BAB 1 Seorang pemuda tampak lesu dengan buliran keringat di dahinya. Sudah puluhan toko yang telah di datangi, tapi tak ada satupun dari pemilik toko itu yang mau menerimanya kerja. Sambil terduduk, pemuda itu menenggak sebotol air di tangannya hingga habis, lalu menyapu mulutnya dengan lengan. Mata pemuda itu mengarah ke betis, meraba dan mengusapnya. Pikirannya melayang, mengingat kembali kejadian sepuluh tahun yang lalu. *Flashback “Kenapa lama sekali? Tidak seperti biasanya” Dari balik pintu aku merasa gelisah, berulang kali aku melirik ke arah jam dinding. Sudah hampir dua jam belum juga keluar. Aku merasa perampokan kali ini akan gagal. Benar saja, apa yang aku khawatirkan terjadi. Suara ribut dari arah depan membuatku penasaran untuk melihat apa yang terjadi. Suara ribut itu rupanya berasal dari kedatangan para polisi. Mereka meletuskan pistol ke udara. DOR DOR DOR “Rumah ini telah kami kepung!” Seorang polisi berkata dengan toa di tangannya. Jantungku berdetak kencang, langkah terbaik adalah bersembunyi. Namun persembunyianku akhirnya ditemukan. Dengan cara tamparan dan sepakan, aku di gelandangnya ke ruangan terbuka. Disitu aku melihat, para abang-abanganku sudah pada terborgol. Namun anehnya kenapa mereka telanjang? Apa jangan-jangan…. Ah sial! Kenapa aku tak mengecek sebelumnya. Pantas saja lama sekali, tau begitu, aku akan pergi duluan. Penyesalan di akhir tak ada artinya, nasi sudah menjadi bubur. Aku pun pasrah dengan nasibku. Sebelum kami semua digelandang ke dalam mobil tahanan, hal mengerikan terjadi. Sebelah kaki kami masing-masing dilumpuhkan. Ditembak dengan peluru timah dari jarak tiga meteran. Bukankah ini terlalu sadis? Saat itu aku masih anak-anak, usiaku lima belas tahun diputuskan bersalah dan divonis penjara sepuluh tahun. Aku tak punya sanak famili, kabur dari panti menjadi gelandangan dan akhirnya diajak abang-abanganku menjadi perampok. *Flashback End Sepuluh tahun telah berlalu, kini sudah hampir satu bulan aku mencari kerja tapi belum juga kudapatkan. Selama itu juga aku belum makan secara layak, hanya memakan sisa dari bekas orang lain, bahkan untuk minum pun dari air keran yang ditampung di botol bekas. Memikirkan nasib seperti ini, membuatku terbesit untuk mencuri. Sebagai mantan perampok, membobol kunci sudah menjadi keahlian dasarnya. Namun rasa trauma yang mendalam selama massa tahanan, membuatku menyingkirkan ide tersebut. Aku lapar, lelah dan ngantuk, jadi kuputuskan untuk pulang, dan berniat melanjutkan mencari pekerjaan besok. Dengan langkah terpincang, aku berjalan menuju tempat peristirahatanku. Butuh waktu yang lumayan lama untuk bisa sampai ke tempat ini, karena memang jaraknya cukup jauh. Setelah sampai, ku kibas lantainya dengan kain kemudian rebahan di samping keranda mayat. Ya, tempat yang kumaksudkan adalah bangunan keranda mayat. Ditempat inilah aku ber Meski tempat ini sangatlah tidak umum untuk ditinggali, bagiku tempat ini adalah surga. Tidak hanya sekedar untuk tidur saja, tapi di sekitaran tempat ini banyak tumbuh pohon jambu dan pisang. Aku bisa memetiknya di saat aku lapar. Lumayan bukan? Untuk gigitan nyamuk, biasanya aku gunakan bunga kamboja yang banyak berguguran di tanah. Bunganya bisa dipakai sebagai penangkal. Kusekan bunganya hingga berlendir, setelah itu oleskan, maka dijamin bebas dari gigitan nyamuk. Bagi kebanyakan orang, tempat seperti ini akan dihindari karena akan terasa menyeramkan di malam hari. Tapi tidak berlaku bagiku, tak ada rasa takut sedikitpun. Justru yang menyeramkan adalah ketika tidur bersama tikus dan kecoa, dipaksa bekerja seharian dan hanya diberi makan sehari, malamnya disuruh memijat para sipir dan itu aku jalani selama sepuluh tahun dipenjara. Tak dipungkiri olehku, satu minggu awal berada di tempat ini, sering kali aku mendapati gangguan, baik itu suara ataupun penampakan. Sama sekali tak ada rasa takut, bahkan pernah aku diduduki kuntilanak saat sedang tertidur. Rasanya berat dan sesak, karena kesal aku langsung menaboknya dengan sandal. Hasilnya sudah tahu bukan? Ya, sendal itu hanya menembus angin belaka. Selama seminggu penuh itulah aku terus diganggunya tiap malam, hingga lama kelamaan gangguan itu jarang lagi terjadi. Mungkin para hantu pada kesel kali, usahanya sia-sia. Perutku dari tadi berbunyi tanda minta diisi, maka kuputuskan untuk memanjat pohon jambu saja. Karena kulihat ada beberapa buahnya yang terlihat matang. Saat lagi nyantai nangkring di atas sambil memakan buahnya, aku mendengar suara samar. ‘Lapaaaar…. Hauuuuuus….’ Kuabaikan saja, aku mengira bahwa itu pasti ulah para hantu. Namun tiba-tiba… KREK KREK KRAAAAK! Batang yang aku duduki patah, sehingga aku jatuh ke tanah dengan pantat yang lebih dulu mendarat. Kuusap-usap pantatku yang terasa nyeri. Rupanya sejak tadi aku tidak menyadari keberadaan sosok dibelakangku. Saat aku menoleh dan beradu kontak mata dengannya. Kiyaaaaaa!! Spontan saja aku mengesot mundur. “Siapa kamu?” Tanyaku dengan jantung berdebar. “Manusia!” Jawabnya dingin dengan sorotan mata yang tajam menatapku. “Memangnya aku Juminten, kuntilanak jelek itu!” Lanjut sosok itu seraya mendengus. Lah jadi kuntilanak yang selama ini menggangguku bernama Juminten? Jelek sekali namanya. “Maaf kan aku nek.. Kalau boleh tanya, sejak kapan nenek dibawah pohon jambu ini? Bagaimana tadi kalau nenek gak sengaja ketibanan aku, coba?” “Ya tinggal tanggung jawab obati nenek!” Aku meringis mendengar jawabannya. “Minta airnya, cu! Nenek haus sekali!” “Bentar nek…” Aku bergegas ke tempat keranda mayat. Mengambil sebotol air yang sudah kupersiapkan untuk bekal di malam hari saat kehausan. “Ini nek… tapi maaf airnya mentah, tapi cuma itu yang ku punya” saat aku kembali dengan wajah yang tertunduk malu. “Tak apalah! Kamu sudah baik dan jujur saja itu sudah cukup!” ucap si nenek sambil menerima botol pemberianku. Glek Glek Glek, dalam sekejap di tenggaknya hingga habis tak bersisa. Kenapa aku merasakan kerengian ya, saat menatapnya? “Kamu takut sama nenek, Cu…?” tanya sosok yang membuatku terkejut di awal. DEG! Aku menjadi was-was, ternyata nenek ini bisa membaca pikiranku? “Bu.. bu.. bukannya takut nek, tapi ngeri-ngeri sedep lihat tatapan nenek”. Sontak nenek itu cekikikan, bisa dibayangkan di area kuburan yang sepi mendengar cekikikan yang lantang begitu, membuat jantungku berdebar. Aku tidak pernah takut saat di ganggu hantu, maupun penampakan sejenisnya. Tapi dengan nenek ini…. Aku benar-benar dibuatnya ciut nyali, hanya dengan cekikikannya saja. Padahal nenek ini jelas-jelas manusia, tubuhnya saja sedang terduduk di tanah. Kenapa aku jadi takut padanya? Jangan-jangan…. Nenek ini setengah hantu setengah manusia kali ya? PLETAK “Aduh!!” Aku mengusap kepala, karena si nenek menjitak kepalaku dengan botol air yang kuberikan tadi. “Kamu pikir, nenek ini manusia jadi jadian gitu?!” Si nenek merasa tersinggung. “Saat usiamu sepuluh tahun kamu kabur dari panti bukan? Menjadi gelandangan dan ikut-ikutan menjadi perampok dan akhirnya dipenjara. Enak kan Cu, hidup dalam penjara?” Kenapa si nenek bisa membaca masa laluku? Aku semakin heran dibuatnya, apalagi perkataannya barusan seakan membuktikan bahwa dirinya bukanlah manusia. Aku tidak pernah mendengar ada manusia yang bisa membaca pikiran dan melihat masa lalu. Kalau bukan manusia, apalagi kalau bukan demit. Jangan-jangan induknya demit lagi. PLETAK PLETAK PLETAK “Aduh! Ampun nek, ampun…!” aku melindungi kepalaku dari serangannya lagi. “Nenek gak ada waktu untuk berlama-lama, terimalah giwang ini sebagai pengganti air yang sudah kamu berikan tadi”. Aku menelengkan kepala, mengamati sebuah giwang yang berada di telapak tangannya. Apa dimata nenek aku ini perempuan? Kugoyangkan tanganku, tanda aku menolaknya. “Tidak! Tidak nek! Berikan saja itu pada cucu perempuan nenek.” “Bodoh! Ini bukanlah giwang biasa. Giwang ini akan merubah kehidupanmu. Kamu menolaknya pun percuma. Nenek sudah tua, sudah saatnya mencari pewaris berikutnya.” Yang dikatakannya barusan, sama sekali membuatku tidak mengerti. Saat akan bertanya padanya, si nenek sudah menghilang begitu saja. Dan entah bagaimana caranya, giwangnya sudah terpasang di cuping kiri telingaku. Menyadari hal ini, si nenek kembali muncul lagi, dia berkata, “Dosa ditanggung pribadi!” Selepas mengatakan itu, si nenek kembali menghilang, membuatku semakin bingung oleh kelakuannya. iLang nongol! iLang ningol! Apa maksudnya sih? Karena risih memakai giwang, kuputuskan untuk melepasnya saja. Tapi sial… giwangnya tidak bisa dilepas. Semakin aku berusaha melepasnya, semakin sulit dilepasnya. “Nek… Aku bukan cewek! Kenapa harus pakai giwang sih?” Teriaku protes di area kuburan yang sepi tapi tidak ada jawaban. Aku mengingat-ngingat perkataan si nenek, tapi setelah menunggu beberapa menit tak ada yang berubah pada diriku. Lalu aku mengabaikan dan kembali ke tempatku