RAMAI sekali di dalam kamar. Ada apa ya, tanya saya dalam hati. Lalu saya membuka pintu kamar.
O…, ternyata Rossi dan mamanya sedang bertelanjang dada.
Istri saya masih memakai celana pendek, tetapi Rossi, anak perempuan saya hanya memakai celana dalam. “Kalau mau masuk, masuk saja, Pah…” kata istri saya. “Jangan berdiri di depan pintu, kita lagi mencoba pakaian.”
“Pakaian apa?” tanya saya melangkah masuk ke dalam kamar, lalu pintu kamar saya tutup kembali.
“Pakaian pesta, Pah. Kan Yadi nyuruh Mamah sama Rossi jadi penyambut tamu nanti kalau dia menikah. Yadi yang bikinkan kita pakaian seragam…” jawab istri saya.
“Harus…!” jawab saya memandang payudara Rossi yang menggelantung indah di dadanya. Rossi sudah menikah dan sudah punya 1 anak berusia 1 tahun. “Yadi kan kaya? Dulu Rossi menikah, Rossi juga membelikan pakaian buat penyambut tamu kan, Ros?”
“Iya Pah… tapi nggak sebagus ini, hee.. hee..” jawab Rossi tertawa manis sambil memakai gaun pestanya.
Selesai memakai, Rossi tidak menarik ritsletingnya, dia menyodorkan punggungnya pada saya. “Pah, ritnya tolong Rossi naikin, dong…” pintanya.
Saat saya sedang menarik ritsleting gaun pesta Rossi ke atas, ada orang yang memanggil istri saya di luar.
Istri saya buru-buru memakai kaosnya. Tanpa memakai BH lagi, dia keluar dari kamar. “O… Bu Sari, ada apa, Bu?” kedengaran istri saya berbicara dengan seseorang.
“Ini, saya mau itung-itungan sama Ibu, saya kemarin bikin kue habis berapa duit ya, Bu?”
“Ah… besok-besok juga bisa Bu, nggak usah buru-buru, Bu Sari…”
“Saya ini sekarang suka pelupa, Bu… lebih baik sekarang itung-itungannya, langsung beres.”
Saya selanjutnya tidak memperhatikan istri saya berbicara di luar sana lagi dengan Bu Sari. Saya memandang Rossi yang sedang berputar-putar di depan cermin mengenakan gaun pestanya. “Cantik nggak Pah, Rossi pakainya?” tanya Rossi minta pendapat saya.
“Ya… cantik, dong,” jawab saya cepat. “Cocok sekali di badan kamu. Warnanya juga bagus, warna krem.” kata saya.
“Sudah pas di badan Rossi ya, Pah?”
“Tapi nggak pakai BH ya, Ros… memang begitu, ya?” tanya saya.
“Iya, soalnya di dalam gaun sudah dilengkapi dengan BH, jadi gak usah pakai BH dobel.”
“O… gitu, Papa baru tau…”
“Ini Pah, tolong Rossi turunkan ritnya, Pah.” pinta Rossi menyodorkan punggungnya lagi pada saya.
Saat saya menarik turun ritsleting gaun Rossi, saya berharap mamanya jangan cepat-cepat masuk ke kamar, saya bisa memandang tetek Rossi sepuas-puasnya. Kapan lagi, batin saya. Malam ini ia bebas begini…, kata saya dalam hati.
Srettt… saya tarik turun ritsleting gaun Rossi. Rossi melepaskan gaun pestanya, kemudian dia melipat gaunnya di tempat tidur bertelanjang dada.
Wah…
Mata saya gelap sudah… mana tahan mata saya lama-lama menatap payudara Rossi. Kalau dia mau berteriak, teriak saja, silahkan… batin saya.
Selanjutnya saya menjulurkan tangan saya memegang payudara Rossi.
