INDUK SEMANG SINOPSIS Karena tak bisa bayar uang sewa, seorang pemuda dipekerjakan oleh induk semangnya. Namun yang terjadi di antara mereka bukan itu saja. DISCLAIMER * Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca. * Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan. * Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata. *Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan. * Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun. Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca. Induk Semang Ninja Gaijin Muamar, 19, terbangun dengan malas-malasan ketika mendengar pintu kamar kontrakannya diketok. “Kapan mau bayar sewa?” Seorang perempuan Tionghoa bertampang tegas langsung bertanya seperti itu ketika dia buka pintu. “Aduh, Ci…” kata Muamar memelas, “aku belum dapat kerja juga nih. Masih boleh ditunda seminggu dua minggu? Minggu ini masukin lamaran ke empat tempat, siapa tau ada yang tembus.” “Lu udah dua bulan nggak bayar. Sampai kapan gua mesti nunggu?” “Seminggu dua minggu lagi boleh, Ci? Siapa tau aku sudah dapat kerja…” “Terus lu mau bayar tiga bulan kontrakan langsung?” kata perempuan itu sambil menatap tajam. “Yaa, sebulan sebulan dulu?” “Lu dulu janji bayar tanggal satu saban bulan,” kata si induk semang dengan kesal. “Tolongin deh, Ci… Janji, pasti kubayar.” Perempuan Tionghoa itu menatap tajam beberapa lama, lalu, “Oke, lu keluar dari kontrakan gua sekarang juga.” “Waduh!? Jangan dong Ci, plis. Aku janji deh pasti bayar. Tapi jangan diusir. Gini…” Muamar menawarkan. “Aku jadi pembantunya Ci Luci aja deh sampai aku bisa bayar, asal jangan diusir… Ci Luci boleh suruh apa saja, potong rumput, ngecat…” Ci Luci, si induk semang, berpikir sebentar. Lalu: “Yaudah. Kalau gitu sekarang lu ikut ke tempat gua. Lu cuci piring. Sekarang.” “Cuci piring? Gampang!! Makasih Ci!” Muamar nyengir, tak menyangka usulnya diterima. “Ayoh ikut,” Ci Luci berbalik dan berjalan beberapa langkah, lalu menoleh. “Ayo!!” Muamar mengunci pintu kontrakannya dan mengikuti Ci Luci ke rumahnya. Rumah besar Ci Luci terdiri atas rumah utama dan empat kamar kontrakan, yang hanya terisi tiga (termasuk oleh Muamar). Penghuni dua kamar lain sedang tidak di tempat karena bekerja. Hanya Muamar, yang menganggur sejak lulus sekolah (dan tak kuliah) yang sering nongkrong di kontrakannya. —–
Ci Luci Muamar masuk ke rumah utama, dan kesan pertama yang dia dapat adalah betapa sepi rumah itu. Ci Luci memang tinggal sendirian. Muamar baru sekali masuk ke sana, ketika pertama kali mencari kontrakan, itu pun hanya di ruang tamu. Rumahnya tidak kecil, tapi juga terasa sempit karena ada banyak sekali barang di dalamnya. Ci Luci mengarahkan dia ke dapur. Lucia Mahardika, yang biasa dipanggil “Ci Luci” oleh para pengontrak, ialah seorang perempuan keturunan Tionghoa yang Muamar tebak berumur setidaknya 40 tahun. Rambutnya hitam sebahu dengan highlight merah. Tubuhnya ramping. Dan wajahnya jarang terlihat tersenyum di depan para pengontraknya; mereka lebih sering melihat ekspresi datar tegas. Ci Luci menunjuk wastafel dapur berisi setumpuk peralatan makan dan masak kotor. Tanpa banyak bicara Muamar langsung mencuci. Setidaknya itu bisa membuat dia tidak ditagih. Selagi dia bekerja, Muamar merasa diawasi. Memang, Ci Luci duduk di kursi dekat sana, memperhatikan. Aneh rasanya bagi Muamar. Selesai Muamar cuci piring, Ci Luci menyuruhnya kembali ke kamar. “Besok balik lagi ke sini, nyuci lagi.” Dia menggiring Muamar ke pintu. —– Hari kedua, hari ketiga, Muamar mulai menjalani hidup sebagai pembantu Ci Luci. Bukan hanya cuci piring, dia juga kerjakan tugas lain seperti membersihkan rumah dan menata begitu banyak barang yang ada di dalamnya. Ci Luci seorang pemilik toko barang antik, yang menyimpan sebagian dagangannya di rumah. Muamar menyadari itu ketika pada hari ketiga dia kurang hati-hati membersihkan satu piring antik dan hampir menjatuhkannya. “Heh! Awas jatuh! Lu tau itu harganya bisa sepuluh juta?” bentak Ci Luci galak, dari kursinya. Muamar cuma melongo. Dilihatnya wajah putih Ci Luci memerah tanda marah. Tapi tanpa sengaja Muamar juga melihat posisi duduk Ci Luci yang tak biasa. Satu tangannya dikepit di antara kedua pahanya… yang langsung ditarik sesudah dia melihat Muamar memandangi balik. Muamar tak berani komentar dan kembali membersihkan piring itu dan barang-barang antik lain dengan lebih hati-hati. Sesudahnya Muamar bertanya-tanya apa sebenarnya yang dilakukan Ci Luci. Dia sadar dia tak tahu apa-apa tentang induk semangnya itu, selain bahwa Ci Luci keturunan Tionghoa, dan hidup sendirian. Apakah Ci Luci janda? Atau tidak menikah? Keesokan harinya, Muamar tidak disuruh bersih-bersih di rumah. Ci Luci muncul di depan pintunya dengan penampilan berbeda: mengenakan makeup, kukunya dicat, dan beraroma parfum. “Hari ini lu bantu gua bawa barang-barang ke toko ya,” kata Ci Luci. Toko? Muamar bertanya-tanya sambil mengangkuti setumpuk piring antik ke mobil Ci Luci. Dia menaruh barang-barang itu di bagasi, sambil diawasi Ci Luci. “Bisa nyetir?” tanya Ci Luci. Muamar menggeleng, dia belum bisa menyetir. Ci Luci melengos, lalu menyuruh Muamar duduk di kursi penumpang depan. Ci Luci lalu mengemudikan mobil menuju ke tempat usahanya, toko loak dan barang antik. Sesampainya di sana dia menyuruh Muamar menurunkan barang-barang yang tadi dibawa. “Lu ga ada acara kan seharian?” tanya Ci Luci. “Lu di sini aja, temanin gua jaga toko hari ini. Ada yang mau datang beli guci itu,” katanya sambil menunjuk guci antik besar, tingginya hampir sedada orang. Muamar melongo membayangkan harus mengangkut guci sebesar itu. Seharian itu Muamar menjadi pembantu Ci Luci di tokonya. Dia melihat sisi induk semangnya yang berbeda: ternyata ketika berada di toko, Ci Luci jauh lebih ramah dan murah senyum. Jauh sekali dibanding wajah serius yang selalu dipasangnya di depan para pengontrak. Dan, dalam hati Muamar, sebenarnya wajah Ci Luci lebih menarik kalau dia dandan seperti itu… Pembeli guci besar itu datang; seorang laki-laki paro baya yang membawa mobil boks. Sebelumnya Ci Luci sudah menyuruh Muamar mengemas guci itu dengan bubble wrap, kardus, dan terakhir batang-batang kayu. Si pembeli membereskan urusan jual-beli dengan Ci Luci, lalu Ci Luci menyuruh Muamar menaikkan guci yang sudah dikemas kayu ke mobil boks. “Angkat gucinya, taruh ke mobil Pak Ahmad ya,” perintah Ci Luci. Pak Ahmad, si pembeli, menawarkan bantuan. “Perlu saya bantu?” Tapi Muamar menolak karena merasa mampu mengangkatnya sendirian. “Hufft!” Muamar ngos-ngosan mengangkat guci berat yang tambah berat itu karena sudah dibungkus dan dipasangi kayu. Dia gengsi untuk mengakui bahwa dia nyaris tidak kuat mengangkatnya. Ketika mau menaikkan ke atas mobil boks dia bahkan hampir jatuh! Ci Luci sampai berteriak “Awas!” karena takut gucinya pecah. Tapi Muamar berhasil. Ketika guci itu sudah ditaruhnya dengan selamat, Muamar terduduk lelah di sampingnya dalam boks, nyengir sambil mengacungkan jempol ke Ci Luci dan Pak Ahmad. “Sukses!” seru Muamar. “Mar! Itu lihat celana lu!” Ci Luci berteriak. “Celana?” Muamar menoleh ke bawah dan ternyata celananya robek cukup lebar di bagian paha kanan. Rupanya karena kerjanya memasang kayu kurang rapi, ada paku mencuat yang kemudian merobek celana Muamar ketika dia mengangkut guci dan menggeser-gesernya. Dan bukan cuma celana. Ada luka gores cukup panjang yang baru terasa sakit ketika Muamar menyadarinya. Pak Ahmad pergi tak lama kemudian, meninggalkan Muamar dan Ci Luci berdua di toko. “Ci… punya obat merah atau plester ga…” kata Muamar sambil mengamati lukanya. Cukup panjang, sekitar sejengkal, melintang dari bagian depan