Pengantar Cerita
Cinta itu rumit, apalagi jika yang terlibat lebih dari satu orang. Hal tersebut dialami oleh Sugandi. Pria yang mudah jatuh hati ini terlibat percintaan dengan STW, Binor, Mamah Muda, Janda dan para ABG ketika pulang ke desanya. Siapakah di antara mereka yang akan menjadi pendamping hidup Sugandi? Mari kita ikuti bersama ceritanya. Catatan: Kalau boleh ane jujur kepada para suhu di sini, sebetulnya cerita ini hasil editan ane terhadap cerita-cerita ane yang dulu, yang belum terselesaikan. Aneh bin heran, setiap kali ane mengedit sebuah cerita, selalu saja ane tergoda untuk mengubah jalan cerita yang sedianya sudah ane persiapkan menjadi jalan cerita yang menurut ane pada saat mengedit, lebih seru dan dramatis. Alhasil, setiap kali mengedit, setiap kali itu pula ane bikin cerita baru. Untuk itu ane mohon maaf kepada para suhu (male) yang sebesar-besarnya dan kepada para subo (female) yang sedalam-dalamnya sampai mentok. Bagi para suhu dan para silence reader, mungkin cerita yang enggak selesai sangatlah membagongkan. Tapi bagi para penulis, itu lebih-lebih lagi sangat membagongkan.
Peace, Salam Pemersatu Bangsa Sumandono Kardi
Satu
PULANG DARI JAKARTA
Malam telah jatuh ketika Sugandi meninggalkan gerbang tol Cileunyi. Setelah satu kilometer jauhnya, dia memutar stir mobil kijang tahun 90-an itu untuk memasuki jalan desa perbatasan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung. Dia melajukan kendaraannya dengan tenang walau malam Sabtu itu jalanan lumayan sepi. Selama setengah jam dia menyusuri jalan desa yang menanjak, yang akan membawa dirinya kepada rumah yang hangat. Tiba di simpang empat perbatasan desa, dia berbelok ke arah kanan. Jalanan terasa remang karena penerangan yang minim dan kendaraan lain yang berlintasan pun semakin berkurang. Cahaya lampu mobil menyemprot jalanan dengan sangat benderang. Di antara kesunyian dan keremangan, sorot lampu mobilnya ini adalah satu-satunya yang paling benderang. Usai melewati sebuah tikungan yang menanjak curam, Sugandi merasa lega. Dia menempuh jalan datar sejauh 3 km untuk menemukan rumahnya yang tersembunyi di antara deretan batang-batang pohon jati yang tinggi menjulang. Sepanjang jalan di kampungnya itu, rumah-rumah yang dilaluinya tampak gelap dan suram. Kapasitas listrik yang terbatas membuat para pemilik rumah sangat pelit untuk memberi lampu di luar rumah. Tapi mereka cukup boros menyalakan speaker aktif dan TV dengan suara keras. Jam digital di dashboard mobilnya menunjukkan angka 21.05. Untuk perkampungan di pinggiran kabupaten, ini sudah termasuk cukup larut kecuali kalau ada yang hajatan. Wajar jika sepanjang jalan ini tak ada orang atau kendaraan lain yang lalu lalang. Akhirnya tiba di depan rumah. Tetapi keningnya mengernyit ketika dia mendengar dari dalam rumah terdengar suara anak-anak kecil yang sedang tertawa-tawa dan menjerit-jerit senang karena tengah bermain sesuatu. Sebelum menyalakan klakson, Sugandi mencoba mencermati suasana yang tidak biasa itu. “Ada apa ini?” tanya lelaki yang bulan lalu berulangtahun ke 25 itu kepada dirinya sendiri. Setelah diam beberapa menit, dia lalu memijit tombol klakson yang suaranya melengking menyentuh langit. Tak