Rossi tersentak kaget, tapi ia tidak menolak tangan saya yang menggenggam payudaranya. “Pahhh…. nakal deh nih tangan…. ihh… iihh… ihh…” Rossi mencubit tangan saya dengan gemas.
“Papa gak tahan, Ros….”
“Nanti ketahuan Mamah, Pah…”
“Nggak….”
Saya tidak tinggal diam lagi setelah saya menjawab Rossi, “Nggak…” saya tarik Rossi mendekati saya.
Entah kenapa Rossi diam saja, mungkin dia terangsang dengan remasan saya tadi. Dia memandang saya dengan mata tak berkedip seperti saya sedang menyihir dia.
Saat itulah saya memeluk Rossi dan mencium bibirnya. Rossi bukannya menolak, tetapi dia membalas ciuman saya. Saya meremas payudaranya.
“Oohhh… Papp… Papp… Paapp… Paa… aahhhh…” rintihnya dalam kuluman bibir saya.
Saya tidak bisa berpikir panjang-panjang lagi selagi ada kesempatan. Saya nekat menarik turun celana dalam Rossi, lalu saya merobohkan Rossi di tempat tidur dalam posisi masih saling melumat bibir, kemudian saya menurunkan celana pendek saya.
Setelah itu saya menarik tangan Rossi memegang penis saya yang tegang. Mungkin dia juga sudah tidak tahan, dia pegang penis saya, lalu dia bawa ke selangkangannya. Ia tekan penis saya ke lubang vaginanya.
Saya segera mendorong masuk penis saya ke lubang vagina Rossi yang hangat dan basah itu. Blesss…. Rossi memandang saya. “Pah, kita sudah melakukan yang terlarang, Pah.” kata Rossi mengingatkan saya.
“Kamu sih yang minta Papa masukin,” jawab saya.
“Sudah, Pah… nanti ketahuan Mamah…”
“Iya…” jawab saya menarik keluar penis saya dari lubang vagina Rossi yang basah dan mengeluarkan bau amis. “Maafkan Papa, Ros…” kata saya dengan napas yang tidak teratur saking kuatnya debaran jantung saya.
“Iya, Pah… nggak apa-apa.” jawab Rossi juga dengan napas yang terengah-engah.
Saya menaikkan kembali celana pendek saya, lalu saya keluar dari kamar.
Saya menghidupkan televisi, tapi saya tidak bisa nonton televisi, karena bau amis vagina Rossi sangat mengganggu hidung saya.
Istri saya masuk ke kamar. Saya ikut masuk ke kamar. Rossi sudah memakai BH, tapi tetap masih memakai celana dalam. “Papah ngomong gaun Rossi sudah pas, Mah… cantik Rossi makenya…” kata Rossi memandang saya. “Gaun Rossi suruh tukang jahitnya nggak usah diapa-apain lagi ya, Mah…” pesan Rossi pada mamanya yang akan mengembalikan gaun-gaun itu ke tukang jahit untuk diperbaiki kalau tidak pas atau tidak nyaman dipakai.
Gaun mahal itu, bisa jadi harganya 1 jutaan. Lalu ganti mamanya yang mencoba gaun. “Perlu Rossi bantu gak, Mah?” tanya Rossi.
“Nggak usah,” jawab mamanya. “Kalau kamu mau pulang, pulang aja. Minta papahmu anterin kalau kamu males naik ojek.”
“Iya, Mah…” jawab Rossi mengambil pakaiannya yang ditaruh di kasur.
Saya sangka Rossi akan memakai pakaiannya, ternyata sambil memegang pakaiannya, Rossi mengerdipkan matanya pada saya.
Maksudnya, dia ajak saya pergi dari kamar. Dia keluar duluan dari kamar, kemudian saya menyusul. Rossi menunggu saya di ruang tengah. “Di dapur saja ya, Pah. Tapi cepetan, ya?” kata Rossi pada saya.
Jantung saya kembali gemetaran sambil berjalan mengikuti Rossi ke dapur.