paha kanan sampai ke samping. “Duduk situh,” perintah Ci Luci sambil membuka laci meja dan mengeluarkan beberapa barang. “Buka celananya, mau gua beresin” “B-buka celana?” Tapi Muamar menurut saja. Dia memelorotkan celana di depan Ci Luci yang sudah menyiapkan kapas dan obat antiseptik. Ci Luci menyeka luka di paha Muamar dengan kapas yang sudah dibasahi obat, membuat Muamar meringis perih. Namun Muamar juga menyadari satu bagian bawah tubuhnya yang hanya terbungkus celana dalam dan menghadap Ci Luci bereaksi tidak semestinya… celana dalam Muamar menggembung menunjukkan bentuk silinder di balik bahan. Muamar melihat Ci Luci menoleh ke arah situ. Dia tak bisa menebak reaksi Ci Luci, karena perhatiannya tersita rasa perih luka kena obat. Satu tangan Ci Luci mengusap dengan kapas sementara tangan lain memegangi paha Muamar. Tangannya terasa lembut. “Sudah. Makanya kalau kerja hati-hati,” kata Ci Luci sesudah selesai. Lalu, seolah baru teringat, beberapa saat kemudian, “…pakai lagi celananya.” “M-makasih Ci,” kata Muamar grogi sambil memasang lagi celananya. Mereka berdua melanjutkan bekerja di toko sampai akhirnya Ci Luci memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan singkat di mobil keduanya tak saling bicara. Sampai Ci Luci masuk ke rumahnya pun dia tetap tak bicara ke Muamar. Dan malam itu Muamar memikirkan mengapa reaksi tubuhnya seperti itu. Hari itu dia harus buka celana di depan Ci Luci, yang kebetulan sedang berdandan cantik, dan tanpa dia duga dia terangsang… Muamar tidur dengan pikiran bingung dan kemaluan kembali bangun. —– Muamar sebenarnya sedang punya pacar dan tidak kepikiran apa-apa terhadap induk semangnya. Tapi kejadian di toko itu terus mengganggunya. Keesokan harinya, Ci Luci tidak nongkrong di dapur menunggui Muamar yang sedang mencuci piring. Entah dia sedang apa. Tapi tak lama kemudian Muamar mendengar Ci Luci berteriak-teriak di telepon, seperti sedang bertengkar. Esoknya lagi, Muamar kembali menemani Ci Luci menjaga toko. Ci Luci sepertinya memang selalu berdandan ketika ada di toko: dia memakai makeup, kukunya dicat, dan tubuhnya beraroma parfum seperti ketika Muamar pertama kali diajak ke sana. Muamar pura-pura tak memperhatikan Ci Luci, namun karena tokonya kecil, dia tidak bisa terus melakukan itu. Tiap menoleh, mudah sekali pandangannya kembali bertemu Ci Luci. Hari itu datanglah seorang laki-laki 40-an tahun yang ditemani perempuan cantik berumur separonya ke toko. “Eeh… Masih buka aja ini toko rongsokan?” kata laki-laki itu mengejek sewaktu dia masuk. “Eh Luci… Kapan mau kamu tutup ini toko? Tanahnya mau kujual!” Muamar melihat wajah putih Ci Luci berubah merah padam, alisnya berkerut, bibirnya merengut. “He! Ngapain kamu masih balik lagi ke sini?” Ci Luci menghardik si laki-laki. “Dari dulu udah kubilang! Ini warisan orangtua, nggak bakal dijual! Minggat sana! Apa belum puas ganggu kehidupanku?” “Aah, sayang aja sertifikatnya masih ada nama kamu! Bikin repot aja,” si laki-laki membalas dengan berteriak-teriak. “Tapi apa kamu masih kuat terus-terusan didatangin tukang tagih utang, Luci? Emangnya kamu masih punya duit buat bayar cicilan? Udah jual aja toko rongsokan ini!” Muamar tidak tahu urusannya, tapi melihat Ci Luci terdesak dan terlihat seperti mau menangis, dia maju dan mendekati laki-laki itu. “Pak, tolong jangan teriak-teriak, ini tempat ramai…” Malah hardikan kasar yang dia dapat. “Eh tiko jongos, jangan ikut campur lu! Ini urusan suami istri! Lu nggak tau apa-apa, lu diam aja ngerti!” Emosi Muamar terpancing, dan tanpa sempat pikir panjang dia mendorong laki-laki itu sampai hampir jatuh, kalau saja tidak ditahan perempuan yang bersamanya. “Anjing!” makinya.
Dia berdiri lagi lalu menunjuk-nunjuk Ci Luci. “Eh Luci! Ajarin sopan santun sama kacung ini! Oh ya. Aku tunggu sampai bulan depan. Pasti kamu udah nggak kuat bayar cicilan kan? Silakan pilih aja, kita jual toko ini, atau kamu jual rumah. Atau kamu jual diri sana! Tapi udah setua itu apa laku? Hahaha!!” Sesudah tertawa keras begitu, si laki-laki sengaja menyenggol satu barang dagangan Ci Luci—guci kecil di atas meja—sampai jatuh dan pecah. Dia lalu berbalik dan pergi didampingi perempuan separo umurnya itu. Muamar mau mengejar dan memukulnya, tapi dia merasa lengannya dipegangi. Ci Luci merangkul lengan Muamar, antara menahan Muamar untuk tidak pergi, atau seolah butuh berpegangan ke sesuatu karena terguncang. Ci Luci berkata, putus-putus, “Tutup… toko… kita… pulang…” Dengan hati-hati Muamar memapah Ci Luci sampai ke kursinya, lalu membereskan toko untuk ditutup. Mereka berdua lalu meninggalkan toko, Ci Luci merangkul erat lengan Muamar. Muamar melihat wajah induk semangnya itu basah karena air mata, rias wajahnya acak-acakan, karena menangis tanpa suara. “Ci, saya yang nyetir ya. Ci Luci tenang aja,” Muamar menawarkan. Ci Luci yang terguncang tidak berkata apa-apa. Muamar langsung mengambil kunci mobil, menggandeng Ci Luci ke kursi penumpang depan, lalu masuk ke sisi sopir dan menyalakan mobil. Meskipun tidak punya SIM, Muamar nekad saja, dan untungnya selama perjalanan pendek dari toko ke rumah, tidak terjadi apa-apa. Hanya air mata Ci Luci saja yang mengalir deras terus. Sesampainya di rumah, Muamar membuka pintu garasi, memarkirkan mobil, lalu mendampingi Ci Luci sampai masuk. Perempuan Tionghoa itu dia ajak duduk di sofa. Muamar tahu dia tidak bisa meninggalkan Ci Luci begitu saja. Jadi dia duduk di sebelah Ci Luci, membiarkan Ci Luci menggenggam lengannya sambil sesenggukan. Setelah beberapa lama barulah Muamar memberanikan diri bertanya. “Ada apa, Ci…? Cerita saja sama saya…” “Uhukh…. Itu tadi suami gua,” kata Ci Luci sambil terisak, “Dia udah lama pergi dari sini gara-gara cewek yang tadi dia bawa, selingkuhannya. Tapi dia masih ngincar harta gua. Lu denger kan tadi apa kata dia…?” “Iya, soal jual toko…” jawab Muamar. “Dia sebenarnya nikah sama gua nggak bawa apa-apa. Waktu nikah dulu, kami dikasih tanah warisan orangtua gua, tempatnya toko, yang terus dibalik nama atas nama gua dan dia. Ternyata dia malah incar tanah itu buat dijual…” Ci Luci berhenti sejenak lalu melanjutkan. “Dia suami brengsek. Kerja ga becus, main cewek melulu. Lama-lama ada cewek yang ngeracunin pikiran dia sampai dia ninggalin gua. Tapi kami ga bisa cerai. Lu ngerti lah. Kepercayaan. Tadinya gua pikir hidup gua bakal damai kalau dia udah nggak ada. Tapi nggak, dia terus aja recokin gua, bolak-balik ngincar harta gua, tanah toko itu.” Sambil mengatakan itu, entah sengaja atau tidak, Ci Luci merapatkan tubuhnya ke tubuh Muamar, menyandarkan kepalanya ke bahu Muamar dan terus menangis. Secara refleks Muamar merangkulkan lengannya ke tubuh Ci Luci, menariknya lebih dekat. Namun ada reaksi tak terduga. Ketika Muamar merasa penisnya mengeras, dia cepat-cepat melepas rangkulannya, sebelum Ci Luci sadar apa yang terjadi. “Tadi dia bilang tukang tagih utang… Emang benar, gua lagi sulit bayar cicilan, tapi bukan berarti gua mau jual tanah itu! Gua masih bisa usaha… Lu dengar kan tadi dia bilang apa! Enak aja dia bilang gua suruh jual tanah, jual diri! Tuh, cewek yang dia gandeng itu tuh yang jual diri! Huuhuu…” Ci Luci terisak lagi dan kali ini dia yang memeluk Muamar. Dan Muamar tidak bisa berbuat apa-apa. “Padahal dulu gua cinta banget sama dia… Kenapa akhirnya jadi begini? Kita malah saling nyakitin,” kata Ci Luci sambil menangis. “Sampai sekarang gua nggak ngerti kenapa dia jadi begitu… apa kurangnya gua?” “Emm ya nggak tahu ya, Ci,” kata Muamar sambil berusaha menahan rangsangan. Kepala Ci Luci bersandar di dadanya sementara lengan Ci Luci memeluk perutnya. Hidung Muamar bisa mencium wangi rambut