awal, menyapu lantai dan menggelar tikar untuk tidur di samping keranda mayat. Keesokan harinya. Aku terbangun dikarena merasakan sepakan di kaki. “Kamu ngapain tidur disini? Kamu itu gembel atau hantu?” Tanya seorang bapak-bapak. Ku abaikan saja dan meninggalkan mereka. Ada rasa sakit hati kala mendengar penghinaannya barusan. Kulangkahkan kaki keluar area kuburan, menuju sebuah bangunan mushola, untuk biasa sekedar numpang mandi dan nyuci. Setelah mandi ala kadarnya, aku juga tak lupa untuk mencuci pakaian dan celana meski itu tanpa sabun. Dirasa cukup, aku menjemurnya hingga lumayan kering dan memakainya kembali. Hari ini aku akan melanjutkan mencari kerja, targetku kali ini adalah kawasan pasar sebelah utara. Mudahan-mudahan disana ada toko yang menerimaku kerja. Sesampainya di kawasan pasar, aku celingukan kesana kemari. Bingung harus memulai dari mana, karena begitu banyaknya toko yang berderet. Tunggu dulu! Sepertinya ada hal yang aneh pada diriku sejak tadi. Biasanya aku akan berhenti istirahat tiap satu kilometer berjalan, tapi kenapa tadi tidak? Aku juga tidak merasakan sakit sedikitpun saat berjalan. Kuamati kaki, ternyata aku baru sadar bahwa bekas luka tembak sudah tak ada lagi. Kuamati lebih seksama, ternyata benar-benar sudah tak ada. Aku bingung, kenapa bisa hilang bekas luka tembaknya? Kutekan di bekas luka, tidak terasa nyeri. Lalu aku berloncatan ditempat, juga tidak merasakan sakit dan ngilu lagi. Ini sebuah keajaiban! Aku senang, akhirnya aku bisa berjalan dengan normal. Ditengah rasa senangku, aku ditegur oleh seorang pemuda yang sedang menenteng kresek di tangannya. “Dari tadi gue perhatikan, ngapain elu loncat-loncat kayak kodok?” Aku tak menjawab, justru aku malah bertanya balik padanya, “Bang boleh ikutan kerja? Kerja apa aja deh, gue mau!” Tanyaku karena melihat pakaian yang di kenakannya kotor. “Jadi kuli panggul mau? Tuh ada di seberang jalan ada toko pakan ternak, masuk ajah ada koko di dalam”. Waduh! Keturunan cina dong, bukannya galak dan pelit ya? Ah masa bodohlah, yang penting aku harus dapat kerjaan dulu. Setelah berterima kasih, aku masuk kedalam toko dan mendapati si koko yang sedang sibuk menghitung uang ditangannya. “Permisi ko… apa saya bisa ikutan kerja disini?” Si koko tidak langsung menjawabnya, memperhatikanku dari atas ke bawah dengan kacamata di dahinya. “Gak ada sebulan minta berhenti, gak dapat gaji!” Ucap Koko dan lanjut menghitung uang. Bener kan? Otak cina ini mah… “Gak masalah buat saya, ko…” ucapku walau dalam hati sebenarnya tidak terima, tapi mau gimana lagi aku butuh pekerjaan. “Satu juta per bulan, tanpa uang makan!” ucapnya, kali ini tanpa menatap ke arahku. Sombong sekali, belum apa-apa aku sudah merasa kesal duluan. “Iya ko… saya mau” jawabku sambil menunggu perintah selanjutnya. “Sudah sana kerja, ngapain kamu jentul di situ!” serunya terdengar memakiku. Aku merasakan tepukan di bahu, saat menoleh rupanya itu adalah pemuda yang sama yang aku temui tadi. “Ikut gue ke gudang” Ucapnya. Aku pun mengikutinya hingga ke gudang, di dalam gudang itu ternyata sudah ada empat pemuda seumuranku yang tengah duduk duduk santai di atas tumpukan karung. “Siapa Din, buruh baru?” “Iya, belum apa-apa udah kena sembur tadi di depan!” Jawabnya dengan terkikik geli. “Hahahaha……” kawan yang lainnya jadi ikutan tertawa. Apanya yang lucu? Lebay sekali mereka ini. “Maaf bang, gue orang baru disini, mohon bimbingannya.” Pemuda berkaos hitam berkata, “Santai dulu aja bro! Ini jam istirahat kita ngopi-ngopi dulu.” “Kenalin, gue Udin. Gue yang paling lama kerja disini. Kalau elu mau tau, dia itu Tapleh, Cebong, Bolot dan Gento.” papar Udin memperkenalkan. “Salam kenal kalau gitu bang, gue Azka.” Udin berkata, “Elu kerja di sini harus kuat, bukan sekedar kuat fisik saja, melainkan kuat mental. Asal elu tau aja, tiap hari disini itu buka lowongan kerja tapi ya gitu, banyak yang keluar masuk. Pada gak kuat!” “Gue aja gak yakin ama elu, palingan dua hari udah kabur seperti yang lain, Hahaha…” Kelakar Udin. “Kagak bener elu mah, Din… yang bener itu palingan juga nanti sore udah minta berhenti kerja. Hahaha….” ucap Gento yang ikutan meledek. Aku hanya diam saja mendengar ocehan sampah mereka. Bagiku ini belum seberapa dengan penderitaan saat dipenjara dulu. Saat sedang meremehkanku, sebuah suara terdengar dari toa yang terpasang di sudut gudang. “Hei!! Itu buruh baru suruh kerja! Gak berlaku jam istirahat buat dia!”