Di dapur, Rossi langsung melepaskan celana dalamnya. “Ayo Pah, dari belakang…” kata Rossi berdiri di depan meja makan yang kosong.
Dikasih kenapa saya nggak terima, tadi saja saya merebutnya, ujar saya dalam hari segera melepaskan celana pendek saya, lalu saya tidak mau menunggu lama lagi, segera saya berjongkok mencium belahan pantat Rossi.
Rossi membuka pahanya lebar-lebar membiarkan penciuman saya berkeliaran di anus dan di vaginanya. Saya jilat kedua-keduanya.
“Ayo Pah, masukin…” minta Rossi.
Saya berdiri di belakang Rossi, kemudian penis saya yang tegang saya arahkan ke belahan pantat Rossi.
Rossi mengambil penis saya dari depan. “Sudah Pah, ayo masukin…” suruhnya setelah ia meletakkan kepala penis saya menempel di pintu gerbangnya.
Saya langsung tekan penis saya ke depan tanpa ingat Rossi adalah anak saya.
Blesss… penis saya masuk sepanjang ¾ bagian ke dalam vagina Rossi. Itu sudah cukup untuk saya memompa vagina Rossi.
Lalu sambil saya pegang pinggul Rossi, saya menyodok lubang vagina Rossi yang basah dari belakang. “Sesttt… ooohhh… Papahhh…. enakkk..” desis Rossi pelan takut kedengaran mamanya.
Pergesekan antara kepala penis saya dengan dinding vagina Rossi menimbulkan sensasi yang sangat nikmat, apalagi kemudian Rossi menaikan BH-nya, lalu saya meremas-remas kedua payudara Rossi yang bergelantungan itu dari belakang. “Ooohh… Pahh… oohh… Papp…. pahhh… ennn… enn… nakk Pah, Rossi sudah mau keluar, Pah…” desah Rossi sembari menggusek-gusek klitorisnya dari depan.
Akhirnya saya menghentakkan penis saya yang sangat keras itu ke dalam vagina Rossi yang paling dalam, croooottt…. ahhh, Papp… pahh… jerit Rossi tertahan saking nikmatnya air mani saya menembak ke rahimnya, crooottt… Pahh…. crooottt…. crrooott… Pahhh, oohhh… Papahhh… jerit Rossi berulang-ulang,
Saya tarik keluar penis saya yang masih tegang dari vagina Rossi dan bersamaan dengan itu terlihat air mani saya menetes-netes ke lantai keramik di dapur.
Rossi membersihkan vaginanya dengan celana dalamnya, setelah itu ia membawa pakaiannya ke kamar mandi.
Saya tidak mengikuti Rossi. Saya memakai kembali celana pendek saya lalu pergi duduk di depan televisi yang masih menyala.
“Rossi sudah pulang, Pah..?” tanya istri saya keluar dari kamar membawa kantong plastik besar yang berisi gaunnya dan gaun Rossi.
“Belum, masih di kamar mandi…”
“Anterin pulang aja Pah, sudah malem…”
“Iya, lagi ditungguin…” jawab saya dengan jantung berdebar karena saya telah menghianati istri saya dengan menyetubuhi anak saya sendiri.
Sekitar 30 menit kemudian, saya sampai di rumah Rossi. Rossi membuka gembok pintu pagar rumahnya dengan kunci yang dibawanya. “Anwar belum pulang Pah, ayo masukin sepeda motornya, Pah….” suruh Rossi.
Saya mendorong sepeda motor saya masuk ke pekarangan rumah Rossi, Rossi menggembok kembali pintu pagar. Kemudian Rossi membuka pintu rumahnya. Sepi dan ruang tamunya juga gelap, tapi lampu ruang tengah menyala.
“Ardian sudah tidur, Ros?” tanya saya sembari Rossi mengunci pintu rumahnya.
“Sudah, sama Mbaknya.”