menunggu lebih dari 15 detik, Sugandi menemukan nenek tirinya datang dengan tergopoh-gopoh dari arah belakang rumah melalui halaman samping. Bayangannya samar namun Sugandi mengenal betul sosoknya. Di usianya yang kini mungkin mencapai 40 tahun, nenek tirinya itu masih memiliki bentuk tubuh seperti umumnya gadis desa yang montok. Dia masih terlihat seksi dengan mengenakan daster terusan selutut. Bagaimana pun, Bibi, demikian dia memanggil nenek tirinya, memiliki pinggul bulat padat berisi dan sepasang bukit kembar yang membusung di dadanya. Di belakang nenek tirinya, ada sebuah bayangan ramping yang tinggi dengan rambut panjang berombak hingga bahu. Sugandi tahu, itu adalah Nabila. Keponakan nenek tirinya yang masih 16 tahun. Berikutnya, beberapa orang bocil berlarian menyusul ke dua orang itu menuju pintu pagar teralis berkarat yang berat. Mereka ramai-ramai mendorong pintu pagar itu hingga cukup untuk mobilnya lewat. Sugandi menarik nafas dalam-dalam. Dia menginjak pedal kopling dan mendorong persneling dari normal ke gigi satu. Melajukan mobil dengan sangat pelahan karena bocil-bocil itu berlarian di sepanjang pinggiran mobil sambil meneriakan sesuatu. Lewat kaca spion, bayangan seorang bocil meloncat di belakang mobil dan berteriak-teriak gembira karena berhasil berdiri di atas bemper belakang sambil berpegangan pada engkol pintu belakang. Dasar bocah-bocah kampung cilik yang tak tahu apa arti bahaya! Sekali terpeleset dan muka kena bemper besi, bukan saja hidung bisa patah tapi gigi juga bisa rontok. Sugandi mematikan mesin mobil saat merasa cukup dengan posisi mobilnya yang diparkir di halaman samping. Dia menguap satu kali lalu menggeliat untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku karena hampir 7 jam menyetir tanpa henti. Pada saat itu, nenek tirinya dan Nabila mengawasinya dengan sepasang matanya masing-masing yang memancarkan harapan dari balik jendela yang terbuka. “Kalian ngeliatin apa sih.” Kata Sugandi sambil melepaskan sabuk pengaman dan menoleh ke arah dua orang perempuan beda generasi itu. “Bibi mau ngambil baju kotor.” Kata nenek tirinya dengan tatapan mata yang agak aneh, “siniin kuncinya.” “Kalau kamu?” tanya Sugandi kepada Nabila yang cemberut sementara tangan Sugandi mencabut kunci kontak dan memberikannya kepada nenek tirinya yang biasa dia panggil Bibi. Orang yang ditanya menjebikan mulutnya dan mengikuti Bibi ke belakang mobil. Sugandi menebah pintu dan menelonjorkan kedua kakinya yang panjang ke luar. Angin gunung yang dingin seperti mengelus pipinya, menyambutnya dengan mesra. Suara teriakan gembira bocil-bocil yang membantu mengangkuti barang-barang yang dibawanya dari Jakarta, menyadarkannya bahwa ada sesuatu yang istimewa dengan kepulangannya kali ini. Saat turun dari mobil dan menggeliat sekali lagi, mendadak Sugandi melihat sebuah sosok yang muncul seperti tiba-tiba dari pintu belakang rumah. Sebuah sosok yang dulu pernah dirindukannya. “Baru pulang, Gan?” tanya sosok itu yang mendekat dengan langkah gemulainya yang tenang. “Eh, Mira.” Kata Sugandi dengan setengah terkejut, “ya.” Katanya. Dia memutar engkol pemutar jendela mobil agar menutup rapat. “Jam berapa dari sana?” Tanya Mira. “Entahlah, mungkin