Ci Luci, badannya merasakan hangat tubuh perempuan itu. “…Apa gua kurang cantik, kurang baik?” sekonyong-konyong Ci Luci bertanya. “Eee… enggak kok Ci…” jawab Muamar sekenanya. Muamar berubah posisi duduk menjadi lebih tegak, tapi tak disangka itu malah membuat lengan Ci Luci bergeser dari perut Muamar ke bawah, sehingga tangan Ci Luci menyentuh selangkangan Muamar. Sentuhan tangan itu membuat kemaluan Muamar yang sudah tegak tersentak. “Ah…” Ci Luci kaget sejenak, dan menarik tangannya. Tapi dia menarik tangannya pelan-pelan, seolah mengelus kejantanan Muamar… Keadaan jadi kikuk sesudahnya, Ci Luci bergeser menjauh dan berhenti bicara. Muamar juga. “M… maaf Ci…” Permintaan maaf Muamar tidak jelas dan Ci Luci juga tidak mempedulikannya. Setelah keduanya diam-diaman selama sepuluh menit, Muamar berusaha berinisiatif. “Ci, saya bikinin teh ya…” yang dibalas anggukan lemah Ci Luci. Muamar langsung pergi ke dapur, membuatkan teh untuk Ci Luci, dan menyuguhkannya. “Sudah… makasih ya,” kata Ci Luci lesu. “Kerjaan lu sudah selesai hari ini…” Muamar menganggap itu izin untuk pergi, dan dia pun keluar dari rumah Ci Luci tanpa banyak bicara. —– Keesokan harinya, Muamar didatangi pacarnya di kontrakan. Ami namanya; umur 18 tahun, tak jauh dari Muamar. Dengan rambut pendek dan wajah lumayan. Muamar sudah berpacaran dengan Ami selama setahun. Hubungan mereka sudah cukup jauh, tapi sepertinya masih tidak mengarah ke sesuatu yang serius, karena Muamar masih tak jelas masa depannya. Tapi ketika Muamar bercumbu dengan Ami dan Ami mengisap penisnya, Muamar malah membayangkan wajah perempuan Tionghoa 40 tahun, mata sipitnya menatap tajam, ketika dia memandang wajah Ami… Ami masih muda, belum sematang Ci Luci, pikirnya. Dan ketika Ami pergi, Muamar sempat memperhatikan bahwa Ci Luci sedang ada di luar rumah dan melihat gadis itu pergi. —– Sore menjelang malam, Muamar mengetok pintu rumah Ci Luci. Dia dipanggil. Ternyata Ci Luci mengenakan gaun hitam tanpa lengan yang anggun. Dia memakai eyeliner dan lipstik, juga sepatu hak tinggi. Muamar juga memperhatikan, Ci Luci sepertinya habis potong rambut. Gaya rambutnya sekarang pendek bob rapi. Tidak jauh dengan Ami… “Mau pergi keluar, Ci?” tanya Muamar. Ci Luci tidak menjawab, dan balas memerintah. “Bersihin rumah.” Muamar menurut, dia pergi ke belakang mengambil sapu dan tongkat pel lalu mulai menyapu dan mengepel. Ci Luci duduk di kursi dan mengawasi semua pekerjaan Muamar. Ketika mengepel, Muamar mendengar bunyi nafas Ci Luci di belakangnya. Lalu terasa ada tangan menyentuh pinggulnya. Ci Luci merangkulnya dari belakang. Tangan Ci Luci menyelip ke balik kaos Muamar dan mengelus perut Muamar. Muamar berusaha terus mengepel tapi Ci Luci merangkul erat, mencegahnya bergerak lebih jauh. Ci Luci membuka kancing dan resleting celana Muamar. Lalu merogoh ke dalam celana dalam. Muamar tak berbuat apa-apa, berdiri di tempat, berpegangan ke tongkat pel. Tangan halus Ci Luci merangsang kejantanannya. Muamar merinding keenakan. “Ummhhh… segini ternyata ya…” gumam Ci Luci ketika akhirnya dia berhasil membuat batang Muamar setegak-tegaknya. Lalu tiba-tiba Ci Luci melepas pegangannya dan pergi masuk kamar. Muamar bingung, tapi lantas meneruskan pekerjaan. Tapi pintu kamar Ci Luci terbuka sedikit dan Muamar bisa mendengar suara desahan perempuan di dalamnya. “Ah… ngh… aanggg… ng!” Muamar bisa menebak apa yang sedang dilakukan induk semangnya itu, dan timbul pikiran isengnya untuk memergoki. Seolah mau membereskan kamar kosong, Muamar membuka begitu saja pintu kamar Ci Luci. Dan didapatinya Ci Luci sedang masturbasi, merangsang kemaluan dan klitorisnya dengan jari sendiri. Anehnya, Ci Luci tidak protes atau marah. Dia sepertinya sudah terlalu keenakan dengan perbuatannya. Dia menatap Muamar, pertama di mata, lalu turun. Ke selangkangan. Muamar masih tegang karena dikocok Ci Luci tadi. Tanpa suara Ci Luci mengucap sesuatu. Muamar bisa membacanya. “Buka”. Maka Muamar pun membuka celana dan memamerkan ereksinya di depan Ci Luci. Si induk semang memandangi kejantanan Muamar sambil dia membuat dirinya sendiri orgasme. “HAA…. ANGHHH!!” rintih Ci Luci keenakan. Ci Luci telentang keenakan di tempat tidur sesudah kenikmatan melanda. Muamar tak berani berbuat lebih; dia kembali memakai celananya dan keluar. Tanpa bicara. —– Besoknya, Muamar kembali dipanggil untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ci Luci menyambutnya di depan pintu. Dekat sekali. Ci Luci memandangi ke atas, tubuhnya memang lebih pendek sekepala dibanding Muamar. Muamar tersenyum. Ci Luci kelihatan cantik karena habis berdandan. Muamar tak mengatakan itu, tapi memandangi sekujur tubuh si perempuan Tionghoa. Keduanya saling pandang. Dan untuk pertama kali, Ci Luci tersenyum balik ke Muamar. Gaun yang Ci Luci pakai ketat dan pendek,
menunjukkan jelas ke Muamar bahwa tubuhnya kecil, payudaranya tak seberapa besar, pinggulnya ramping, dan pantatnya kencang. Tulang pipinya menonjol, dan kulit wajahnya tak seberapa mulus, sehingga dia coba tutupi dengan bedak tebal. Entah, apa dia berusaha agar tak kalah dengan perempuan lain yang lebih muda? Ci Luci menyuruh Muamar ke dapur untuk cuci piring. Sudah hari kesekian sejak pertama kali Muamar “dipekerjakan” seperti itu. “Sana… cuci piring,” perintah Ci Luci. Muamar langsung menghadap bak cuci dan mulai bekerja. Dan Ci Luci makin agresif kali ini. Baru sebentar Muamar membelakanginya untuk cuci piring, Ci Luci sudah memeluk pinggangnya dari belakang lalu memerosotkan celana Muamar. Lalu celana dalam Muamar dia turunkan. Ci Luci mengelus-elus pinggul, batang, dan kantong biji Muamar selagi Muamar mencuci. Perempuan itu juga menaikkan kaos Muamar, mencium-cium punggung Muamar, mengelus perut dan dada Muamar. Tak tahan digoda seperti itu, Muamar berbalik sehingga menghadap Ci Luci. Ci Luci membelalak selagi Muamar balas merangkul; si induk semang melongo, dan tanpa minta izin dulu, Muamar mencium bibir Ci Luci. “Awh…” desah Ci Luci. “Ada apa, Ci…” tanya Muamar. Sedekat itu, Muamar makin bisa melihat detil wajah perempuan yang jauh lebih tua daripada dia itu. Muamar sengaja merapatkan seluruh tubuhnya ke tubuh Ci Luci, sehingga kemaluannya yang sudah keras mendesak perut Ci Luci. Tangan si pemuda mencengkeram erat pantat kencang Ci Luci. Ci Luci tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya dia inginkan, tapi jelas ada sesuatu yang tak lagi dia mampu pendam. Ci Luci membuka gaunnya sehingga tinggal memakai pakaian dalam di hadapan Muamar. Lalu dia melepas BH. Payudaranya masih kencang; masih indah untuk perempuan seumur dia. Lengannya merangkul leher Muamar lalu dia mengangkat tubuhnya untuk mencium Muamar. Perempuan itu lalu menarik Muamar ke arah tempat tidurnya. Sejak tadi keduanya tak saling bicara. Namun keduanya seolah sudah saling mengetahui apa yang diinginkan. Ketika Ci Luci duduk di ranjang dan Muamar berdiri di depannya, Muamar bisa melihat nafas Ci Luci memburu, wajah perempuan itu memerah selagi matanya menatap penuh harap. Ci Luci kembali merangkul leher Muamar, kali ini untuk menarik Muamar sehingga membungkuk lalu menindih tubuhnya yang rebah di ranjang. Kedua kaki Ci Luci ikut merangkul pinggang Muamar. Muamar mencium leher Ci Luci. Satu tangan Ci Luci mengarahkan tangan Muamar agar mengelus-elus selangkangannya yang masih tertutup celana dalam. Muamar memandangi wajah Ci Luci yang matanya terpejam, terlihat menunggu-nunggu. “Ohhh,” desah Ci Luci karena merasakan ciuman Muamar mulai mendarat di leher dan dadanya. Terus turun sampai mencapai selangkangan. Ci Luci mengangguk, memperbolehkan Muamar melepas celana dalamnya. Untuk pertama