Chapter 1: Bujang Bajang __________________________________________
PROLOG: ‘Hidup adalah anugerah bagi insan yang berserah’ begitulah motivasi yang dengan angkuhnya sok bijak menasehati, nyatanya hidup tak semudah membalikkan pasangan di ranjang untuk ganti posisi, acap kali kenyataan tak sesuai harapan, upaya dan kerja keras tak melulu berbuah hasil yang membuat puas, kekecewaan sering kali menghampiri tatkala tengah berselimut rasa percaya diri, kegagalan datang tiba-tiba tanpa memberi aba-aba, mengejutkan diri yang tanpa persiapan sehingga ‘mental’ menjadi korbannya, imbasnya depresi frustrasi bahkan hingga terbesit untuk ‘mengakhiri diri’. Begitulah realita hidup bercerita lebih dari sekedar kosakata manis dari para motivator yang piawai dalam meramu nasehat lewat kata-kata mutiara tapi hidupnya sendiri malah berkalang duka jauh dari kata bahagia. #kontradiktif _________________________________________________________________________________________________________________________________
Hidup di negara yang masih terbagi dalam kerajaan-kerajaan yang memiliki otonomi daerah, di satu sisi juga memegang ideologi monarki. Meski secara keseluruhan disatukan dalam balutan ideologi demokrasi tapi prakteknya sangat jauh dan melenceng dari asas demokrasi. Hasil dari ketidak-sinkronan antara hukum dan realisasi di lapangan, menjadi pemicu berbagai masalah berkepanjangan, apesnya bahkan setelah era kemerdekaan hingga masa kini, masalah-masalah lama tak kunjung teratasi, lebih parah ketika ditumpuk dan ditambah masalah-masalah baru, sehingga tidak pernah ada solusi kongkrit. Lahirlah negara dengan segala aspek kesemrawutan, mulai dari kelas bawah hingga kelas atas. Cermin kegagalan suatu negara bisa dinilai dari bagaimana kualitas masyarakatnya. —— Di sebuah desa yang warganya sepakat menamai desa Cenggur Asri (bukan nama samaran). Nah ini contoh semrawut itu, ngasih nama desa kok ya asal njeplak, meskipun ini ide saya sendiri sih, soalnya bingung mau kasih nama desa apa, terlalu mainstream juga bosen sih. — “Demit komat-kamit, angin kecepit silit njerit, cocote Miyadi karo Gianto mambu walang sangit, mugo-mugo iki kartu AS . . . ” BYAAAAAK “Modyaaaar Di, To, NUTUP mampus raimu mbladus hahahahaha.” girang bukan kepalang, ketika tebak-tebakan keberuntungan benar-benar jitu, simplenya kadar bahagia kelas rendahan cukup hanya dengan perjudian tanpa tropi, asal menang hati happy. Jiangkreeek. Di tengah malam yang dingin nan sunyi ketika seyogyanya sebagian besar umat manusia dengan kompak mengheningkan cipta, terhipnotis alam bawah sadarnya sehingga tenggelam dalam dunia cerita, dunia dengan jutaan misteri, 1001 kisah yang jarang akan terjadi dalam realita ialah dunia mimpi. Namun malam sunyi yang identik dikonotasikan sebagai perebahan jasad dari berbagai lelah dan aktivitas, ada segelintir makhluk bernyawa yang malah tengah khusyuk dan tawaduk beradu strategi bermodalkan kartu remi, di sebuah pondok bambu di pekarangan rumah, tampak tiga sosok manusia dengan kobaran semangat membara, membabi buta membanting dengan tegas biji per biji kartu remi demi memenangkan tropi jawara, jawara kacrut yang gak ada faedahnya #bedabah Ialah mereka Miyadi, Gianto dan Sukasmin, mereka dikenal sebagai ‘Pejoh Durjono’ dikarenakan saking lamanya membujang, di usianya yang menginjak kepala empat, gak sopan banget kan? empat kepala diinjak sekaligus?! glodaak Mereka masih betah dengan status paling menjijikkan di era selakangan diobral murah dipinggir jalan. “Hari gini bujang?! Jembut saja bergandengan mblooo!!?” bahkan para Tengu pun berani unjuk gigi untuk ikut mengintimidasi. Kebujangan yang endingnya belum bisa dipastikan, layaknya alur cerita sinetron kesayangan Emak-emak sign kanan belok kiri. Bujang lapuk termakan usia tergadaikan oleh fantasi belaka, menjadikan Sperma-spermanya pun frustasi, betapa tidak?! lantaran tiap hari “diusir” dengan kejinya dari peristirahatan nyenyaknya hanya demi kepuasan secara swalayan tanpa pasangan. anjriiit!! Yang seharusnya sel imut nan legit-legit gimana gicuuh, itu ketemu pasangannya di ‘goa amanah’ eeee malah nasib memaksa mereka terbuang tak tentu arah. Makhluk unyu-unyu yang bentuknya kental gak manis namun full cream itu selalu merasa terdzolimi tatkala sang pemilik ‘rumah’ sok sibuk mengadakan kegiatan senam, iya senam!! ‘senam lima jari’ begitu khalayak menyebutnya yang bagi makhluk-makhluk lengket itu, kegiatan tersebut hanyalah cara biadap untuk ‘memaksa’ mereka ‘keluar’ dari zona nyamannya. “Minggir-minggir tokonya mau buka” seolah mengusir paksa orang gila yang gak waras. hah?!