jam satu atau jam dua.” “Mau mandi air panas?” “Nanti saja, biar bibi yang nyiapin.” Kata Sugandi sambil menoleh ke arah Nabila yang datang dari arah belakang mobil sambil membawa dua buah kotak kardus kemasan merk suatu smartphone. “Kang Gagan ini apa?” tanya Nabila dengan wajah berbinar. “Itu smartphone.” “Dua-duanya?” “Ya.” “Buat siapa, kang?” Sugandi memamerkan senyum penjudi ulung dari balik kartu terbaik yang akan memenangkan pertaruhan. “Mau tahu aja.” Katanya sambil mencolek hidung Nabila yang mancung. ABG itu menggeram sebal dan berbalik ke arah belakang mobil. Jika Bibi tidak memanggilnya, mungkin abg itu akan terus merongrong Sugandi agar menjelaskan untuk siapa smartphone itu. “Saya ikut tinggal di sini sebentar. Mungkin seminggu atau dua minggu. Tergantung. Kamu sudah dengar beritanya?” Kata Mira, sepasang matanya menatap lekat Sugandi. “Berita apa?” “Nanti saja ceritanya, Mir. Gagan baru pulang, dia cape.” Kata Bibi yang datang mendekat sambil menyerahkan kunci mobil. Tapi Sugandi menahan tangannya. “Semuanya udah diangkutin masuk, bi?” “Udah.” Kata Bibi dengan nada ringan. “Yang di kursi depan dan kursi tengah belum diambil kan?.” “Emang ada barang apa, Gan?” tanya Bibi sambil berjalan melingkar ke samping mobil dan membuka pintu tengah, “ini tas apa?” “Simpen aja di kamar, Bi.” “Dua-duanya?” “Dua-duanya, Bi.” Bibi menarik dan menyeret dua tas ransel yang cukup berat itu dengan membungkuk. Satu digendongnya dan satu lagi ditenteng. Saat membungkuk, dasternya terangkat karena tarikan punggung. Sepasang paha bagian belakangnya yang mulus berwarna coklat terang tak tersentuh cahaya penerangan. Tetapi kelihatannya, belahan pantatnya tampak tercetak jelas. “Ini yang dikursi depan bungkusan apa?” tanya Bibi. “Yang itu bawa ke ruang tengah.” “Isinya apa, Gan?” “Nanti bibi juga akan tahu.” Kata Sugandi sambil melangkah melingkari moncong mobil dan membantu Bibi yang kesulitan membawa barang sambil memegang kunci mobil. Tak ada cahaya yang cukup berarti di samping halaman rumah selain lampu penerangan LED yang terletak di dinding belakang. Suasananya sangat remang. Mira yang berdiri tidak jauh dari mobil tak bisa melihat bagian tubuh Sugandi mau pun Bibi dari pundak ke bawah. Buan sekedar karena terhalang bodi mobil tapi juga karena keremangan yang menjurus ke gelap. Jadi Mira tak bisa melihat tangan Bibi yang kiri mengelus bagian depan celana pendek batik yang dikenakan Sugandi. “Ssst… sabar.” Bisik Sugandi pelahan. Jari-jari tangannya meremas pantat semok Bibi dari luar daster. Kini Sugandi tahu Bibi tidak mengenakan celana dalam. “Sekali aja di sini, bibi ga tahan. Gatel banget.” Bisik Bibi membalas. “Nanti di kamar.” Bisik Sugandi dengan sangat pelahan. Lalu dia berkata dengan suara dikeraskan, “bi, udah bawa semuanya ke kamar.” “Yang bungkusan ini enggak jadi dibawa ke ruang tengah?” “Nanti dibawanya.” Kata Sugandi sambil memeriksa semua jendela mobil apakah sudah ditutup atau belum. Setelah itu dia mengunci pintu mobil secara manual lalu menutupinya dengan terpal kerudung mobil. Pada saat selesai menutupi mobil, Sugandi tak melihat Mira lagi di tempat berdirinya tadi. Dia pun segera memasuki rumah melalui pintu belakang.
