya.
Sewaktu kepala penisku sudah terselip masuk ke dalam, dengan sekali sentak, “Awwwwwhh…!!!!”
Barangkali kepala penisku lecet, rasanya sangat perih seperti luka. Aku diamkan sebentar di dalam lubang vagina Amelia yang menjepit erat penisku. Baru kemudian aku tarik-dorong berulang.
Ibuku tidak pernah tau akan hal itu.
Malahan Amelia mengimbangi gocekan penisku di lobang sempitnya sambil kunikmati segar dan manis air liurnya, dia memutar-mutar pantatnya.
Penisku yang perih sakit jadi dibelit-belit, uhhh… sedap-sedap nikmat, hu…
“Mmm… kamu lagi ngapain Amel…?” tanya ibuku. “Awas ya…”
“Hanya ngisep…” jawabku.
“Mama hanya ingatkan kamu, jangan keluarkan di dalam, anak orang masih gadis…”
“He… he… nggak kok, Mam…” jawabku.
Padahal…
Aku jemput Nurfrida di rumah sakit. “Kamu suka dengan anak kecil, Nang?” Nurfrida bertanya padaku sewaktu sudah duduk di dalam mobil.
“Kamu mau bawa anakmu, ke sini… ya silahkan…” jawabku.
“He.. he…” aku yang sudah biasa dengan Nurfrida bisa merasakan betapa canggungnya tawa Nurfrida. Jawaban Nurfrida selanjutnya seperti jantungku disambit klewang.
“Nggak… kok aku mengandung sudah 4 minggu…” tukasnya.
Mana ibuku suka aku menikah dengan Nurfrida, sementara selaput dara di vagina Amelia sudah jebol. Mungkin spermaku yang tokcer juga lagi berproses di rahim Amelia, atau di rahim A Ling.
Ibuku tidak tau apa yang aku lakukan dengan Amelia di dalam kamar setiap kali aku mengajak Amelia ke rumahku. Ternyata Amelia bukan jodohku. Amelia lebih suka penis orang bule.
Sekarang aku hidup berbahagia bersama A Ling sebagai istriku yang tercinta dengan 1 orang anak berumur 3 tahun.
A Ling bekerja di sebuah apotik, sedangkan aku bekerja sebagai auditor di sebuah perusahaan Akuntan Publik.
Nurfrida?
Kostnya sudah dihuni oleh orang lain. Sewaktu aku sambangi tempat kerjanya, kata petugas resepsionis padaku Nurfrida sudah tidak bekerja di rumah sakit ini.
Aku menghubungi handphonenya juga tidak pernah nyambung.
Pada kesempatan ini aku ingin minta tolong pada pembaca yang telah membaca kisahku ini, bawalah kembali Nurfridaku kembali padaku…