. Ternyata itu seruan Koko, rupanya dia mengamati para pekerjanya dari cctv. “Sorry bro, gue gak bisa belain elu. Gue cuman mau bilang, selamat datang di lembah neraka” ucap Udin setelah itu menyeruput kopinya. “Terus apa yang harus gue kerjain, bang?”. “Tadi di depan toko elu liat truk kan? Nah kita lagi bongkar muatan, berhubung kita semua lagi jam istirahat, jadi elu kerjain sendiri” Ucap Tapleh. “Iya, elu kerjain sendiri, semampu elu aja dulu nanti kita bantu” Timpal Udin. “Oke!” jawabku dengan mantap. Di depan toko, aku naik ke atas truk dan melihat puluhan tumpukan karung ukuran seratus kilo. Entah apa isi dalam karung-karung itu. Kuambil beberapa dan membawanya ke gudang. “Bang… karung-karungnya simpan di sebelah mana ya?” Tanyaku memastikan sebelum menaruh pasti. “Oh…. Elu tumpukin saja sesuai dari warna karungnya masing-masing, karena isinya beda-beda” jawab Udin yang tidak langsung menjawab awalnya. Setelah mengerti, aku meletakan karung seperti yang dijelaskan Udin. Saat melewati mereka, aku melihat wajah-wajah cengo yang terpancar. Jangan remehin gue, makannya!! *Flashback. Di depan toko, aku naik ke atas truk dan melihat puluhan tumpukan karung ukuran seratus kilo. Entah apa isi dalam karung-karung itu. Sudah pasti karung ini sangatlah berat, aku membutuhkan tenaga besar untuk menariknya. Jadi kutarik nafas dalam-dalam sambil menarik karung, berharap karungnya dapat bergeser dengan sekali tarikan nafas. Tapi diluar dugaan, karung yang aku tarik justru sangatlah ringan. Beban karung dan tenaga yang sudah kusiapkan tidaklah seimbang. Sehingga karung yang kutarik justru terlempar entah kemana. Bebarengan dengan itu, aku juga terjengkang ke luar truk. DUG! Aku merasakan nyeri di pantat saat jatuh terduduk, sambil berdiri celingukan mencari karung yang entah kemana tadi terlempar. Kenapa ringan sekali? Sejak kapan aku jadi sekuat ini? Kenapa tidak aku gunakan buat membobol tembok saat dipenjara? Saat aku memikirkan dari mana kekuatanku berasal, sosok nenek yang aku kenal melintas melayang dari pandanganku begitu saja. Tersenyum ke arahku dan lalu menghilang. Jangan-jangan…. Pikiranku langsung tertuju pada giwang pemberian si nenek. Luar biasa! Lukaku sembuh, sekarang aku memiliki tenaga yang kuat. Keajaiban apa lagi nanti? Tanpa membuang waktu, aku menaruh tiga karung di pundak sekaligus dan juga menenteng karung di kanan dan kiri tanganku. Dengan lima karung saat ini dengan total lima ratus kilo yang aku bawa, itu sudah cukup membungkam orang-orang yang meremehkanku tadi. Saat melintas meja kasir, si Koko melihatku dengan pandangan yang tak percaya. Begitupun saat tiba di gudang, lima orang yang mengejeku langsung terbungkam, diam tak bergeming. “Bang… karung-karungnya simpan di sebelah mana?” Tanyaku menyadarkan mereka, memastikan karung yang aku bawa tak akan salah simpan nantinya. “Oh…. Elu tumpukan saja sesuai dengan warna karungnya masing-masing, karena isinya beda-beda” jawab Udin yang tidak langsung menjawab awalnya. Setelah mengerti, aku meletakan karung seperti yang dijelaskan Udin. Saat melewati mereka, aku melihat wajah-wajah cengo yang terpancar. Jangan remehin gue, makannya!! *Flashback End. Setelah setengah jam berlalu, semua isi muatan truk sudah raib kupindahkan. Saat tumpukan terakhir karung kuletakan, aku langsung diserbu dan dipeluknya ramai-ramai. Kelima orang ini melemparkanku ke udara. Mereka bersorak, seolah aku ini baru saja pulang dari medan perang. “Makasih bro, elu dah meringankan kerjaan kita!” ucap Gento menepuk pundakku. “Sorry, gue dah ngeremehin elu tadi” sahut Udin yang ikut bicara. “Gila lu bro! Elu itu setan apa manusia sih, kuat amat luh!!” selidik Tapleh memandangku dari atas ke bawah. Sedangkan Bolot, dia menyodorkan es teh dan sebatang rokok, “Elu haus kan? Nih… elu minum dan sebat dulu dah!”