***
Sugandi tak ingin membiarkan dirinya dikejutkan oleh suasana rumah yang sangat “ramai”. Dia hanya membiarkan dirinya mematung sebentar menyaksikan beberapa orang bergelimpangan di ruang tengah rumahnya yang luas dalam keadaan tertidur pulas beralas tikar. Mereka adalah saudara-saudara nenek tirinya. Sebagian ada yang dikenalnya sebagian lagi tidak. “Istirahatlah dulu.” Bibi berkata sesaat setelah ke luar dari kamar tidur Sugandi yang merupakan kamar bekas ayah dan ibunya, “bibi bikinkan kopi.” “Biar sama saya aja, ceu.” Kata Mira dari dapur. “Ya, udah.” Kata Bibi, “jangan pake gula.” “Ini ada apa sih bi, koq rame amat?” tanya Sugandi dengan nada heran. “Rumah Bila, rumah kakek, rumah mang Otong sama rumah kakek Ompong kena longsoran tebing.” Nabila berkata sambil ke luar dari kamar yang dulu merupakan kamar Sugandi ketika orangtuanya masih ada dan Sugandi masih remaja. “Udah tiga hari kejadiannya Kang Gagan.” Tambah Bila sambil melangkah mendekat. “Koq bibi enggak ngasih tahu.” Sugandi menoleh ke arah Bibi. “Pulsanya habis dipake nelpon sama kang Otong ke kecamatan. Nanti deh bibi ceritain semuanya.” “Jadi yang ikut nginep di sini ada berapa orang?” tanya Sugandi, wajahnya terlihat lelah. “Mmm… berapa ya? Bibi enggak ngitung, ada 15 orang mungkin.” “Smartphone buat siapa Kang Gagan?” Bila yang mendekat menimbrung pembicaraan. “Bila, kamu masuk kamar lagi sana, tidur, udah malem. Besok kamu sekolah kan?” kata Bibi dengan nada tegas. “Besok libur, Bi. Kan sabtu. Kang Gagan smartphonenya buat siapa?” Rengek Bila lagi. “Yang jelas bukan buat kamu, sudah sana.” Kata Bibi kali ini dengan nada sedikit lebih keras. “Bila sini masuk.” Dari arah kamar mendadak ke luar Nengsih, adik kandung nenek tirinya. “Maaf ya kang Gagan, Bila memang suka agak bawel.” Kata Nengsih dengan wajah tampak mengantuk. “Ga pa pa, Ceu.” Sugandi tersenyum, menatap sekilas ke arah Nengsih yang memakai daster tua yang tipis. Mira datang dari arah dapur, dia menating secangkir kopi. “Simpen ke kamar, Mir. Dan suruh anak-anak tidur, jangan bikin gaduh. Kasihan Gagan baru pulang pengen istirahat.” “I ya, Ceu.” Jawab Mira patuh. Sugandi masuk ke dalam kamar diikuti Bibi. “Jendelanya dibuka, Bi, saya mau ngerokok.” “Tapi pintunya ditutup ya?” bisik Bibi, nyaris tidak terdengar. Sugandi mengangguk. Kamar bekas orangtua Sugandi sangat luas, ukurannya 5 X 5 meter. Sugandi duduk di kursi tanpa pegangan, di sampingnya meja kecil di mana cangkir kopi diletakan. Ranjang besar ukuran nomor 1 tampak rapih, diam membisu. “Gan, bibi boleh minta kan?” kata Bibi sambil membuka jendela. Gagan tersenyum, menyalakan rokok dan membiarkan celana pendek batiknya ditarik ke bawah oleh Bibi beserta celana dalamnya. Sugandi duduk menyandar. Dia mengisap sigaretnya sementara Bibi mengisap batang kontolnya sambil tangan Bibi menggosok belahan memeknya sendiri agar basah. Sugandi menutupkan matanya, menikmati nikotin dan permainan lidah yang hangat dari nenek tirinya itu. “Udah ngaceng nih, masukin ya.” “I ya, Bi.” Bibi memunggungi Sugandi sambil