Saya melepaskan jaket saya. Rossi yang sudah selesai mengunci pintu rumahnya, meletakkan tasnya di sofa, lalu dia mengambil jaket saya, lalu dia sampirkan di belakang sandaran kursi tamu.
Setelah itu, Rossi memeluk saya. Rupanya Rossi belum puas, pengen sekali lagi, batin saya.
Saya balas memeluk Rossi dan menangkap bibirnya untuk saya lumat. Rossi membalas lumatan saya dengan buas, apalagi tangan saya mulai meremas payudaranya yang tersimpan di balik BH-nya.
Rossi menarik saya duduk di sofa ruang tamunya, lalu dia melepaskan kaos saya, celana panjang dan celana dalam saya, hingga saya telanjang bulat duduk di sofa.
Setelah itu, dia melepaskan melepaskan kaosnya, BH, dan celana panjangnya.
Rossi tidak memakai celana dalam. Setelah itu, dia menunduk mengambil penis saya yang tegang untuk dihisapnya. Mulut dan bibir Rossi melumat penis saya panjang-panjang termasuk buah zakar saya tidak ketinggalan dilumatnya dengan mulut, hingga air mani saya mau muncrat.
Sebelum air mani saya muncrat saya mendorong tubuh Rossi yang telanjang ke sofa. Dia membuka lebar-lebar pahanya untuk saya menjilati vaginanya.
Vagina Rossi sudah wangi sabun mandi. Selain belahannya, lidah saya meliuk-liuk di dalam lubangnya.
Rossi menarik rambut saya. “Klitorisnya, Pahh..” pintanya. “Tolong dijilat, enak disituhh, Pah…”
Saya tidak hanya menjilat klitoris Rossi, tapi saya hisap dengan kuat, lalu saya tarik biji kecil sebesar kacang tanah itu. Rossi menjerit tertahan. “Ahhhh… Pappp…paahhh… Rossi maaa… maa… uuu kluarrr, Pahhh… trus dihisap, Pah…”
Sebentar kemudian tubuh Rossi sudah mengejang hebat dan Rossi menjambak rambut saya dengan kuat. Cusss… cuuss… dari liang vaginanya menembak cairan ke muka saya. “Ahhhhggg… Papahhh… oohhh…”
Rossi terkulai lemas di sofa, tapi wajahnya tersenyum memandang saya. “Terima kasih ya, Pah.. sudah bantu Rossi keluarin. Anwar males, makanya tadi Papah minta, Rossi langsung terima. Maaf ya, Pah… kita anak sama papah bersetubuh….”
Saya mencium bibir Rossi. Kemudian Rossi menuntun penis saya ke lubang sanggamanya. Saya langsung dorong penis saya ke lubang sanggama Rossi, blesss… kini penis saya langsung masuk semua ke dalam vagina Rossi. Rossi merangkul pantat saya dengan kedua kakinya, kemudian kami saling meliuk, saling menggoyang, dan saling menerjang.
Akhirnya Rossi kembali orgasme dan di dalam jepitan vaginanya, saya juga menembakkan mani saya ke rahimnya. Rossi tidak menginginkan saya melepaskan penis saya dari vaginanya.
“Lagih, Pahh…” pintanya manja.
Sekitar jam 10-an saya baru keluar dari rumah Rossi setelah saya memuaskan Rossi dengan 2 kali persetubuhan incest.
Rossi malam ini lega bisa langsung tidur pulas, tetapi saya masih harus naik sepeda motor menerjang angin dengan tubuh saya yang cukup lemas.
Saya sudah berusia 52 tahun, biasanya hanya seminggu sekali menyetubuhi istri saya, tapi malam ini 3 kali saya keluar air mani menyetubuhi anak saya sendiri pula.
Tapi saya gembira juga pagi-pagi saya mendapat telepon dari Rossi. Rossi bilang dia tidur sangat nyenyak malam itu.