. Mereka semua memujiku, namun aku berusaha untuk merendah. “Dengan adanya elu, kerjaan kita kedepannya gak bakalan berat lagi”. “Yoi Pleh… kita bakalan terhindar dari sakit pinggang!” Timpal Udin yang langsung disambut gelak tawa yang lain. “Ayo bro, kita nyantai dulu, gue ada rokok nih… elu sebat dulu dah!” ucap Gento. “Nyantai? Bukannya jam istirahat kalian dah selesai!” Kataku. “Kerjaan kita cuman bongkar muat doang, kan dah selesai ama elu, ya udah nyantai lagi. Tinggal nunggu truk yang ketiga datang. Nih gue ada makanan!” ujar Tapleh. “Gue belikan extra joss campur susu buat elu, tunggu ya!” “Cih! Pada carmuk elu pada, tai lah!” Dengus Udin. Nunggu truk yang ketiga? Emang berapa truk yang mesti dibongkar tiap harinya? Aku pikir cuman se truk doang, pantesan saja mereka mengelukanku bak pahlawan. Sambil menunggu truk datang kami saling bercanda di temani kopi dan cemilan. Si koko pun tak menegur kami, meski itu bukan jam istirahat. Karena memang gak ada kerjaan. Urusan jual beli, itu urusan pegawai lain, tugas kita hanyalah bongkar angkut muatan. Akhirnya truk ketiga yang kita tunggu pun datang. Dengan sigap kami berlima dengan cepat menyelesaikannya, hanya butuh setengah jam isi muatan sudah ludes. Tentu saja, itu berkat andil besarku, hampir tiga per empatnya gue yang kerjakan, sisanya mereka berempat. “Masih ada truk yang datang lagi gak ko?” tanya Udin menghadap mewakili kami berempat. “Gak ada, ada lagi besok lusa!!” jawab Koko yang masih tak percaya hasil kerja pegawainya bisa diselesaikan begitu cepat. “Oe senanglah, dengan begini gak butuh banyak pengeluaran buat gaji buruh angkut, anak baru itu boleh juga, apa yang lainnya suruh berhenti ya?” “Kalau gak ada lagi, kami berlima cabut balik deh, ko!” Lanjut Udin. Si koko mengangguk, lalu meminta Udin untuk mencabut tulisan lowongan kerja di depan tokonya. Saat kami berlima akan cabut pulang, si koko memanggil kami lagi. “Ada apa, Ko?” tanya Udin setelah berbalik badan. “Hayya… oe cuma mau kasih kalian uang, ini goban buat kalian masing-masing” “Tumbenan nih sih koko ngasih duit, pake lima puluh ribu segala” batin Udin mengatakan. “Wuih… buruan ambil, Din! Lumayan buat jajan” ucap Gento dengan menyikut Udin. Dengan rasa curiga, Udin menerima lima lembar uang lima puluh ribuan tersebut. “Makasih, Ko!” sahut Udin lalu membagikannya pada kami. Di depan toko, kami berlima berpisah. Tiga temanku lebih dulu jalan karena mereka searah jalan pulangnya. Justru aku bingung akan pulang kemana, apakah harus pulang ke kuburan lagi? Disaat aku kebingungan, Udin menghampiriku dengan motornya. “Elu masih disini? Gue pikir elu dah jalan tadi!” tegur Udin. “Mau gue anter?” Tawarnya. Bukannya menjawab, aku malah bertanya balik. “Elu tinggal dimana, Din?” “Ooh… elu ngekos, gaya amat lu!”. “Emang kenapa kalau gue ngekos? Yang bayar-bayar gue, kenapa elu yang protes!” Sewot Udin. “Sorry Din! Bukan gitu maksud gue, gue pikir elu tinggal ama ortu!”. “Enggak! Gue gak punya rumah, dan gue juga anak yatim!” Ucap Udin dengan memainkan kaca spion. “Kita senasib kalau gitu, Din!” Kataku dan disambut anggukan Udin. “Ee… kalau boleh nih ya, gue mau nebeng di kosan elu sampai gajian!”. Aku pikir Udin bakal menolaknya, atau setidaknya berpikir dulu. Tapi nyatanya langsung dijawab mengiyakan. Dan itu membuatku terharu. Bukankah ini yang disebut teman sejati? “Yailah malah bengong! Ayo bonceng buruan!” ucap Udin mengengkol ulang motornya. Sesampainya di depan kosan, Udin mengatakan padaku untuk tidak minder. “Minder kenapa?” Tanyaku penasaran. “Soalnya yang tinggal disini kebanyakan anak kuliahan!” Jawab Udin. Pantes saja aku melihat deretan kosan disini tampak rapih dan bersih, rupanya yang tinggal anak kuliahan semua. “Kok elu gak milih kosan yang lain?” Tanyaku lagi. “Sama aja bro! Anak kuliahan itu sejatinya kere. Gayanya aja selangit, aslinya mah dompetnya tipis. Kalau makan yang dicari gak jauh dari warteg dan angkringan.” Aku mengangguk mendengar ocehannya. Bahkan aku baru tahu kehidupan anak kuliahan seperti itu. Lalu Udin membuka dompetnya, memberikanku empat lembar lima puluh ribuan. “Buat pegangan elu ampe gajian. Tapi elu nanti balikin pas gajian!” Ucapnya membuatku kembali terharu untuk kedua kalinya. Tanpa menolak, langsung kuterima kebaikannya. Benar-benar teman yang setia kawan. Pengertian dan baik hati. “Gue mau tidur ampe puas, jadi kalau elu mau keluar baiknya bawa kunci. Dan satu lagi, elu pake saja baju dan celana gue di lemari. Jujur saja, mata gue perih liat pakaian yang elu pake.” Mataku berembun karena rasa empatinya, meski perkataan terakhirnya membuatku tersindir. Aku menghamburkan diri memeluk Udin karena bentuk perhatian dan kebaikannya. Tapi Udin merasa jengah dengan ulahku, sehingga spontan melayangkan tendangan. BUKK! “Gue gak hombreng tau! Gue itu normal. Awas aja lu, kalau meluk-meluk kayak tadi. Bakalan gue usir lu!!” Ancam Udin membuatku tertawa geli. Bersambung…
