Namaku RIFQI. Umurku 20 tahun, anak pertama dari 2 bersaudara.
Sehari-hari aku adalah seorang mahasiswa jurusan Tehnik Elektro di sebuah universitas swasta.
Aku sebenarnya anak yang baik, sekolahku pintar, beberapa kali aku pernah menjadi juara 1 Matematika tingkat kabupaten, sekarang aku aktif di BEM kampusku, tetapi pada suatu hari di rumahku tercium bau bangkai tikus.
Aku disuruh Mama naik ke loteng mencari bangkai itu. Terus terang aku tidak mau, aku jijik. Lebih baik aku mengupah tukang sampah, Pak Ujang. Ternyata Pak Ujang bininya dirawat di rumah sakit karena demam berdarah.
Lalu, jadilah aku naik ke loteng yang gelap, panas dan pengap itu dibantu oleh adikku, Anies yang memegang tangga di bawah.
Serem! Aku berjalan dengan merayap di antara bentangan balok-balok kayu sambil menyalakan lampu senter.
Tiba-tiba aku mendengar suara siraman air seperti orang lagi mandi. Yang jelas suara tersebut bukan berasal dari kamar mandi tetangga, tetapi dari kamar mandi rumah kami.
Akupun berusaha mencari suara itu, dan kulihat di atas loteng kamar mandi kami keluar cahaya dari sebuah lubang kecil. Lalu aku mendekatkan sebelah mataku ke lubang itu. Dan ooohhh… astagaaaaa…,!!!!!!!
Aku tidak percaya melihatnya. Itu bukan mamaku, jeritku dalam hati antara tidak tega dan malu melihat tubuh telanjang itu, tapi mataku tidak bisa diajak kompromi.
Aku hanya tidak bisa melihat vagina Mama, sedangkan yang lain terlihat semuanya.
Sehari-hari aku melihat payudara Mama yang besar itu berdiri tegak, tetapi sekarang dalam keadaan telanjang payudara Mama terlihat menggantung. Putingnya yang besar di kelilingi oleh areola berwarna hitam.
Perut Mama agak sedikit besar dan di bawah perutnya terdapat bulu yang berwarna hitam basah saling menempel.
Sebenarnya aku masih ingin mengintip terus, tetapi aku khawatir Anis yang menunggu aku di bawa sana memanggil aku.
Turun ke bawah bukan bangkai tikus yang aku bawa turun, melainkan sebuah pengalaman baru yang membuat aku tidak bisa tidur semalaman.
Untung Mama tidak banyak bertanya, karena mungkin Mama puas aku telah menuruti perintahnya, meskipun bangkai tikus tidak kudapatkan karena beratnya medan di atas plafon sana.
Paginya Pak Ujang datang ke rumahku, Berhubung Mama pergi ke pasar, aku naik ke atas loteng bersama Pak Ujang, tetapi tujuan kami di atas loteng berbeda.
Pak Ujang mencari bangkai tikus, sedangkan aku menyiapkan lubang intipan yang lebih besar di plafon kamar mandi untuk mengintip Mama mandi selanjutnya.
Kalau nanti Mama mandi, pasti Mama tidak tau aku mengintipnya, karena di kamar mandi terang, sedangkan di atas loteng gelap.
Mama pulang dari pasar, rumah sudah tidak bau bangkai tikus. Tetapi Mama sempat ngedumel juga, “Kemarin kamu carinya gimana sih…?”
Aku tidak menjawab Mama, tetapi tetapi aku membayangkan Mama yang berpakaian itu seolah-olah ia telanjang bulat di depan aku.
Mama membeli sayur matang untung makan siang kami nanti, sedangkan ikan dan daging Mama simpan di kulkas untuk dimasak sore, karena Mama mau pergi ke sekolah Anis melihat pameran pendidikan. Anis sudah mau kuliah. Mama melihat pameran pendidikan sekaligus mencari kuliah murah untuk Anis, syukur-syukur dapat bea siswa seperti aku.
Mama akan mandi sebelum berangkat ke sekolah Anis. Aku menunggu Mama masuk ke kamar mandi rasanya saaa..aangat lama.
Melihat Mama sudah membawa masuk handuknya ke kamar mandi, aku segera memanjat tangga naik ke atas loteng tanpa bantuan Anis memegang tangga, lalu aku mulai melakukan pengintaian di lubang loteng yang sudah kupersiapkan.
Jantungku berdebar-debar. Sebagai manusia yang masih bisa berpikir logis dan punya hati nurani, bukannya aku tega mengintip mamaku sendiri.
Mama kelihatan lebih cantik tanpa pakaian seperti artis porno. Payudaranya besar menggantung dan kelihatan juga bulu kemaluannya yang hitam.
Aku mulai mengocok penisku yang tegang saat Mama menyabuni tubuhnya. Tetapi Mama menyabuni dimulai dari selangkangannya. Kulihat tangan Mama maju-mundur, matanya merem melek dan kadang-kadang teteknya diremas-remas.
Karena aku belum tau bagaimana caranya wanita ‘masturbasi‘ aku menyaksikan terus atraksi Mama menggosok-gosok selangkangannya sampai akhirnya…
Mama berpegangan kuat pada bibir bak dengan tangan kirinya, matanya terpejam-pejam, sedangkan tangannya yang menggosok-gosok selangkangannya semakin cepat bergerak maju-mundur, “Aarrgghhhh… ooooooooooooohhh…” Mama mengerang tertahan.
Lalu duduk di toilet. Sebentar kemudian terdengar suara kencingnya menyembur ke lubang toilet.