mengangkat dasternya lalu mengangkangi kontol Gagan yang sudah ngaceng. Tegak sempurna. Blessss. Sambil memejamkan mata, Sugandi tersenyum. Selalu, setiap kali pulang, Bibi selalu meminta jatah untuk dicuki memeknya. “Mmhhh…” Sugandi mendengus nikmat. Bibi menduduki selangkangan Gagan dan merasakan batang kontol itu menembus liang memeknya. Kedua tangan Bibi memegangi pinggiran meja sebagai pegangan agar hentakan pantatnya yang naik turun bisa bertenaga. Mula-mula pelahan, lalu cepat. Lalu semakin cepat. Dan semakin cepat. Liang memek yang gatal hanya bisa terobati dengan gerakan cepat. Naik turun, geser maju mundur. Bibi diam sejenak, mengerang nikmat. Sudah 3 bulan sejak Gagan terakhir pulang, Bibi selalu sakit kepala karena tidak disuntik batang tumpul yang enak. Kontol Gagan adalah obat sakit kepalanya. Bibi tahu, dia tak mungkin jadi istri Gagan. Setelah kakek Gagan meninggal 6 bulan yang lalu karena serangan stroke untuk yang ketiga kalinya, Bibi tak bisa pergi meninggalkan rumah itu karena 3 alasan. Pertama, rumah itu milik Gagan, milik ayahnya Gagan yang meninggal karena kecelakaan mobil di tol Cipularang bersama ibunya dan adiknya yang berumur 19 tahun. Rumah itu bukan milik kakek yang merupakan ayah dari ibunya Gagan. Kedua, sejak dia menikahi kakeknya Gagan atas permintaan kedua orangtua Gagan, dia telah merasakan kontol cucu suaminya itu yang sangat nikmat, yang membuat Bibi ketagihan. Ke tiga, Bibi tak punya tempat lain untuk tinggal selain rumah orangtuanya yang hidup kekurangan karena hanya mengandalkan hasil kebun yang tak seberapa dan Bibi sama sekali tak punya pekerjaan untuk menghidupi dirinya sendiri. Dia sudah tiga kali menjanda dan mantan-mantan suaminya tak memberikan apa pun selain sakit hati dan hinaan karena rahimnya kering tak bisa menghasilkan anak. “Agkh… bibi….” “Sebentar Gan, sedikit lagi.” Kata Bibi dengan sedikit tersengal. Pekerjaan menggoyang-goyangkan dan menggeser-geserkan pinggul maju mundur itu bukan pekerjaan ringan. Baru lima menit saja peluh sudah menetes di dahi Bibi. “Uuggkhhh!” Bibi menekan pantatnya dengan keras ke paha Gagan sekali lagi. Dia menahannya selama setengah menit untuk merasakan sebuah denyutan di sekitar liang memeknya. Denyutan kenikmatan tersendiri yang sulit dilukiskan. Tapi tentu saja memeknya belum puas hanya dengan genjotan seperti itu. Bibi masih ingin menggiling kontol Gagan dengan liang memeknya sampai dia benar-benar merasakan kepuasan. Tapi sayang sebuah ketukan di pintu menghancurkan semua keasyikannya menggiling kontol anak muda itu. “Sialan.” Maki Bibi dalam hatinya sambil berdiri dan melepaskan sebatang kontol yang terselip di liang memeknya, “ya sebentar. Siapa?” “Mira, Bi. Mau nganterin ubi dan pisang goreng, kali aja Gagan lapar.” Gagan mengisap rokoknya. Kontolnya masih ngaceng dengan seluruh batangnya kuyup olen lendir kenikmatan yang dikeluarkan oleh liang memek Bibi. “Tolong dilap, Bi.” Kata Gagan sambil berdiri dari duduknya. Bibi membersihkan seluruh batang yang masih keras itu dengan ujung dasternya