BAB 2 Aku bersyukur bisa makan dengan layak pada akhirnya. Sepiring nasi beserta lauk pauk langsung ludes kumakan tak bersisa. Perutku terasa kenyang setelah diakhiri dengan segarnya segelas es teh. Pemilik warteg rupanya sedari tadi memperhatikanku. “Mas… ikutan lomba makan saja. Lahap sekali makannya kayak orang kesurupan!” Aku meringis mendengar pengakuannya yang terlalu blak-blakan. Kurogoh saku dan mengeluarkan uang untuk membayar. Namun tiba-tiba, semua uangku langsung berpindah tangan. Setelah tahu siapa yang merebutnya, aku menatapnya dengan tajam dengan tangan yang terkepal dan siap untuk menghantam. “Apa? Elu berani ama gue, Hah!!” Bentak seorang pria bertato dengan nada ngegas. Dia pikir gue takut apa? Kurang asem nih orang! “Buatkan gue kopi susu, Leha!!” Pinta pria bertato tadi lalu duduk dengan mengangkat sebelah kakinya. Pemilik warteg yang ternyata bernama Leha itu tampak ketakutan. “Ba baik bang Jarwo” sahut Leha dengan meremas serbet di pundaknya. Jarwo yang tengah duduk bak seorang bos. Langsung kujambak rambutnya hingga tengadah. Disambut dengan tamparanku yang mendarat keras di pipinya. Kejadian cepat itu, spontan membuat pria yang sok jagoan itu pingsan seketika, dengan gigi yang rontok, mulut berdarah dan rahang yang bengkok sepertinya patah. Tubuhnya meleot dan ambruk ke lantai. Leha yang melihat kejadian barusan, tampak bahagia. Dia meninju-ninju udara seperti merasakan geram. “Mampus elu bang! Sok preman! Sok jago luh..!!” pekik Leha. Aku melirik padanya, dia mengacungkan dua jempolnya ke arahku. Entah apa maksudnya. “Buang jauh-jauh itu setan mas! Dia itu bukan orang, tapi sampah masyarakat. Kerjanya mabuk dan malak para pedagang!”. Sekarang aku paham. Kenapa Leha hingga sebenci itu. “Enaknya buang dimana nih, mpok?” Tanyaku meminta pendapat. “Belakang rumah mpok ada kalii, gimana kalau buang ke situ aja mas?” saran Mpok Jamilah yang kutaksir usianya sekitar 35 tahun. “Kalau ada orang yang nemu gimana mpok, bisa berabeh ceritanya nanti.” “Kalau ada yang nemu juga, bakal gak ada yang peduli, justru malahan senang. Udah lama masyarakat pada gedek sama tuh setan!”. “Ya udah mpok, gue setuju kalau gitu”. Ucapku sembari mengangkat pria yang bernama Jarwo itu. Tak jauh dari belakang rumah mpok leha, terdapat sungai yang kebetulan airnya cukup deras. Sebelum aku melemparnya, kupastikan dulu nyawanya telah tewas. Akan sangat menyiksa jika masih hidup. “Maaf, elu bertemu dengan orang yang salah!” Kuhantam dadanya hingga remuk, lalu melemparkanya seperti bangkai ayam. Mpok Leha yang memperhatikanku dari kejauhan, memberikan kode agar aku segera masuk kedalam. Aku segera mengiyakan, karena aku sendiri tak ingin ada yang melihat perbuatanku ini. Di dalam rumah, mpok leha menyuguhkan segelas teh hangat. “Minum dulu mas!” bujuknya padaku yang terduduk di kursi. Pandanganku kosong menatap teh gelas yang berada di meja. Ada apa dengan diriku? Kenapa aku jadi psikopat begini? Apa karena pengaruh giwang? Hingga aku tidak bisa berpikir jernih? Semua itu aku pertanyakan pada diriku sendiri, hingga teguran dari mpok leha berulang kali tak kudengar. Baru aku tersadar, setelah merasakan bibirku sakit dan basah. Rupanya itu kelakuan dari mpok leha, dia melumat bibirku dengan rakus. Pemuda tanggung sepertiku diperlakukan seperti ini? Tentu saja tidak akan tinggal diam. “Mpok….” Ucapku menatap wajahnya ke ibuan. Mpok Leha menempelkan telunjuknya ke bibirku, membuatku tak melanjutkan kata. “Anggap ini hadiah dariku, kamu mau kan ganteng?” Rayu mpok leha lalu menekan wajahku tepat di payudaranya. Merasakan kenyalnya payudara mpok leha dari balik daster, membuat batangku menjadi mengeras. “Mpok…” Kataku, yang lagi-lagi dipotongnya. “Suami mpok pulangnya lusa, tadi pagi berangkat ke tambang pasir.” “Anak?” tanyaku. “Sekolah, mungkin sebentar lagi pulang” jawab mpok leha seraya melihat ke arah jam dinding yang menunjukan pukul 13.30 wib. “Yuk ah, kita main cepet ajah!” Mpok Leha menarik lenganku dan membawa ke tempat tidur pribadinya. Setelah beradanya aku dikamar, mpok leha segera menutup pintu. Dengan tergesa mpok leha meloloskan dasternya sendiri, lalu dilanjut dengan melepas bh dan celana dalamnya yang berwarna senada. Mpok leha berdiri di tepi tempat tidur, dengan tubuh yang kini telanjang. Bahasa tubuhnya seakan menggodaku, tangan kirinya meremas payudara, sedang tangan kanannya mengelus jembutnya yang hitam lebat. Dengan perut yang terlihat agak berlemak. Pemandangan itu membuatku menelan