kali Muamar melihat tubuh telanjang induk semangnya. Putih bersih bersemu merah. Ci Luci bangkit lagi dan ganti dia yang menggerayangi Muamar. Kini posisi Muamar berdiri tegak sementara Ci Luci duduk telanjang di ranjang. Perempuan itu menciumi perut Muamar, sambil menggenggam kejantanan Muamar yang tegak. Muamar melepas bajunya; celananya sudah melorot dari tadi. “Lu udah keras kayak begini…” akhirnya Ci Luci berkata. “Gua masih bisa bikin orang kepengen kan…?” Muamar tak bisa menyangkal. Faktanya Ci Luci telah berhasil membuat dia ereksi. Tubuh tak bisa bohong. “Makasih…” gumam Ci Luci. “B-buat apa, Ci?” tanya Muamar gugup. “Lu kemarin mau ngebelain gua…” ujar Ci Luci sambil menggenggam dan mengelus batang Muamar. “Ngehibur gua sesudahnya… dan…” “Emm…” Muamar tak kepikiran bicara apa-apa karena keenakan. “…dan… nunjukin bahwa gua masih bisa bikin laki begini…” Ci Luci merapatkan ereksi Muamar ke pipinya yang berbedak tebal. Dia mendongak menghadap Muamar dan Muamar melihat ada sedikit kesedihan di tatapan Ci Luci. “Tapi… mungkin lu lebih suka cewek yang masih muda… seperti pacar lu yang suka datang itu kan…” “Ah… enggak kok…” Muamar bingung. “C… Ci Luci juga cakep kok, nggak kalah dengan pacarku…” Tapi nafsunya dibikin memuncak oleh godaan dan elusan Ci Luci. “Gua tau kalian biasa ngapain aja…” Ci Luci menyatakan itu sambil menggenggam kencang kemaluan Muamar. “Bikin ngiri aja…” “Hah?” Muamar kaget. Ternyata selama ini mungkin Ci Luci mengawasi atau malah mengintip kegiatannya bersama Ami? “Tapi… cakepan dia daripada gua kan?” Ci Luci melepas genggamannya dan menundukkan kepala. “Gua udah tua… mana mau lu sama gua…” “B… bukan begitu Ci…” sanggah Muamar. “…kok kemarin lu diam aja pas gua bikin ngaceng…?” tanya Ci Luci, mengingatkan kejadian hari sebelumnya ketika dia merangsang Muamar sampai tegang lalu pergi masuk kamar. “Ng… soalnya kan kita…” Muamar bingung menjawabnya. “Lu takut ya sama gua…?” tantang Ci Luci. Muamar memegangi kedua pergelangan Ci Luci lalu mendorong perempuan itu sampai rebah dan tubuhnya sendiri berada di atas Ci Luci. “Mau Ci Luci sebenarnya apa sih?” tanya Muamar dengan nada lebih keras. Perempuan itu sepertinya kaget dibegitukan, dia terpejam dan buang muka, lalu meraih ereksi Muamar dan menariknya… ke pintu masuk kewanitaannya. Ci Luci menatap Muamar dengan ekspresi memohon, mengangguk. Muamar tahu apa yang induk semangnya inginkan. Posisi Ci Luci sudah pas, telentang, paha merenggang, menunggu untuk dijamah si pemuda. Muamar mendorong anggota tubuhnya yang keras tebal itu masuk. Vagina Ci Luci terasa lembut dan basah. Dia berhenti sebentar melihat wajah Ci Luci berkerut tak nyaman namun ketika ekspresinya berubah santai, Muamar kembali memajukan pinggulnya dan seluruh panjang batangnya memaksa masuk ke dalam tubuh Ci Luci. Muamar tak percaya dia sedang menyetubuhi induk semangnya. Dia tak pernah terpikir itu. Ataukah pernah? Bukankah kejadian kemarin-kemarin membuat Ci Luci masuk ke khayalan seksnya? “Ohhhh…” Ci Luci mengerang. “Ahn… masuk sampai situuu…” “Kenapa Ci… Sakit?” tanya Muamar. “…mentok…” gumam Ci Luci sambil memejamkan mata. “…r-rasanya belum pernah dimasukin sejauh itu…” Untuk beberapa lama Muamar tak bergerak, hanya menusuk sedalam-dalamnya, melihat reaksi Ci Luci. Belum digoyang pun sudah terlihat bahwa perempuan Tionghoa itu keenakan. Muamar jadi bertanya-tanya sebenarnya seberapa banyak pengalaman seks Ci Luci, terutama dengan beragam pasangan. Beragam ukuran laki-laki… Ketika Muamar mulai menggenjot, ekspresi Ci Luci pun makin keenakan. Muamar juga merasakan betapa sempit dan basah kewanitaan Ci Luci. “Ahh,” kata Muamar, “Punya Ci Luci enak jugahh… Gimana Ci enak gak…?” “Ahn enak… k… kontol lu enak gede…” Ci Luci mulai meracau dan bicara jorok. “Terserah lu mau apain aja gua… ahh!” Pelan-pelan Muamar bergerak maju mundur, meningkatkan kecepatan dan kekuatan. Terdengar bunyi kulit bertemu kulit, dan Ci Luci mengerang keenakan tiap kali disodok. “Iyahh… terus! Genjoth… yang keras! Hnngh!” Muamar makin semangat dan gencar menggenjot, menyeruduki keras-keras liang kenikmatan induk semangnya. Terasa bahwa Ci Luci mendekati klimaks, nafasnya menjadi pendek-pendek dan nada suaranya meninggi. “Aah…!! ♥ Enak dientott… Ooohhh!” ucap Ci Luci karena enak, selagi batang panjang si pemuda keluar masuk kewanitaannya. Begitu keras sampai tubuh perempuan itu terguncang-guncang digoyang. “Ci Luci doyan kontolku ya…?” goda Muamar. Rupanya ucapan jorok itu mendorong Ci Luci ke puncak dan si perempuan menjerit selagi orgasme melanda. “Oooaaahhh! Urhhh!” Orgasmenya mereda, Ci Luci merangkul tubuh dan menciumi bibir Muamar. “Ngh… lu belum puas ya…” kata Ci Luci memandangi Muamar. Sebenarnya Muamar mau mencabut batangnya dari dalam, tapi pinggulnya ditahan Ci Luci. “Jangan dicabut…!” “Tapi nanti keluar… di dalam…?” tanya Muamar canggung. “Sebodo amat…” desah Ci Luci, “Entot gua lagi… yang keras…!” Mendengar itu Muamar bersemangat lagi, ereksinya terasa lebih kencang. Dia meminta ganti posisi. Dengan enggan Ci Luci membiarkan Muamar mencabut batangnya, lalu dia berbalik badan, berposisi merangkak dengan bertumpu ke tangan dan lutut di atas ranjang. Muamar berlutut di belakang Ci Luci, meregangkan bibir kemaluan perempuan itu. “Aku masukin lagi ya Ci…” “Entot gua dari belakang…!” perintah Ci Luci dengan suara penuh nafsu. “Sodok memek gua yang kenceng…” Muamar mencengkeram pinggul Ci Luci dan mendorong penisnya masuk lagi. Batangnya masih basah karena bekas orgasme tadi, sehingga bisa masuk semua dengan mudah. Tapi kemaluan Ci Luci masih cukup menggigit. “Ahhn enak kontol lu…” rintih Ci Luci, kepalanya tertunduk dan mukanya tertutup rambut. “Gedean punya lu daripada dia…” “Enak kan Ci dientot kayak gini?” Muamar makin berani. Mendengar perbandingan barusan, nafsunya memuncak. “Awas Ci aku bisa ga tahan nih!!” “Iyah… crot aja di dalam gua…!” seru Ci Luci, tak tahan disodok-sodok kencang Muamar. “Buang aja di dalam!” “Ahh Ci, memeknya enak banget! Suka ya diewe dari belakang gini?” “Sukaa…. apalagi sama yang gede kayak lu!” Muamar menggenjot sekeras-kerasnya, sampai ranjang Ci Luci berguncang selagi kejantanannya mengebor perempuan berumur dua kali lipat dirinya itu. Keduanya sudah mandi keringat, lalu Ci Luci menjerit lagi karena kembali dapat kepuasan, memejamkan mata dan membenamkan wajah ke kasur. “Ci! Ohh!! Aahhh!!! Aku mau keluar Ci!!” Muamar juga tak tahan. “Ahn di dalam ajaaa!” pinta Ci Luci, tak peduli lagi dengan segalanya. “Urghh!” Muamar menggerung selagi akhirnya dia ejakulasi di dalam kemaluan Ci Luci. “Ahh!! ♥ Kerasa crotnya…!!” seru Ci Luci. “Anget… enak kan…?” Muamar tak menjawab dan mengeluarkan semua yang tersimpan sambil mengerang keenakan. Dia lalu mencabut batangnya. “Keluar banyak ya…” kata Ci Luci, merasakan cairan kental memenuhi celah kewanitaannya. “Apa… memek gua masih kerasa enak…?” “Iya… enak…” jawab Muamar lemas. Dia berbaring di sebelah Ci Luci. Dia belum pernah melakukannya dengan perempuan setua itu. Atau yang bereaksi seperti Ci Luci. Ami pacarnya cenderung diam dan pasif di ranjang. Mereka berdua berbaring bersebelahan dalam diam untuk beberapa lama. Ekspresi Ci Luci tak bisa dibaca oleh Muamar. Apakah si induk semang merasa bersalah? Muamar tak tahu. Ci Luci pasti sudah lebih banyak pengalaman hidup daripada Muamar, dan Muamar belum mengenal Ci Luci cukup jauh untuk paham bagaimana perasaannya. Muamar akhirnya memutuskan sendiri untuk bangkit. Ci Luci hanya memandang kosong selagi Muamar mengenakan kembali pakaiannya. Muamar lalu pergi. Tapi sebelum meninggalkan kamar, dia menyempatkan diri mengecup bibir Ci Luci dan tersenyum. —– “Ahh… Mar! Kok jadi nafsu banget gini…ah…Agh!” Ami bertanya di sela-sela genjotan kencang Muamar, lalu omongannya terhenti oleh jerit keenakan karena orgasme. Sudah yang ketiga, tapi Muamar belum juga orgasme. Bukannya dia tak terangsang oleh Ami, melainkan simpanan benihnya tadi sudah habis di dalam Ci Luci. Ketika itu hanya beberapa jam sesudah Muamar bersetubuh dengan Ci Luci, dan Ami datang. Atau apakah Ami tidak cukup menarik lagi bagi dia? Apakah dia mulai lebih suka perempuan berumur 40 tahun dibanding 18 tahun? Apakah dia lebih suka wajah Ci Luci yang keriputnya disamarkan bedak tebal dibanding wajah Ami yang masih mulus? Payudara Ci Luci yang kalah kencang dengan payudara Ami? Mestinya mustahil. Ami masih muda, mulus, dan tidak macam-macam. Muamar terus menggenjot kencang pacarnya, seolah mau membuktikan dia masih lebih suka gadis muda daripada perempuan setengah tua. Dibuatnya Ami orgasme sekali lagi, dan kemudian dia juga orgasme, menyemprotkan hanya sedikit ke dalam kondom. Dan ketika Ami menciumnya lalu meninggalkan pintu kamarnya, Muamar kembali melihat Ci Luci di kejauhan. Menatapnya. —
