PAPA malu-malu kucing ketika ditawari mandi bersama mama. Peristiwa ini terjadi di sebuah kompleks pemakaman kuno yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
Kami sedang mengikuti sebuah acara tur saat itu. Dari beberapa tempat wisata yang kami kunjungi, makam kuno ini salah satunya. Jadi kami bukan dengan sengaja datang ke makam keramat ini untuk berziarah.
Kami yang mengikuti tur ini sebanyak 20 orang ditawari mandi oleh tour guide. Ia mengatakan kepada kami air sumur dari makam keramat ini akan membuat orang awet muda, suami istri akan semakin cinta, menyembuhkan segala macam penyakit dan anak-anak akan semakin mengasihi kedua orangtuanya, karena air sumurnya itu tidak pernah kering sepanjang tahun, selalu bening setiap hari, tidak pernah keruh sepanjang abad.
Mama sih percaya saja, aku tidak!
Berhubung mama sudah membeli tiket masuk dengan beberapa orang yang mengikuti tur ini, aku ikut saja.
Jika ada wisatawan yang mau berdoa duluan di depan makam dipersilahkan. Jika mau langsung kepemandian tidak menjadi masalah, sah-sah saja.
Rombongan kami langsung kepemandian, karena hari sudah sore, sedangkan di makam antriannya masih panjang.
Aku masuk ke sebuah kamar bersama mama. Rombongan kami yang lainnya juga begitu, masuk per keluarga untuk setiap kamar.
Kami harus menukar tiket kami dengan selembar kain yang disediakan oleh pihak pengelola makam.
Setelah itu semua pakaian kami harus dilepas, diganti dengan kain dan di dalam kamar tersedia deposit box untuk menyimpan tas dan pakaian kami.
Aku sudah mulai curiga sewaktu mama berani menukar pakaiannya di depan aku dan seorang kuncen atau juru kunci makam sudah menunggu kami di luar kamar.
Sang kuncen menyuruh aku dan mama duduk berdua di bangku. Kepala kami disiram dengan air kembang menggunakan gayung dari batok kelapa oleh sang kuncen sembari sang kuncen merapalkan doa supaya hidup kami sukses dan bahagia tanpa masalah.
Selesai upacara siraman dan doa, sang kuncen bertanya kepada kami apakah kami mau mandi. “Apakah wajib?” tanya mama pada sang kuncen.
“Hari baik, bulan lagi purnama, kenapa Bapak dan Ibu sia-siakan?” jawab sang kuncen bijak. “Jarang lho bisa ketemu malam seperti malam ini,” tambah sang kuncen.
“Kami bukan suami istri. Ini putera saya,” tunjuk mama.
“Banyak juga kok orangtua yang mengajak anaknya mandi disini. Kalau Ibu nggak mau, nggak apa-apa… kami pengelola hanya menyediakan fasilitas, karena biaya yang Ibu bayar tadi itu sudah termasuk mandi…”
“Bagaimana kamu?” mama bertanya padaku.
“Terserah mama. Kita datang dari jauh sudah sampai kesini kenapa nggak dicoba? Jangan berpikir terlalu lama, papa dan Alfon sedang menunggu kita…” jawabku.
Singkat cerita, sang kuncen mempersilahkan aku dan mama masuk ke pintu yang menuju ke kolam. Kolam tidak dipasangi lampu dan hanya mengandalkan cahaya dari sinar bulan purnama, tapi kami masih bisa mengenali beberapa wajah yang satu tur dengan kami.
“Ayo, mama Hendro, saya sudah 2 kali ke sini…” kata tante Lusi yang sedang berendam dengan Prima, anak lelakinya yang umurnya sepantaran dengan aku juga.
Aku bisa melihat payudara tante Lusi, dan payudara wanita lainnya yang sedang berendam di kolam sebab airnya sangat jernih sebening kaca dan hanya sebatas dada.
Mama memandang aku. Aku tahu bahwa mama ragu-ragu.
“Ayo..” kataku. “Kalau nggak mau kita keluar, kenapa berdiri lama-lama disini?”
“Kita cari tempat yang agak sepi… mama nggak biasa telanjang di tempat umum begini. Mama berenang pakai bikini saja, mama malu…” kata mama.
“Iya sudah, kita keluar…” balasku.
Akhirnya mama jalan juga mencari tempat yang sepi meninggalkan tante Luci dan Prima.
Kami mendapat tempat di pojokan, memang sepi dan agak gelap. Mama melepaskan kain yang membungkus tubuhnya.
Setelah mama telanjang, ia menutupi selangkangannya dengan telapak tangan, tapi buah dadanya dibiarkan terbuka, mama turun ke dalam air kolam membiarkan buah dadanya menggantung di atas permukaan air kolam.