ludah, seolah merasakan kering di tenggorokanku. Melihat tak ada respon, membuat mpok leha manyun. Dia mendekat dan langsung membuka paksa celanaku tanpa adanya perlawanan. Tangan mpok leha langsung meraba batangku, digenggamnya dan dikocok perlahan-lahan. Diperlakukan seperti itu, membuat batangku semakin lama, semakin mengacung keras. Dibimbingnya aku ke tepi tempat tidur dan didorongnya aku hingga terlentang diatas kasur dengan batang yang mengacung. Mpok leha membuka pahanya, dan langsung menduduki selangkanganku. Menggesekan bibir memeknya sebelum akhirnya bles…. Batangku tertelan di memeknya. Terasa hangat dan basah yang kurasakan. “Uuuh…..” desah mpok leha ketika merasakan batangku menggelosor membelah dinding memeknya. Disambut desahan, “Aaaaahh!!” Kini batangku telah penuh di memeknya dan juga telah menyundul rahimnya. Aku yang tahu seberapa besar ukuran batangku, merasakan janggal saat berada dalam memeknya. Aku merasakan penisku memanjang dan membesar, seakan menyesuaikan diri dengan sendirinya. “Uuuhh, sesak sekali!” Lenguh mpok leha menekan di bawah perutnya yang terasa mulas. Setelah beradaptasi dengan batangku, mpok leha mulai menggenjot naik turun. Gerakannya yang pelan dan teratur membuatnya merasakan kenikmatan. “Ooooh…” Kusadari aku juga ikut mendesah nikmat. Mpok Leha cukup lama menaik turunkan pinggulnya, kepalanya mendongak ke atas menandakan dia sangat menikmatinya. Beberapa saat kemudian mpok leha semakin meningkatkan ritmenya, gerakan pinggulnya mulai tidak beraturan. “Aaah…Aaah…Aaaah….” Mpok Leha melenguh panjang, bahkan tubuhnya sampai melenting ke belakang. Membiarkan tubuhnya terdiam sesaat, dengan batangku yang masih menancap di memeknya. Setelah itu melepas batangku dan turun dari kasur lalu hendak meraih celana dalamnya. “Lah….” Aku yang melihat gelagatnya tidak terima. Enak saja sudah merenggut perjakaku, bagaimana dengan batangku? Mau dibuat kentang? Dengan keberanian diri, ketika tangan mpok leha hendak mengambil celana dalamnya, aku segera menarik tangannya hingga dia kehilangan keseimbangan dan jatuh dipelukanku. “Auw!! Apa apaan sih… Bentar lagi anaku pulang! Lepaskan tanganku” Bentaknya. Aku tidak menjawab, dengan cepat aku membalik tubuhnya sehingga kini posisiku yang menindih balik. Mpok Leha meronta, bener-bener mau enak sendiri saja. Aku yang sudah dikuasai nafsu birahi tanpa banyak bicara langsung melebarkan pahanya. Berusaha paksa memasukkan batangku kedalam memeknya. “Lepaskan aku mohon… sebentar lagi anakku akan pulang!”. Mpok Leha meratap, tapi aku langsung menggenjotnya dengan tempo cepat, membuatnya menggelengkan kepala dan menggigit bibir bawahnya. “Sss… Aaaah… Aaaaah….” Desahannya semakin jelas, meskipun dia berusaha sekuat tenaga menahan suaranya. Sambil terus menggenjot, aku jilati lehernya yang basah dan terasa asin. Lenguhan mpok leha semakin menggairahkan. Merasakan perih di punggung membuatku melepaskan jilatan di lehernya. Rupanya mpok leha menancapkan kuku kukunya, tapi itu tidak menghentikanku untuk terus menggenjot memeknya yang semakin basah. Benturan kelamin kami semakin terdengar renyah ditelinga. PLOK PLOK PLOK PLOK Tubuhnya yang gempal dan berlemak mulai dibanjiri keringat. Payudaranya yang besar dihiasi puting berwarna coklat gelap, ikut bergoyang seirama dengan genjotanku. Tangan mpok leha berusaha menutupi payudaranya, dengan paksa kutarik tangannya dan menahan di atas kepalanya. Satu tanganku menahan tangan mpok leha, sementara yang satu lagi ku gunakan untuk meremas payudaranya. Tak berselang lama dari itu, tubuhnya menggeliat kuat di bawah tubuhku. Membuatku semakin mempercepat ayunan pinggulku. “Aaaaahh jangan berhenti! Teruuuus…” Wajahnya mendongak ke atas dan matanya mendelik. Batangku merasakan kedutan-kedutan di memeknya, membuatku semakin keras dan semakin cepat menyodoknya. “Uuuuuugh…” Tubuhnya menegang dan matanya menyisakan warna putih. Sesaat kemudian tubuhnya lemas dengan nafas yang memburu. Aku juga mulai merasakan adanya desakan dari dalam batangku, terus menggenjot memeknya semakin kuat dan cepat. “Aaaaaaahh…” Crot Crot Crot Crot Pejuhku menyembur dalam memeknya. Enak sekali rasanya seperti terbang ke awang-awang. Tubuhku terasa ringan dan tulangku terasa dilolosi. Kugelimpangkan tubuhku di samping mpok leha yang masih memejamkan matanya dengan nafas yang masih memburu. Beberapa saat kemudian, mpok leha membuka kedua matanya menatapku, manakala