Ci Luci Esok paginya semua berjalan seperti biasa. Seolah adegan intim sebelumnya tak pernah terjadi. Muamar membantu Ci Luci di toko. Namun ada satu hal yang menonjol. Di toko, Ci Luci didatangi beberapa penagih utang. Ci Luci berargumen keras dengan mereka. Muamar berusaha tidak menghalangi, karena dilarang ikut campur oleh Ci Luci. Tapi dari apa yang dia dengar, sepertinya Ci Luci memang terlilit utang cukup besar. Dua miliar. Dan cicilannya sudah tertunggak beberapa bulan. Penagih utang mengancam akan menyita tanah tempat toko berdiri, yang menjadi jaminan. Lalu mereka pergi, meninggalkan Ci Luci yang membisu. Ketika Muamar mendekat untuk mencoba menghibur, Ci Luci memeluknya dan menyandarkan kepala ke dadanya. Tanpa bersuara. —– Yang sempat Muamar pikirkan sepertinya mulai terjadi. Sorenya, Muamar kembali ke kamar dengan kepala penuh pikiran. Dia kasihan ke Ci Luci yang stres menghadapi utang. Tapi ternyata Ami menunggu, ingin “minta jatah”. Maka keduanya pun bersetubuh; sementara Ami berteriak dan menggelinjang keenakan menikmati orgasme, Muamar malah sibuk mencoba mengkhayalkan sesuatu agar bisa ejakulasi. Ami puas dibikin klimaks berkali-kali oleh dia, tanpa menyadari bahwa sedikit demi sedikit minat Muamar terhadap perempuan bergeser. Dan Muamar mengakhiri persetubuhan itu tanpa mengalami orgasme. —– Jantung Muamar berdebar ketika dia mengetok pintu rumah Ci Luci tak lama sesudah Ami pergi. Ci Luci memanggilnya. Dan kemaluan Muamar yang belum puas pun ikut bereaksi menegang. Ci Luci tak berkata apa-apa ketika membukakan pintu untuk Muamar, hanya memeluknya erat seperti ketika pagi sebelumnya di toko. Tangan Ci Luci membelai dan meremas pantat Muamar, merapatkan bagian itu ke tubuhnya. Ketika menyadari ada yang kaku dan membesar di balik celana Muamar, perempuan setengah baya itu tersipu. Muamar memandangi wajah Ci Luci yang dirias tebal seperti mau kencan, meski dia tahu Ci Luci tak berniat pergi keluar. Ekspresinya datar namun Muamar sudah tahu seperti itulah wajah yang dipakai Ci Luci untuk menutupi nafsu yang menggebu. Dan Muamar juga begitu. Muamar meraih pinggang Ci Luci, memeluk sambil mengangkat tubuh induk semangnya. Lidah dan bibir keduanya bertemu dan bergulat; tubuh Ci Luci terasa hangat, wanginya begitu memikat. Ci Luci menoleh ke arah kamar tidurnya dan Muamar tahu apa yang perempuan itu inginkan. Dia berinisiatif menggandeng tangan Ci Luci, berjalan ke sana. Keduanya selalu tak banyak saling bicara namun tahu apa yang diinginkan. Ci Luci berbaring telentang pasrah, membiarkan Muamar melepas celana dalamnya dan menaikkan gaunnya, lalu membuka lebar kedua pahanya. Kali itu Muamar mau melakukan foreplay lebih lama. Dia menjilati dulu belahan kewanitaan Ci Luci, membuat perempuan Tionghoa itu menggelinjang keenakan. Tak lama kemudian Muamar menelanjangi lalu mempenetrasi Ci Luci dalam posisi misionaris. Mata Ci Luci membelalak ketika kejantanan Muamar masuk. “Ah… iya gitu…. masukin pelan-pelan… Aduh gede banget…” kata-kata Ci Luci berhenti ketika Muamar menciumi bibirnya, begitu gencar sampai-sampai lipstik tebal Ci Luci mencoreng wajah Muamar. Muamar menggenjot pelan, tanpa terburu-buru. Tak butuh waktu lama bagi dia untuk memberi orgasme pertama kepada Ci Luci. Ci Luci menatap pasrah sesudah dipuaskan. Dia terlihat rapuh. Dan Muamar bertanya kepada diri sendiri, mengapa rasanya sekarang dia lebih suka dengan tubuh perempuan lebih tua itu? Mengapa lebih enak dibandingkan Ami? Tapi kemudian telepon Ci Luci berbunyi. Muamar memandangi Ci Luci, mau bertanya apakah telepon itu mau diterima dulu. Sambil bergerak pelan seolah mau mencabut ereksinya dari dalam Ci Luci. Ci Luci menahan geraknya dengan merangkulkan kaki ke pinggang Muamar, sambil menyambar telepon genggamnya yang berbunyi. Muamar diam saja selagi Ci Luci memutuskan untuk menjawab telepon itu. “Halo? … Oh, kamu. Mau apa lagi telepon-telepon?” kata Ci Luci. Muamar tak diberitahu siapa itu, tapi dia bisa menebak. Ci Luci biasa menggunakan “gua-lu” kalau berbicara ke semua orang, dan setahu Muamar hanya memakai “aku-kamu” ke satu orang. Suaminya. Dan nada bicara Ci Luci berubah sengit seperti ketika pertemuan mereka di toko kemarin dulu. “Sudah kubilang aku bisa bayar sendiri utangnya! Nggak usah ikut campur,” kata Ci Luci. “Apa? Kamu nggak usah nawar-nawarin orang beli tanah toko! Nggak bakal kujual!” Muamar terus diam. “Bisa nggak sih kamu berhenti gangguin hidupku? Apa belum puas nyakitin aku hah?” “Aku lagi sibuk,” kata Ci Luci sambil bangkit dari tempat tidur dan mendorong keluar Muamar dari tubuhnya. Tapi Ci Luci malah menggenggam kejantanan Muamar yang masih keras, berbalik, berposisi menungging di depan tempat tidur. Tangannya menarik Muamar, memberi isyarat untuk masuk lagi… Muamar penasaran apa yang mau dilakukan Ci Luci. “Sibuk apa? Terserah aku mau sibuk apa!” Lalu sesudah berteriak seperti itu ke suaminya, Ci Luci menggerakkan pinggulnya, menancapkan diri ke penis Muamar. Sengaja dia mendesah di telepon. “Aahh!!” “Sibuk… cari gantinya kamu!… Aahn…” Dalam posisi itu, Ci Luci terus berbicara ke suaminya. Muamar merasa Ci Luci melebih-lebihkan desahannya. “Hngh… ugh!” “Memangnya kamu aja yang bisa main cewek…? Ahh… Mereka juga cuma mau duit, paling! Hngh! Nggak apa-apa!… Ambil aja buat kamu!” “Iya, ini aku lagi sama cowok!…” Ci Luci terdiam sebentar lalu menyambung dengan kasar, “Lagi NGENTOT!” Dia memberi kode ke Muamar untuk mulai bergerak, dan Muamar pun mulai menggenjot. “Aah…. aahh!!” Ci Luci mendeskripsikan apa yang sedang dialami ke suaminya lewat telepon. Lengkap dengan semua efek suaranya. “Aah! ♥ Aku lagi disodok kontol! Dalem banget… Gede keras… Enak!!” “Ah! Anh! Ngg!” Erangan Ci Luci sudah tak palsu lagi, namun dia sengaja melakukannya di telepon. Jelas dia sedang berusaha memukul balik suaminya. “Ah! Enak! Gedean dia daripada kamu! Dia sampai mentokh… uunghh! Ah! Lagi sayang! Entot aku! Keluarin di dalam akuu…. AAA!!” Ci Luci menjerit keras, menyampaikan suara orgasme ke suaminya. Muamar terangsang berat dengan seluruh adegan itu. Dan dia juga merasa tak tahan lagi. Sambil menggerung Muamar berejakulasi di dalam rahim Ci Luci. Dan Ci Luci juga mengungkapkan itu ke suaminya. “Aahh!! ♥ Ahh dia crot di dalammm…!” Suaranya bergetar penuh nafsu. “Ah! Pejunya kental…. hangat…!! Enak banget di memekku! Haah…. haaahh…” “Aah… Enakan dia daripada kamu… Lagian siapa tau dia bisa hamilin aku….” di tengah redanya gelombang nafsu, Ci Luci menyempatkan mengejek suaminya. Sepertinya dia