•• ••
Scene Intermezzo
_____________________________________________________ “Anjir nih bujang, tiap hari kita selalu jadi korban” “Iya nih mbokya nyari pasangan napa? Janda kek atau nenek-nenek dibawah umur kan yaa bisa, masak kita cuma dibuang sia-sia, di lantai wc, dioles-olesin ke tembok, dilap tisu habis itu main buang aja, kan diancoook namanya, kita itu gak bisa seenaknya diginiin, “sakit mas sakiiit apa yaaa gak mikir dengkulnya?! bisa jadi salah satu dari kita yang terbuang sia-sia itu cikal bakal sarjana S3 atau malah bisa jadi orang number wahid di jagad nusantara, eee malah dibuang dengan cuma-cuma, hanya bermodal sabun seribu lima ratus ‘cikal generasi penerus’ terbuang tak terurus, dasar bujang dancuuuk bau tikus prengus.” . Para kawanan Sperma tengah mengadakan rapat pariporno untuk melakukan unjuk rasa, menyuarakan aspirasi atas tindakan tak Spermawi yang dilakukan kaum-kaum bujang durjana yang gemar mengabadikan momen hidupnya cuma bermodal sabun dan hand body. sachet lima ratusan lagi ahhh jaaaan horaaaa mutu “Woeee blooook ini penis-taan namanya” miliaran Sperma berunjuk rasa menolak ketidakadilan, yang malah momen tersebut dimanfaatkan segelintir lendir untuk makar yang juga ditunggangi oknum-oknum penggemar video mesum. “Turunkan harga turuk” “Kasianilah majikan kami yang tak laku tititnya” “Hancurkan hancurkan hancurkan!!!” Demonstran dari berbagai spesies Sperma ikut andil, dengan berbagai bentuk dan rupa, ada yang kepalanya peang, ada yang giginya mancung hidungnya pesek, ada yang kepalanya empat (sepuh kali ya?) ada pula yang kepalanya lima bayarnya dua (ini anak smp ngutil gorengan di kantin?). Di antara kerumunan demonstran tampak pernak-pernik yang menyemarakkan, seolah menegaskan bahwa mereka adalah umat jihat bela jidat, ada yang membawa spanduk, ada yang bawa bendera Slank, ada yang bawa susu bendera ada juga yang bawa istri orang, belakangan diketahui itu ‘bibit’ yang bakal jadi penjahat kelamin dikemudian hari tatkala terlahir dalam wujud manusia, kita berdo’a mudah-mudahan tuh bibit gak nemu pasangannya, bisa gawat nantinya, jumlah jomblo yang kalah saing bisa berkembang drastis nantinya. Ending Intermezzo
___________________________________________________________
•• •• ••
“Huahahahha modyaro To aku yoo nutup wakakakakka” “Hak-hak’eee hokyaaa hak’e hok hok yaaa!!!” Bernada kegirangan mengabaikan asas etika, Sukasmin dan Miyadi bersenandung ria mengejek Gianto yang kalah gesit untuk mengalahkan lawannya, alhasil sebagai pihak yang kalah tak pelak jika tampak lesu, raut suramnya yang ia bawa sejak lahir kian menampakkan kejelasannya. “Sesuai kesepakatan, yang kalah 3 kali berturut-turut harus ngapain To?!” Masih dengan nada girangnya, Sukasmin yang menang pertama melayangkan sebuah pertanyaan, pertanyaan yang sejatinya retorika dan basi-basi dengan unsur ledekan. Sembari melet-melet memamerkan lidahnya yang berjerawat, Lidah berjerawat?! Iya lidahnya tampak kasar, sekasar omongannya di setiap harinya, plak. “Coli pake pelicin yang greget” secara spontan yang juga dengan nada ejekan penuh kemenangan, Miyadi menimpali. “Nih To tinggal pilih, mau coli pake Balsem Geliga, Getah Nangka atau Lem Castol? Hayuuuk pilih mana?? Eaaa eaaa ea” masih dengan gaya yang super duper menjengkelkan, Sukasmin memberikan penawaran, penawaran yang gak ada penawarnya sama sekali, yang ada malah mancing emosi. Suasana yang seharusnya sepi nan tenang ternodai oleh cocot-cocot durjana yang dengan cuawawakan dan urakan, ketawa-ketiwi cengengesan gak mikir perasaan tetangga di sekitar lingkungan tempat asyik ‘Tiga Nestapa’ yang tengah merayakan pesta kemenangan, kemenangan yang paling tak bermutu dari sebuah permainan kartu dengan pertaruhan yang biasanya identik dengan uang atau seteko minuman, ini malah yang kalah harus COLI?! hah!!! Klo cuman coli sih masih wajar ya?! Tapi subtitusinya ituloh yang arghhhh naudzubile, wajarlah klo dijuluki ‘Pejuh Durjono’. Sementara dua rekan mainnya tampak berbinar bahagia tidak dengan Gianto, tekanan mental ditambah bumbu intimidasi dari tawa cekikikan yang kian terdengar keji. #nyesek “Hokya To hokkyyaaaa yaaa!!!” “Ayo To ayo To ayo To” “Dipilih dipilih dipilih To ayooo supangaaat hahahahah” “Rasakan sensasinya” “Curahkan spermo-mu yang nganggur itu sedahsyat-dahsyatnya, jangan ragu, hentakan tititmu uyeaaah!!!!” anjiiier bener, ketika sesama durjana saling menghina, sama-sama tak laku tapi terkadang belagu. #dapuq. Desakan dan ejekan itu terdengar kian membuat panas, di telinga dan hati, tapi kesepakatan adalah kesepakatan, sebagai pria sejati yang meskipun belum pernah sedikitpun mencolek wanita bahkan untuk sekedar mencium aroma ketiaknya pun belum kesampaian (ngenes) tapi tetep aja harga diri seorang gentleman tetep harus diperjuangkan, dengan memantabkan mental membulatkan toket eh tekad, Gianto pun mengambil keputusan untuk memilih . . . . .
Bersambung