mendengar panggilan yang tak asing baginya. “Bu! Bu! Dimana? Bu! Bu!” “Itu suamiku!” pekik mpok leha yang terkejut mengapa suaminya pulang begitu cepat. Alih-alih khawatir anaknya yang pulang, justru malahan suaminya. *Apa? Mpok bilang katanya, aaaah sial!!” Umpatku kesal. Lantas kuping sebelah kiriku berdengung keras. Krieeeet, suara pintu terbuka. “Bu! Sedang apa telanjang begitu di kasur? Diluar ada pembeli tuh! Malahan tiduran telanjang! Gimana sih!!” ucap suaminya yang terheran-heran oleh tingkah istrinya itu. “Maafkan aku mas, anu tadi aku…” gagap mpok leha sambil celingukan mencari sesuatu. “Cepat pakai baju! Kasihan itu di warung, anakmu keteteran!”. “Asih udah pulang? Iya mas, maaf!” Jawab mpok leha sambil memakai dasternya kembali dan bergegas ke warung dengan perasaan yang campur aduk. “Kemana perginya? Apa dia ngumpet?” Batin mpok leha sambil berjalan menuju warungnya. *Flashback “Bu! Bu! Dimana? Bu! Bu!” “Itu suamiku!” pekik mpok leha yang terkejut mengapa suaminya pulang begitu cepat. Alih-alih khawatir anaknya yang pulang, justru malahan suaminya. “Apa? Mpok bilang katanya, aaaah sial!!” Umpatku kesal. Lantas kuping sebelah kiriku berdengung keras. Nenek tua yang memberiku giwang sewaktu di kuburan tiba-tiba muncul. Namun kehadirannya seperti halnya hologram. Nenek itu mengatakan padaku, untuk mengikuti kata-kata mantra. “Sihir Lontar Pinang Lontar Terletak di Ujung Bumi Setan Buta Jembalang Buta Akan Sapa Tak Berbunyi” Setelah mengikuti kata-kata mantra darinya, tubuhku berubah seketika. Kuperhatikan bagian-bagian tubuhku yang tampak transparan. Krieeeet, suara pintu terbuka. Perhatianku teralihkan saat mendengar pintu terbuka. Terlihat seorang pria berbadan gemuk berdiri di dekat pintu, “Bu! Sedang apa telanjang begitu di kasur? Diluar ada pembeli tuh! Malah tidur telanjang! Gimana sih!!” ucap suaminya yang terheran-heran oleh tingkah istrinya itu. “Maafkan aku mas, anu tadi aku…” gagap mpok leha sambil celingukan mencari sesuatu. Apa mereka tak melihatku? Jadi sekarang aku menghilang? Aku terkejut, membuatku terlompat dari kasur ke lantai dan tak sengaja menginjak pakaian dan celanaku. Sebelum pria itu menyadari, aku segara memungut dan memakainya. “Cepat pakai baju! Kasihan itu di warung, anakmu keteteran!”. “Asih udah pulang? Iya mas, maaf!” Mpok leha turun dari kasur dan memakai dasternya kembali. Kulihat mpok leha keluar kamar dengan tergesa-gesa. *Flashback End. Melihat kelakuan aneh istrinya, suaminya hanya menggelengkan kepala. “Tidur telanjang siang-siang, dasar bodoh!” Umpat suaminya. Mendengar itu, aku menyahut dan menoyor kepalanya, “Elu yang bodoh!! Gelagat istri selingkuh kok gak ngerti!”. “Aduh!” Merasakan kepalanya di toyor olehku. Aduh? Dia mengaduh barusan? Itu artinya dia merasakan? Aku mencoba menilai apa yang terjadi barusan. Karena penasaran, kudorong tubuhnya hingga dia tersungkur di kasur. BUK! “Mengapa aku terjatuh di kasur? Siapa yang mendorongku barusan. Jangan-jangan ada hantu lagi. Kiyaaaa….” Pria itu terbangun dan berlari tergopoh ke luar kamar. Melihat dan mendengar reaksinya, kini aku semakin paham. Meski tubuhku transparan, aku masih bisa menyentuh dan merasakannya. Syukurlah dengan begini, aku bukanlah golongan hantu. Hehe… PLETAK Kini giliranku yang merasakan sakit dikepala, rupanya itu ulah si nenek. “Dasar bocah nakal! Istri orang kamu gagahi!” “Aku dipancing olehnya nek, bukan aku duluan kok. Sumpah!” ucapku dengan mengangkat dua jari membentuk huruf V. “Seperti yang pernah nenek katakan. Dosa ditanggung masing-masing! Nenek tidak pernah mengajarkan hal mesum, terserah kamu mau gunakan untuk apa kesaktian giwang itu. Apa yang kamu tebar, kamu juga yang akan menyemainya.” “Iya nek, aku paham” jawabku tertunduk malu. “Oh iya nek… bagaimana caraku mengembalikan ke tubuh normal. Masa iya aku akan begini terus, kan gak lucu nek…” Si nenek mengangguk, lalu membacakan mantranya. Putih bukan berati Suci Hitam bukan berarti Gelap Aku adalah cahaya dari secangkir kopi Yang didalamnya teraduk sepi Mendengar si nenek membaca mantra aneh, membuatku spontan tertawa terbahak bahak. “Hahaha…. Nek, mantra macam apa itu?”. PLETAK, Kali ini jitakan si nenek lebih keras. “Kalau kamu tak ingin tubuh normal, ya sudah! Tidak usah dibaca mantranya!” Kesal si nenek kemudian menghilang. Bodoh! Kenapa aku melakukan itu? Aku jadi tak enak padanya. “Maafkan aku, nek…” ucapku menyesal. Bersambung….