berhasil membuat suaminya jengkel. Terdengar nada telepon diputus. Untuk pertama kalinya, Muamar melihat Ci Luci tersenyum lebar. Lalu tertawa lepas. “Hm, hm, hihihi… he he… hahaha… HUAHAHAHA!!” Muamar bingung, tapi entah kenapa, dia senang melihat Ci Luci tertawa seperti itu. Seolah akhirnya Ci Luci bisa lega sesudah selama ini tegang karena berbagai hal. —– Ci Luci berbaring di sebelah Muamar di ranjang. Makeup tebalnya berantakan sesudah persetubuhan yang seru tadi, tapi Muamar menganggap Ci Luci terlihat tetap cantik. Pelan-pelan keduanya akhirnya mulai saling bicara. Memang aneh rasanya, karena mereka sudah berhubungan seks dua kali, namun baru kali itu terlibat percakapan intim. Ci Luci menceritakan suaminya. Suaminya sebenarnya kurang jago di ranjang, cepat keluar. Ukuran kejantanannya juga tak sebesar Muamar. Ci Luci menganggap kekurangan itu berpengaruh ke sikap suaminya yang jadi frustrasi sendiri, lalu melampiaskan dengan mengumbar nafsu ke mana-mana. “Tapi cewek-cewek lain paling juga nggak puas sama dia, hahaha!” kata Ci Luci sambil tertawa dan bergelayutan manja. Muamar tersipu. “Punya dia kalau tegang cuma segenggamanku! Kalau punya kamu… kan… mesti gini pegangnya?” Ci Luci menggenggamkan dua tangan. Lalu melirik menggoda, tertawa, mencium dada Muamar. “Ya ampun,” Ci Luci tertegun ketika dia tanpa sengaja melirik cermin rias di kamarnya. Dia bangkit lalu duduk di depan cermin. Muamar mengikuti. Ci Luci memandangi wajahnya yang acak-acakan lalu mengeluh. “Aduhh… jadi berantakan begini.” Lalu dia menoleh dan menatap sendu ke Muamar yang sudah berdiri di belakangnya. “Aku kelihatan tua ya?” tanya Ci Luci. “Pasti lah… tahun ini aku sudah empat puluh. Pacar kamu itu masih cantik, masih mulus. Bikin iri saja…” Muamar menyadari: Ci Luci mulai menggunakan “aku-kamu” ketika bicara dengan dia. Dia juga melihat wajah Ci Luci berubah sedih. Jadi dia rangkul si induk semangnya. “Nggak kok. Ci Luci juga cantik, nggak kalah dari Ami. Asal…” “Asal apa?” tanya Ci Luci. “Asal Ci Luci mau senyum seperti tadi,” jawab Muamar dengan nada nakal. “Gimana ya, tadi itu Ci Luci kelihatan cantik banget.” “Kamu tahu kan aku mesti kamu apain biar bisa senyum kayak tadi,” kata Ci Luci sambil menyandarkan kepala ke perut Muamar yang berdiri di sebelahnya. Lalu sambil tersenyum jahil dia berkata, “Eh… masih ingat hinaan suamiku dulu di toko?” “Yang mana?” “Yang aku disuruh jual diri, tapi dibilang nggak bakal laku.” “Iya. Kenapa emangnya?” “Menurut kamu itu benar nggak?” Muamar tak tahu bagaimana harus menjawab. Rasanya kurang sopan… Tapi Ci Luci menanyakan itu sambil membelai-belai kemaluannya, yang mulai ereksi lagi. “Tuh, malah dia yang jawab, hihihi…” kata Ci Luci sambil tertawa. “Tapi… makasih ya.” “Kok bilang terima kasih ke saya, Ci?” “Seenggaknya…” ujar Ci Luci dengan suara sendu, “kamu bikin aku ngerasa masih laku.” Lalu Ci Luci mencium kemaluan Muamar. “Eh… ini suka diisepin sama pacarmu itu ya?” sambung Ci Luci. Muamar lagi-lagi tak mau menjawab. Tapi Ci Luci melanjutkan, “Kamu nggak bilang juga aku tahu… Maaf ya kadang aku ngintip. Nakal kamu, dikasih kebebasan di kamar kontrakan, malah dipakai berbuat asusila.” Si induk semang tersenyum jahat. “Aku mau coba juga…” Dan untuk pertama kalinya, Ci Luci memberi seks oral kepada Muamar. Sebenarnya Ci Luci tidak seahli Ami melakukannya; meski lebih tua, agaknya kalah pengalaman atau tidak terbiasa. Tapi tetap saja itu membuat Muamar terpana. Ci Luci tadinya asing baginya, tak bersahabat, makhluk menyebalkan yang sukanya marah-marah dan menagih uang sewa. Namun sekarang begitu berbeda, begitu akrab. Muamar sudah menjadi penyewa, lalu pembantu, lalu sekarang… apanya induk semangnya itu? Sekarang Ci Luci mengisap penisnya. Mata sipit Ci Luci yang dibingkai celak hitam itu seolah mau bercerita banyak mengenai mengapa semuanya terjadi. Kenapa…? Dan ketika dia akhirnya tak tahan untuk mencurahkan (agak lama, karena Ci Luci belum sepiawai itu), Ci Luci menelan semuanya. Malam itu Muamar merasa tak ingin pergi dari sana, tak ingin meninggalkan Ci Luci. Setelah keduanya kembali berbaring di tempat tidur, mengobrol lagi, tak lama kemudian Ci Luci ketiduran, dalam pelukan Muamar. —– Hari-hari berikutnya mereka makin sering berduaan. Muamar datang pagi-pagi ke rumah Ci Luci, kadang tanpa diminta. Kadang hanya untuk melakukan pekerjaan ringan seperti membersihkan rumah, mencuci piring, menata stok barang dagangan di rumah. Kadang juga menjaga toko bersama (walaupun toko itu tetap sepi). Kadang memijati Ci Luci kalau dia pegal, yang biasanya berujung seks. Tidak setiap hari mereka berhubungan seks, tapi lumayan sering. Bahkan Muamar jadi lebih sering bersetubuh dengan Ci Luci daripada dengan Ami. Namun semua itu ternyata hanya sementara. —– “Ada surat buat kamu. Ini dari PT…” kata Ci Luci suatu siang ketika dia mendatangi kamar Muamar. Muamar mengenali nama PT itu, satu perusahaan perkebunan yang pernah dia kirimi surat lamaran. Di depan Ci Luci, Muamar merobek amplop surat dan membaca isinya. “…dengan ini kami beritahukan bahwa Saudara kami anggap cocok untuk pekerjaan yang dilamar, dan kami harap Saudara dapat segera bergabung dengan kami di…” “Ci! Aku diterima kerja! Aku dapat kerjaan!” Muamar berseru kegirangan, spontan memeluk Ci Luci di depannya. Ci Luci ikut terbawa kebahagiaan Muamar. “Ah, selamat! Akhirnya kamu dapat kerja juga!” Keduanya berciuman mesra, dan berpelukan erat. Lalu Muamar sadar sesuatu. Perusahaan perkebunan itu terletak di pedalaman, dan dia melamar sebagai staf lapangan—artinya kalau diterima kerja di sana, dia harus pergi ke pedalaman. Pergi dari rumah Ci Luci. Maka itu wajahnya yang girang berubah lagi ekspresinya. Dan Ci Luci melihat. “Kenapa malah murung begitu?” tanya Ci Luci. “Ini… di pedalaman, Ci. Kalau aku kerja di sana, aku mesti… pindah,” jawab Muamar terbata-bata. Tapi Ci Luci malah pasang tampang tegas. “Jangan buang kesempatan. Kamu tahu kan sekarang susah cari kerja? Apa kamu suka nganggur terus?” katanya menasihati. “…Ci Luci nggak apa-apa?” tanya Muamar ragu. “Kamu ini gimana. Jangan pikirin aku! Kamu harus pikirin masa depan kamu dulu. Kamu masih muda, Mar. Apalagi kamu laki-laki. Kamu mesti bisa berdiri sendiri! “ dia berhenti sejenak, lalu, “…jangan kayak suamiku, laki-laki yang cuma bisa ngandalin istrinya, sudah begitu sia-siakan aku juga. Terima saja tawarannya!” Muamar melihat dua ekspresi sekaligus di wajah Ci Luci. Bibirnya terkatup tegas; tanda dia berkeras dengan pendapatnya. Matanya berkaca-kaca; tanda sedih. Tapi nasihat Ci Luci benar. Ini kesempatan dia untuk mengubah hidup. “Baik, Ci. Saya bakal kerja di sana. Dan pasti bayar tunggakan uang sewa kontrakan,” kata Muamar sambil balas menatap mata Ci Luci. Keduanya segera membahas rencana selanjutnya. Muamar harus segera datang ke lokasi lahan perusahaan itu, yang berada di ujung provinsi, 100 km lebih dari kota tempat mereka berada. Lima jam naik mobil atau bus menempuh jalan daerah yang kondisinya kurang bagus. Dia diberi waktu sampai seminggu ke depan. Muamar berkata ke Ci Luci bahwa dia hanya perlu waktu sehari untuk beberes, jadi