Kusiram dada mama yang telanjang dengan air, kemudian mama juga menyiram dadaku dengan air, sehingga acara telanjang kami menjadi cair dalam tawa dan candaan yang mesra.
Acara mesumpun dimulai…
Kami saling berpelukan dengan tubuh kami yang telanjang, lalu kami berciuman erotis.
Sambil lidah kami saling melilit, mama mengocok kontolku, sedangkan aku meremas-remas payudara mama yang menggantung tetapi masih padat.
Seorang wanita kulihat juga sedang mengocok kontol pasangannya.
Setelah kontolku cukup keras dikocok, mama melihat ke kiri dan ke kanan, lalu mama naik duduk di tepi kolam dengan tubuh agak berbaring, sehingga memudahkan aku menjilat memeknya.
Aku jilat memek mama hanya sebentar karena tidak tahan ingin segera mencabuli mama. Mama membuka pahanya lebar-lebar untuk aku memasukkan kontolku ke lubang memeknya.
Blee..eess… tanpa menunggu lama-lama lagi kontolku segera kubenamkan semuanya ke dalam lubang memek yang basah itu, ternyata lubang memek mama masih enak dicabuli, karena masih padat menjepit batang kontolku.
Segera kukocok kontolku di lubang nikmat itu. Mama mencoba menahan tubuhnya dengan kedua siku tangannya di tepi kolam sehingga mama tidak bisa bergerak dan hanya aku saja yang bergerak naik-turun menggenjot lubang memeknya.
Sekali-kali aku meremas buah dada mama dan sekali-kali kuhisap lehernya membuat aku semakin terangsang dan kemudian dheezzz… sheerr… crroott.. crroottt… crrooottt… crroott.. crroottt… crrooottt… air maniku menyembur-nyembur dengan kencang di dalam lubang memek mama.
Aku memeluk mama dan mencium bibirnya sebentar, kemudian kami melepaskan tubuh kami yang berhimpitan di tepi kolam itu.
Setelah itu kami pergi membilas tubuh telanjang kami di tempat yang sudah disediakan.
Acara mesum selesai.
Itulah yang disebut tadi airnya bisa menyembuhkan segala macam penyakit, termasuk PENYAKIT SYAHWAT mama.
“Bagaimana, ma?” tanyaku setelah kami berpakaian rapi dan keluar bergandengan tangan menuju warung dimana papa dan Alfon duduk menunggu kami.
“Jangan cerita apa-apa, ya?” pesan mama.
Ya… iyaaa…laaa…
Tapi aku kasihan juga dengan papa, karena aku telah mencabuli bininya. Memek bininya gatel pengen digaruk dengan kontol anak lakinya sendiri.
Berenang pakai bikini malu, tapi ngentot di tempat umum tidak malu.
Jika mata papa awas di kegelapan malam, papa bisa melihat wajahku yang pucat dan leher mama yang memerah bekas hisapan mulutku. Untung mama cepat mengajak kami kembali ke bis.
Di pelataran parkir Alfon melihat mie tek-tek, dia bilang perutnya lapar. Papa memesan mie tek-tek untuk mereka berdua, sedangkan mama dan aku naik ke bis karena birahi kami dipuaskan sehabis tadi selesai bersetubuh.
Di dalam bis sudah ada beberapa peserta tur sedang duduk tiduran.
Mama merebahkan kepalanya di bahuku. “Aku kasihan dengan papa, ma? Bagaimana kalau ketahuan papa kita bersetubuh?” kataku pelan.
“Tadi mama sudah ngajak papa kamu, tapi papa kamu minta kamu, kan? Ya sudah, kenapa dipikirin?” jawab mama.
Ada kenikmatan tersendiri ketika aku dan mama berciuman bibir di dalam bis seperti sepasang sejoli yang sedang di mabuk asmara, barangkali berkah habis kami mandi di air kolam.
Payudara Mama menjadi sasaran tanganku selanjutnya. Mama orgasme saat aku memainkan lubang memeknya dengan jari.
Setelah itu kami pura-pura tidur selesai papa makan mie tek-tek dengan Alfon dan mereka naik ke bis.
Tengah malam bis yang membawa rombongan tur kami berhenti di rest area, mama turun kencing dan sambil mama membeli oleh-oleh untuk dibagi-bagi pada teman arisannya, aku bertemu Prima.
Katanya, “Aku dan mamaku sudah sering ke sini kalau mau gituan, di sini nggak ada resiko seperti di rumah. Naik kereta bisa kok…”
Aku hanya tersenyum dikulum mendengar cerita Prima.
Kami sampai di rumah sekitar jam 4 pagi. Ingin aku melupakan semua peristiwa yang terjadi dalam tur itu, tapi tidak bisa. Mama terlalu nikmat buatku.
Nggak ada resiko tuh main di rumah… ah, Prima.