hingga kering. Lalu dengan sigap dia menaikkan celana pendek dan celana dalam Gagan hingga tepat berada di tempatnya semula. Setelah itu dia pergi ke pintu dan membukakannya. Bibi tidak mendengar Gagan mengeluh karena merasa kentang (kena tanggung). “Mungpung masih panas.” Kata Mira saat pintu terbuka. Sepasang matanya yang sayu menatap Gagan dengan mesra. Bagaimana pun, mereka dulu pernah dekat dan pernah saling menyayangi sebelum Mira memutuskan menikah dengan Dudi ketika duduk di kelas 3 SMA. Sebuah keputusan yang sangat tepat untuk menyakiti hati Gagan. Tetapi Mira juga punya alasan, Pak Otong, Ayahnya, memiliki segunung utang kepada Pak Asep, ayahnya Dudi. Tak ada cara lain bagi Pak Otong melunasi utangnya selain berbesanan dengan Pak Asep. Lagi pula Dudi tidak jelek. Duda beranak tiga itu baru berumur 35 tahun. Belum tua. Bandar pengepul kopi itu sangat kesengsem dengan Mira sejak dulu. Maklum, Mira memiliki kulit kuning langsat yang halus dan dagu runcing khas Sunda yang menggemaskan. Setelah Mira menjadi istri Dudi, soal utang piutang itu diatur sedemikian rupa antara ayah dan anak. Pokoknya semuanya beres. Namun alasan itu tak pernah bisa diterima Sugandi. Mira meletakan baki berisi pisang dan ubi goreng di atas meja, dia memperhatikan daster Bibi yang basah pada ujungnya. Mira menarik nafas pendek. “Basah kenapa itu?” pikir Mira dalam hatinya. “Tas-tas ini dibuka jangan?” tanya Bibi kepada Gagan. “Jangan, Bi. Masukin ke dalam lemari saja.” “Isinya apa, Gan?” “Dokumen-dokumen perusahaan. Saya nanti akan memilahnya dan menyimpan yang penting-penting saja, sisanya nanti akan dibakar.” “Oh.” Kata Bibi pendek. Dia menyeret dua tas ransel itu dan membuka pintu lemari jati yang sangat besar. Memasukkan ke dua tas itu ke dalamnya. Setelah selesai, Bibi kemudian berpaling ke arah bungkusan berwarna coklat dan membungkuk untuk membuka ikatannya. Saat Bibi membungkuk, Mira mengerling ke arah cetakan gaun daster yang mencetak pantat Bibi yang terlihat rata tanpa tonjolan celana dalam. “Dasar bibi sialan!” maki Mira dalam hatinya, “dia pasti sedang menggoda Gagan ketika tadi aku mengetuk pintu!” Mira juga sempat melihat “tenda” yang mancung pada celana pendek batik Gagan. “Hm, kontol Gagan sudah ngaceng. Pasti kenyang ditusuk-tusuk kontol gede itu.” Pikir Mira lagi. Dia masih ingat dulu ketika mereka terjebak hujan dan terpaksa harus berteduh di bawah sebuah warung pinggir jalan yang sudah tutup. Saat itu sepi. Hujan sangat besar. Mereka baru kelas satu SMA. Dan Gagan masih culun. Dia melakukan pendekatan kepada Mira dengan menjemputnya setiap pulang sekolah. Mira tentu saja senang dijemput Gagan. Naik ojek selain mahal juga bau. Kalau dijemput Gagan, selain gratis dan diantar langsung sampai depan rumah, badan Gagan juga harum. Mira tahu Gagan menyukai dirinya. Mereka telah saling menakar perasaan sejak SMP dan Mira secara pelahan-lahan juga mulai menyukai Gagan. Satu hal yang tak disukai Mira dari Gagan adalah cowok itu terkadang plin plan. Dia terlalu baik kepada semua orang terutama