sebenarnya mau berangkat besok juga bisa. “Tapi saya minta bantuan Ci Luci untuk pilihkan tanggal saya pergi,” kata Muamar. Ci Luci bertanya apakah dia perlu pamitan ke siapa-siapa. Tidak perlu, kata Muamar. Orangtua dan keluarga? Di provinsi lain, dan Muamar berencana baru mau menemui mereka kalau sudah cukup mapan. Ami? Muamar bilang, gampang. Siapa lagi? “Paling-paling, Ci Luci,” kata Muamar. Jawaban yang membuat Ci Luci tersipu. “Nanti kukasih tahu kapan kamu bisa pergi,” kata Ci Luci sambil meninggalkan kamar Muamar. —– Tiga hari lagi, kata Ci Luci. Dan Muamar pun mempersiapkan kepergiannya. Dia mengemas semua barang—tidak banyak, satu koper besar sudah cukup. Ami berkunjung sehari sesudah pengumuman itu datang, dan Muamar juga memberitahu dia. Ami mengucapkan selamat, lalu bertanya apa rencana Muamar selanjutnya. Muamar bilang dia akan pindah dalam beberapa hari. Ami tak bertanya apa-apa soal hubungan mereka. Seolah dia menganggap hubungan mereka sekadar akan berubah jadi LDR. Ya, mereka sempat bersetubuh juga hari itu. Tapi Muamar melakukannya setengah hati. Dia menyadari perasaannya ke Ami mulai terkikis. Muamar tak lagi membayangkan Ami ada pada masa depannya. Hari pertama itu juga, Muamar tak dipanggil Ci Luci. Yang ada, dia malah melihat Ci Luci pergi keluar sendirian. Hari kedua, Ci Luci juga pergi seharian. Namun sebelum pergi, Ci Luci mengetok pintu kamar Muamar dan mengatakan agar dia datang ke rumah sorenya. Muamar akan pergi pada hari ketiga, pagi, jadi dia pun tahu, itulah kesempatan dia mengucapkan selamat tinggal yang pantas kepada Ci Luci. —– Sore itu Muamar sengaja berpakaian dan berpenampilan rapi. Dia mengetok pintu rumah Ci Luci dan induk semangnya itu membukakan pintu. Dan saat itu Muamar terpukau. Ci Luci sepertinya benar-benar menganggap acara malam itu istimewa, berdasarkan usaha yang telah dia lakukan untuk mempercantik penampilannya. Dia mengenakan kimono sutra merah dengan sabuk yang membelit pinggang rampingnya. Tata rambutnya sempurna, rias wajahnya seolah mengurangi umurnya 10 atau 20 tahun. Jelas hasil kerja profesional—Muamar menebak Ci Luci didandani salon. Tubuh kecil Ci Luci tampak lebih tinggi; dia memakai sepatu hak tinggi, yang berbunyi ketuk ketuk menggoda selagi Ci Luci menggandengnya ke dalam rumah. Tak seperti biasa, Ci Luci mengajak Muamar ke meja makan. Ternyata sudah ada hidangan tersedia di sana. “Aku pikir kamu nggak merayakan ini sama siapa-siapa, jadi aku siapin aja buat kita rayakan sama-sama di sini. Belum makan kan? Ayo,” kata Ci Luci. Belum pernah sekalipun Muamar diajak makan bersama oleh Ci Luci—walaupun Muamar sering kebagian cuci piring dan peralatan masaknya. Muamar duduk, dan Ci Luci langsung menimpali, “Tenang saja, ini semua kamu bisa makan kok, aku nggak masak yang kamu nggak boleh makan.” Keduanya makan malam bersama sambil mengobrol. Muamar sempat mengungkit tunggakannya. “Ci, saya masih ngutang berapa bulan, ya? Mau saya lunasi sebelum pergi.” “Tiga bulan,” kata Ci Luci. “Tapi… nggak usahlah. Anggap lunas.” “Nggak, Ci,” balas Muamar. “Saya tahu ini sumber penghasilan Ci Luci, jadi saya tetap akan bayar.” “Kamu sekarang perlu bekal buat di sana, hari-hari pertama pasti kamu belum digaji kan? Kalau kamu punya uang, pakai buat di sana saja,” tolak Ci Luci. Tapi Muamar bersikeras tetap ingin membayar. Akhirnya Ci Luci menawarkan, “Begini. Kamu bayar kalau sudah gajian. Tapi nggak usah buru-buru, yang penting uangmu cukup dulu. Sebulan, tiga bulan lagi, setahun lagi, nggak apa-apa.” Muamar mengangguk setuju. Selesai makan, Ci Luci meminta Muamar menunggu di sofa di ruang tengah. Dia pergi ke dalam kamarnya. Cukup lama, Ci Luci baru muncul kembali, membawa kado. “Ini hadiah buat kamu,” katanya. Tapi Muamar kurang memperhatikan itu. Dia lebih memperhatikan penampilan Ci Luci. Rias wajahnya berbeda sedikit—bibirnya diwarnai lipstik merah berkilau. Kimononya pun telah dilepas, berganti lingerie tipis, macam yang biasa dilihat di majalah laki-laki dewasa atau film biru. Cukup untuk membuat kejantanan Muamar berontak dalam celana. Ci Luci terlihat seksi! “Buka kadonya,” perintah Ci Luci. Muamar membukanya: Ci Luci menghadiahi kemeja dan celana panjang. “Dicoba ya… aku pengen tahu ukurannya pas atau tidak,” kata Ci Luci. “Sekarang?” tanya Muamar. “Di sini?” “Iya,” kata Ci Luci. Muamar melihat induk semangnya tersenyum nakal. Dan dia menanggapi dengan mulai membuka bajunya. Lalu celananya. Lalu dia memakai kemeja dan celana panjang hadiah Ci Luci. “Pas, Ci. Terima kasih…!” kata Muamar. “Tapi ini aku lepas lagi ya…” Dan Muamar pun melepas kembali pakaian barunya, sehingga dia akhirnya berdiri hanya bercelana dalam di depan si induk semang. Ci Luci menyuruh Muamar duduk di sebelahnya di sofa, dan setelah duduk, Ci Luci mencium bibir Muamar. Sambil merebahkan diri Ci Luci menarik Muamar sehingga tubuh Muamar berada di atas tubuhnya, lidah keduanya bergulat dalam nafsu. Nafas Ci Luci memburu dan dia menekan bahu Muamar, memberi tanda supaya Muamar bergeser ke arah bawah tubuhnya. Muamar mencium leher Ci Luci, lalu dada, perut, turun terus sampai gundukan selangkangan di balik celana dalam. Kedua paha Ci Luci merenggang; dia memerintahkan, “Jilat.” Muamar membuka celana dalam Ci Luci dan mengungkap kewanitaannya. Satu lagi persiapan Ci Luci: vaginanya telah bersih dari rambut dan berbau wangi. Seolah menunggu mulut Muamar. Ketika Muamar menjilati kemaluan Ci Luci, perempuan itu tak bisa diam; dia mencengkeram rambut Muamar dan pinggulnya bergerak-gerak tak terkendali selagi lidah Muamar menyerang celah lembabnya. Bunyi nafas Ci Luci makin keras, dan makin dekat ke orgasme. Muamar makin giat mendengar itu. Dan orgasme pertama malam itu dialami Ci Luci. Sesudah orgasmenya reda, Ci Luci kembali berdiri lalu menggandeng Muamar. Dia membawa Muamar ke kamar mandi. Di sana dia melepas celana dalam Muamar, lalu seluruh bajunya sendiri, menyalakan shower, dan menyuruh Muamar diam saja sementara dia memandikan Muamar. Tidak benar-benar memandikan seluruh tubuh; Ci Luci fokus membersihkan dan menyabuni tubuh Muamar dari perut ke bawah, depan belakang. Dan tentu saja reaksi Muamar seperti biasa: kejantanannya mengeras ketika disentuh dan dirangsang seperti itu. Melihat Ci Luci telanjang bersamanya di kamar mandi… dan harus diakui, nafsunya sekarang mengarah ke sosok perempuan setengah baya itu. Adegannya seperti adegan film porno. Ci Luci telanjang namun sengaja tidak membasahi diri, apalagi muka, sehingga riasannya tetap sempurna. Namun seluruh tubuhnya yang putih terpampang jelas bagi Muamar. Dan bukan hanya selangkangan bagian depan yang Ci Luci bersihkan, melainkan sampai kedua paha Muamar, juga pinggul dan pantatnya sampai belahan. Sesudahnya Ci Luci menghanduki tubuh Muamar sampai kering dan menggandengnya keluar dari kamar mandi. Pindah ke kamar tidur Ci Luci, dan Ci Luci menunjuk ranjang. Disuruhnya Muamar berbaring di sana. Ci Luci melirik ke penis Muamar yang sudah berdiri dengan setetes cairan bening meleleh dari ujungnya. Segera dia berlutut dan membungkuk untuk melahap batang Muamar. Kepalanya mengangguk naik turun dan tangannya mengocok pangkal. Dari sudut pandangnya, Muamar melihat kedua pahanya membingkai wajah cantik Ci Luci. Lalu Ci Luci berbuat sesuatu yang belum pernah dia lakukan. Dia melepas kulumannya lalu beralih mengemut-emut biji Muamar, bibir merahnya menyedot kantong kulit itu. Ci Luci tersenyum nakal, kemudian menurunkan wajahnya sehingga Muamar tinggal melihat dahi putih dan alis hitam di balik ereksinya—dan merasakan lidah Ci Luci menggelitik lubang anusnya. “Ohh?!” Muamar kaget dengan aksi Ci Luci, namun ternyata itu enak bagi dia. Tusukan dan sapuan lidah Ci Luci di duburnya sungguh menggoda dan merangsang. Apalagi dengan tangannya yang bebas Ci Luci juga mengocoki kemaluannya. Benar-benar nikmat tak terduga bagi Muamar, dia tak menyangka Ci Luci mau melakukan rimming yang biasanya dianggap banyak perempuan menjijikkan. Satu menit dibegitukan, penis Muamar sudah sangat keras dan siap meledak. Ci Luci naik kembali dan menciumi batang Muamar. Lalu Ci Luci naik ke atas tubuh Muamar, mengangkangi selangkangannya. Tangannya