Dari situ, aku terobsesi menyetubuhi Mama. Aku nonton bokep untuk mempelajari bagaimana caranya bersetubuh. Jadwal onaniku bertambah. Jika tidak kuliah aku bisa onani pagi, siang, dan malam sambil nonton bokep di layar laptop.
Pagi itu, selesai Mama mandi, aku mengambil celana dalamnya yang kotor berlendir, aku bawa ke kamarku. Aku cium, aku jilat lendir kental berbau anyir di celana dalam berwarna biru muda itu sambil onani.
Aku sudah mulai mengejang, napasku memburu dan jantungku berdebar-debar sambil menahan nikmat sehingga aku fokus mengocok penisku semakin cepat…
“Qiii…!!!” terdengar suara Mama menjerit di sampingku.
Saat itu rasanya aku ingin berlari menyembunyikan diriku. Aku panik… aku malu… aku ketakutan…
“Ternyata ini yang kamu lakukan selama ini di kamar…. astagaaaaaaaa… pastesan celana dalam Mama sering hilang… astagaaaa… Qiii…. Qiii…”
“Bunuh Rifqi, Mah… percuma Rifqi hidup…” kataku membela diri untuk menutupi kepanikanku dan rasa maluku.
“Mama tidak ingin membunuhmu, Qi… Mama mengerti… sangat mengerti dengan kebutuhanmu sebagai anak muda… maafkan Mama, Qi… Mama tidak bermaksud marah padamu… Mama tidak bermaksud membuat kamu malu… Mama cuma kaget tadi… Mama panik…”
“Rifqi melakukannya, karena Rifqi cinta sama Mamah…”
“Iya…” jawab Mama pasrah. “Ngeri ih… Mama… besar…!” Mama mengambil sarung menutupi penisku yang sudah berbaring lesuh di atas tertisku.
Suasana yang tegang menjadi cair. “Gara-gara bangkai tikus, Mah…” kataku.
“Lha… kok bangkai tikus disalahin…” balas Mama bingung.
“Karena bangkai tikus itu aku bisa melihat Mama mandi dari atas loteng…”
“Mmmmmm…” Mama mengacak-acak rambutku malu. “Itu… tadi belum sempat keluar kan, gara-gara Mama mengganggumu… untuk menebus kesalahan Mama… ayo, Mama bantu keluarin…” kata Mama kemudian.
“Nggak… Mama nggak enak ngocoknya…” jawabku.
“Siapa bilang nggak enak? Sudah pernah memang…? Ayo… mumpung Mama mau nih…” Mama menyingkirkan sarung yang menutupi penisku. “Ayo baring…” suruh Mama.
Menolak adalah sebuah kebodohan yang tidak boleh dipelihara. Bukankah aku punya obsesi menyetubuhi Mama?
Sekarang aku punya peluang dan kesempatan, apakah Mama juga tidak menginginkanku sementara ia juga sering masturbasi karena Mama tidak mempunyai kesempatan bersetubuh dengan Papa yang berada jauh darinya sejak Papa di PHK karena Covid, Papa membuka usaha toko material di Indonesia bagian Timur.
Aku beranjak pindah dari tempat dudukku di bangku belajarku ke tempat tidur.
“Mirip punya siapa sih, punya papamu sama Anis nggak sebesar gini…” kata Mama setelah penisku bangun menegang dan keras seperti sebatang tongkat satpam dan berurat, kepalanya mengilap berwarna kemerah-merahan tertimpa sinar matahari pagi yang masuk dari jendela kamarku.
Lalu Mama melepaskan kaosku. Setelah itu, detik berikutnya, Mama sudah bertelanjang dada di depanku. Mama menjilat batang penisku dan ia sangat menikmatinya seperti seorang anak kecil menjilat es krim batangan.
Aku juga sangat menikmatinya, karena sangat nikmat merasakan lidah Mama hilir mudik di atas batang penisku sembari aku menyaksikan payudaranya yang bergelantungan telanjang di dadanya yang putih mulus, terkadang ia mengecup kepala penisku dan tidak segan untuk mengulumnya di dalam mulutnya yang hangat.
Tidak hanya sampai disitu Mama memuaskan syahwat mudaku. Mama menjepit batang penisku di sela payudaranya, kemudian ia mengocoknya.
“Mama menginginkan kemaluanmu yang besar itu, sayang…” kata Mama menindihku masih memakai celana pendek.
Mama kemudian mencium bibirku. “Oouummhh…”
Aku sebenarnya belum bisa berciuman, mungkin oleh karena dorongan napsu, bibirkupun bergelut dengan bibir Mama.
Ini gara-gara tikus yang mati di atas loteng rumahku, kalau tidak, aku tidak bakal memperoleh hak istimewa seperti ini menggantikankan posisi Papa bercinta dengan Mama di pagi ini.
Aku membalik Mama ke bawah, aku menghisap air liurnya. Aku meremas payudaranya yang besar dan kenyal berisi.
“Jangan diremas,” minta Mama. “Terasa kan di dalam ada benjolan sebesar telor ayam?”
Aku kaget!
“Kanker, Mah…?” tanyaku.
“Bukan, kata dokter ‘kista‘ tapi tidak berbahaya, hanya kalau diremas rasanya nyeri. Diisep aja, sayang…”
Mama dan aku kembali bercinta diiringi lagu ‘Kemesraan‘ yang diputar tetangga di sebelah rumaku, Tante Mer yang sering tidak memakai BH, tapi malu-malu kucing kalau nyapu di depan rumah.
Leher kaos atau leher dasternya dicengkeram kuat-kuat takut teteknya yang sudah layu itu kabur.