cewek, sehingga kadang-kadang Mira sedikit merasa cemburu. Di bawah hujan deras yang mengguyur bumi, mereka berpelukan dan berciuman. Rasanya selangit. Mereka saling menggesekkan tubuh dan Mira benar-benar meleleh. Saat tangan Gagan menyentuh memeknya dari luar celana dalamnya, Mira tahu, dia tak mungkin menahan diri. “Gagan jangan.” Pintanya pada waktu itu. Sesuatu yang kini sangat disesalinya hingga kini. Andai waktu itu dia mau, Mira tentu akan merasakan nikmatnya disodok dengan kontol Gagan yang besar dan gagah. “Kenapa?” tanya Gagan. “Aku takut, nanti hamil.” Kata Mira dengan suara menggigil menahan nafsu, ”tapi…” “Tapi apa?” tanya Gagan. “Aku penasaran, pengen lihat punya kamu.” Kata Mira, “kamu pernah melihat punya perempuan, Gan?” Gagan tersenyum jahat. Dan mengangguk. “Iih.” Kata Mira. “Koq iih?” “Punya siapa?” tanya Mira penasaran. Gagan tersenyum jahat, sekali lagi. Tapi tidak menjawab. Dia kemudian membuka ristsluiting celananya dan mengeluarkan batang kontolnya yang menegang. “Nih lihat, ini kontol aku.” Mira membelalakkan matanya, “iiih!” katanya. “Sekarang giliran aku lihat memek kamu.” Berkata demikian Gagan berjongkok di depan Mira yang sedang duduk di atas bangku kayu. Dia membukakan paha Mira dan menyingsingkan celana dalamnya. “Memeknya cantik, secantik orangnya.” Kata Gagan memuji. Mira tersipu. Sejujurnya, saat itu juga dia ingin Gagan menempelkan kepala kontolnya yang merah kecoklatan ke dalam liang memeknya. Tapi sayangnya ada beberapa orang yang datang dan ikut berteduh. Sejak itu, mereka tak pernah lagi memiliki kesempatan berdua seperti itu. Sampai akhirnya Mira menikah dengan Dudi. Saat pertama kali melihat kontol suaminya, Mira merasa setengah kecewa. Kontol kang Dudi kecil, sebesar kelingking. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi. “Pisang gorengnya enak.” Kata Gagan membuyarkan lamunan Mira, “makasih ya Mir.” “Sama-sama Gan.” “Ya, tapi yang milih pisangnya kan bibi, Gan.” Kata Bibi sambil membuka ikatan bungkusan coklat dengan susah. “Pake pisau aja Bi dilepasnya.” Gagan berkata. Dia menyesap kopinya dengan nikmat. “Jangan Gan, sayang. Ini tali tambang plastiknya bagus. Ngomong-ngomong, ini isinya apa sih?” “Kaos satu kodi, buat dibagiin.” “Bagiin ke siapa?” tanya Mira. “Entahlah, Bibi yang ngatur.” Kata Gagan, dia membalas tatapan Mira. “Ini kaos bagus.” Seru Bibi girang. Dia membuka bungkusan itu dan meneliti satu per satu kaos itu. Pada saat itu Gagan mengusap-usap batang kontolnya dari luar celana batiknya sambil menatap Mira. Mira menunduk. Dia langsung pergi ke luar kamar tanpa basa-basi. Gagan menarik nafas dalam lalu menghisap sigaretnya untuk yang terakhir. Saat dia akan membuang puntung rokok lewat jendela, tahu-tahu di luar jendela Mira sedang berdiri memepetkan tubuhnya ke dinding. Satu jarinya menunjuk hidungnya sendiri dan menempel pada bibirnya yang terkatup, “ssst… suruh bibi pergi dan pintunya kunci.” Gagan menyeringai senang. “Ah, sebuah memek yang sudah lama sekali ingin aku ewe.” Katanya dalam hati.
*** (bersambung)