menggenggam kejantanan muda Muamar lalu mengarahkannya masuk. “Aku pengen dimasukin kamu… siapa tahu ini terakhir kali,” kata Ci Luci. “Dan aku mau kamu penuhin rahimku pakai crotnya kamu…” Kemudian tampilan luar Ci Luci yang tegas dan keras itu terkelupas. Ketika keduanya bersatu, bersetubuh, Ci Luci seperti beralih ke kondisi purba, penuh nafsu. Dia meringis dan mencengkeram Muamar sekuat tenaga. “Ahh–… Aaahhh!!!” Orgasme. Saking terangsangnya Ci Luci, dia langsung klimaks ketika tusukan Muamar mentok memenuhi kewanitaannya. “Apa… Ci Luci dapat lagi?” tanya Muamar. “Urh… haahhh… kontol kamu gede dan enak banget! ♥ Jangan buru-buru keluar ya… Aku pengen dibikin enak lagi!” Ci Luci mulai menggerakkan pinggulnya, memompakan vaginanya sepanjang batang Muamar, menyetubuhi dengan gencar. Kuku-kukunya yang dicat merah mencengkeram dada Muamar selagi keringat menetes dari mukanya. Ci Luci bergerak liar menunggangi Muamar. Muamar belum pernah melihat Ci Luci menggila seperti itu. Kemesumannya membuat Muamar tak tahan. Muamar berteriak, “Ohh… Ci! Aku keluar!!” “Aah… Iya! Keluarin di dalam aku! Agh banyak banget!” seru Ci Luci. “Ahh ngilu Ciii…” kata Muamar karena Ci Luci terus menggoyang. “Lagi… lagi! Crotin yang banyak dalam memekku!” pinta Ci Luci. “Argh… ahh…” Muamar hanya bisa mengerang. Orgasme Muamar mereda. Ci Luci berbaring di atas tubuhnya. Wajah keduanya berdekatan, Muamar sampai bisa melihat lapisan tebal bedak yang membuat wajah Ci Luci tampak jauh lebih mulus malam itu. “Aku nggak mau cuma sekali…” kata Ci Luci manja. “Puasin aku terus semalam ini…” Sesudah beristirahat sebentar, Ci Luci kembali berusaha menggoda kejantanan Muamar. Keduanya berbaring miring berhadapan. Muamar memandangi Ci Luci. Rambut pendek Ci Luci yang mulai berantakan, senyum lebarnya yang kini sering Muamar lihat, mata sipitnya yang membalas tatapan Muamar. “Eh kamu nungging deh,” usul Ci Luci. “Tenang… nggak bakal aneh-aneh.” Muamar berposisi seperti yang diusulkan. Ternyata itu karena Ci Luci tadi sudah menemukan titik sensitif Muamar di pantatnya dan Ci Luci ingin merangsangnya lagi. Lidah Ci Luci kembali bermain-main, melakukan rimming sambil mengocok kejantanan Muamar, merangsang Muamar dengan cara yang berani. Ci Luci tahu Muamar menyukainya karena kemaluan Muamar keras lagi. Akhirnya Muamar tak tahan dan berubah posisi. Dia berdiri di belakang Ci Luci, merangkul dan meremas payudara si induk semang. Ereksinya digesek-gesekkan di pangkal paha Ci Luci, menggoda klitoris. Ci Luci mendesah-desah. “Ahhn jangan godain aku Mar…” tolaknya, tapi Muamar tahu itu setengah hati. “Kontol kamu… ah enak di itilku… jangan digesekk… Ah ga tahan… jangan godain aku… cepetan masukin… cepetan entot… perkosa aku Mar… entot aku pakai kontol gede kamu…” Muamar mengarahkan kepala penisnya ke rekahan kewanitaan Ci Luci dan mendorong masuk. Batang tebal itu terus menekan dinding-dinding yang menjepitnya, sampai akhirnya masuk semua. “Aaa… aaa….” Ci Luci mengerang, matanya membelalak. Muamar menarik ke belakang pelan-pelan, lalu mendorong pelan-pelan juga. Dalam satu kesempatan sebelumnya Ci Luci pernah bilang dia lebih suka Muamar pelan-pelan, karena ukurannya besar. Namun yang jelas punya Muamar lebih terasa daripada punya suaminya. Digenjot pelan begitu pun luar biasa rasanya bagi Ci Luci, yang terengah-engah keenakan. Muamar memeluknya dari belakang lalu menegakkan tubuhnya—dan berusaha menggeser posisi mereka berdua, tanpa mencabut kejantanannya dari dalam Ci Luci. Mereka bergeser sampai berada menghadap cermin rias besar Ci Luci. Di cermin besar itu, tampak bayangan sepasang manusia yang kontras. Yang laki-laki masih muda, bertubuh besar, berkulit gelap. Yang perempuan sudah setengah baya, bertubuh kecil, berkulit putih. Ci Luci merangkul ke belakang, menarik kepala Muamar agar menciumi lehernya. Dia melihat wajahnya sendiri yang penuh nafsu, kerut-kerut di tubuhnya, kontras dengan kulit Muamar yang masih kencang. Ci Luci melihat sendiri semua ekspresinya, senang, sakit, enak, ketika Muamar mengaduk-aduk tubuhnya luar dalam dengan batang di kemaluannya. Rasa gairah yang kuat kembali melanda Ci Luci. Dia tahu Muamar juga mulai tak tahan—dia bisa lihat ekspresi Muamar di cermin—dan berharap Muamar segera klimaks di dalam seperti tadi. Batang keras besar itu terasa hangat… Tapi Muamar menahan, dan malah mencabut penisnya! “Aaa~!” Ci Luci merajuk kesal, dia nyaris orgasme namun gagal. Namun sebelum dia protes lebih lanjut, dia digiring Muamar kembali ke ranjang lalu direbahkan telentang. Rupanya Muamar ingin ganti posisi, kali ini dia buat Ci Luci telentang dan mengangkang. Muamar mempenetrasi Ci Luci sekali lagi, memanfaatkan posisi di atas untuk menyodok sangat dalam, menusukkan seluruh panjang kejantanannya sampai Ci Luci terbelalak. Muamar melakukan itu karena dia suka melihat ekspresi Ci Luci ketika disetubuhi, melihat si induk semang menggeliat dan meracau ketika digenjot lebih keras. “AH…. AHN… AMPUN… ENAK… MAR… KENCENG… GEDE… AMPUN! MAAR!!” Ci Luci berteriak-teriak ketika Muamar menggenjot sekencang-kencangnya. “AGH… ENAK… GAK KUAT… AAA!!” jeritnya ketika tak kuasa menahan orgasme, kesekian kalinya malam itu. Lalu Ci Luci tahu Muamar akan klimaks juga. Ci Luci merasa kejantanan Muamar memanas dan mengeras dalam vaginanya. Muamar mendelik dan mengerang. Ci Luci menjepit erat-erat. Muamar menusuk dalam-dalam, akan mengeluarkan benihnya. Ci Luci menyemangatinya, “Ayo… keluarin semua di dalam… keluarin yang banyak biar enak… penuhin memekku sama peju… hamilin aku… aku nggak peduli!” CROTT! Penis Muamar muncrat di dalam. Begitu keras semburannya, terasa oleh Ci Luci. Selagi Muamar mengeluarkan sambil menggenjot, Ci Luci merasakan ruang kemaluannya penuh dan basah, dan sebagian sampai meleleh keluar. Muamar sampai merasa seisi bijinya terkuras di dalam sana. Ci Luci menahannya di dalam. Muamar tidak mencabut sampai beberapa lama, sampai kemaluannya yang melemas keluar sendiri. Muamar menikmati setiap saat mereka bersama, setiap tatapan mata sipit Ci Luci, setiap sentuhan, setiap semerbak wangi tubuhnya, setiap perintah dari induk semangnya. Keduanya saling peluk di atas ranjang, beristirahat. Seperti biasa, Ci Luci selalu ketiduran duluan, fisiknya memang lebih lemah apalagi sesudah persetubuhan yang intens dengan Muamar. Hanya satu yang mengganggu kebahagiaan Muamar dan Ci Luci, yaitu hari esok. —– Esoknya Muamar berangkat sendirian, dilepas Ci Luci dengan ekspresi tegar. Tak banyak kata terucap. Muamar langsung sibuk dengan pekerjaan barunya. Lokasi yang terpencil membuat sinyal telepon seluler sulit di sana, sehingga Muamar pun jarang berkomunikasi ke luar. Dia menyibukkan diri dengan pekerjaan barunya, mengurusi perkebunan. Membangun masa depan. —– Enam bulan kemudian… Akhirnya Muamar mendapat cuti seminggu, sesudah bekerja cukup lama. Dia bisa menabung gajinya, karena sebagian besar kebutuhan di perkebunan sudah tersedia seperti pondokan dan makanan, biarpun sederhana. Selain mengirim ke orangtuanya, ada satu lagi kewajiban yang dia ingin penuhi: utang uang sewa kamarnya tiga bulan ke Ci Luci. Yang satu itu, dia ingin berikan sendiri. Maka itu Muamar pun pulang membawa uang untuk membayar tiga bulan sewa, menempuh seratus kilometer lebih. Jalan kembali membawanya melewati toko loak Ci Luci lebih dulu. Toko itu tutup namun di luar bangunannya ada segel bertuliskan “Disita oleh bank”… Muamar menahan nafas ketika mengetok pintu rumah Ci Luci. Dia tidak bilang-bilang dulu akan datang. Ci Luci membuka pintu. Dan Muamar terkesiap. Ci Luci berdiri di depannya, tersenyum, mengelus perut yang besar karena hamil. TAMAT