Halo, setelah lama jadi silent reader akhirnya aku mau coba berbagi cerita. Silahkan dinikmati dan kalau ada salah-salah penulisan mohon kritik/sarannya. — Namaku Bangkit, biasa dipanggil Bang Kit atau Mas Kit (karena nama panggilan itulah aku jadi suka pake nama Keith buat identitas di internet, biar kerenan dikit). Aku seorang pria Jawa separuh Arab (yang entah dari mana) dan aku tinggal di Pulau Jawa juga, kebanyakan di bagian tengah karena aku sempat berkuliah di salah satu universitas negeri di sana. Cerita yang satu ini tentang juniorku, namanya Ana. Aku nggak deket banget sama dia, cuma pernah satu organisasi dan satu komunitas (tongkrongan yang berstruktur). Aku nggak tau hidupnya dia gimana latar belakangnya, tapi karena aku follow sosmednya aku jadi seenggaknya tau apa yang terjadi di kehidupannya. Setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk menetap di kota universitasku dulu untuk menghabiskan sisa masa kos yang masih ada sebulan lebih sedikit. Lagipula musim liburan juga, jadi tiket mahal. Suatu hari, karena gabut, aku iseng nontonin semua instagram story orang-orang yang aku follow dan tiba-tiba aku melihat story dari si Ana. Lingkarannya hijau, close friends. Storynya cuma berisi layar hitam dengan tulisan “Tolong siapapun temenin aku.” Aku bingung, ini anak kenapa? Jangan-jangan mau bunuh diri. Akhirnya aku coba bales, “Kamu baik-baik aja kan na?” “Nggak apa-apa kok mas, cuma kesepian aja semua orang pada udah pulang.” “Makan yuk di deket fotokopian, keluar biar nggak stress.” Ajakku iseng. Aku sendiri kaget bisa ngajak Ana kayak gini berhubung kami nggak pernah kontakan sebelumnya. Nggak lama kemudian dia bales, “Boleh deh mas, otw ya aku.” Aku nggak berekspektasi dia bakal jawab iya, tapi karena sudah terjadi ya aku akhirnya berangkat ke tempat yang sudah disetujui. Setelah lima menit jalan kaki (karena kosku deket) aku ketemu Ana sudah duduk di meja pojok. Aku sapa dia, aku pesan makan, dan aku duduk di seberangnya. Ana ini sebenernya menarik, langsing tapi nggak cungkring, nggak tinggi tapi nggak pendek juga, proporsional lah. Hari itu dia pake jaket biru ada hoodienya dan celana pendek sepaha. Ini pertama kalinya aku liat warna kulitnya selain kulit tangan dan muka. Putih mulus. Makanan datang, kami makan sambil ngobrol, dan setelah makanan habis aku iseng tanya, “Kamu suka minum nggak sih?” “Ini minum.” Jawabnya ketawa sambil nunjuk es teh. “Ngawur, alkohol maksudnya.” “Kenapa? Mau bayarin?” Tantangnya. “Ih, ogah bener. Patungan lah. Enak, mumpung dingin gini.” Bujukku. Ana diam sejenak, kayaknya mikir. Nggak lama kemudian dia berdiri sambil bilang, “Ya ayo beli, keburu tutup.” Lagi-lagi aku kaget karena dia menjawab iya. Yang awalnya cuma iseng nyari bahan obrolan, akhirnya malah jadi keluar duit beneran. Aku pinjam motornya untuk beli alkohol ke warung setempat. Anggur merah aja, yang murah dan selera rakyat. Ana kedengarannya antusias, nggak berhenti ngajak aku ngobrol sambil kubonceng. Setelah beli minuman aku baru sadar, “Kita mau minum dimana?” “Memang kosmu nggak bisa mas?” Tanyanya. “Bisa sih, cuma anak-anak kosku suka rese kalo tau ada yang bawa cewek. Kalo kamu nggak risih sih, nggak apa-apa.” Jawabku. Memang anak-anak kosku brengsek, sukanya merusak kesenangan orang. “Yaudah kosku aja mas. Toh lagi pada pulang juga.” Akhirnya kami meluncur ke kosnya dan setelah sampai, aku paham kenapa Ana merasa kesepian: kosnya berbentuk lorong dan terdiri dari dua lantai, dan kamar Ana ada di pojok belakang lantai dua. Ana menggiringku naik tangga dan jalan menuju kamarnya, dan begitu masuk ke dalam Ana menutup pintu sambil bertanya, “Dikunci nggak mas pintunya?” Aku bingung, biasanya kan cowok yang tanya begitu, “Ya bebas kan kamarmu.” Dia pun mengunci pintu dan melepas jaketnya, mengungkap apa yang selama ini ia pakai: kaos sleeveless hitam dengan kerah yang lebar. Aku menelan ludah melihat kulit pundak dan lengannya yang sama mulusnya dengan pahanya. Ana kemudian duduk di depanku dan kami memulai acara yang ditunggu-tunggu: mabuk. Satu botol anggur merah dan batang-batang rokok berlalu tanpa disadari karena sekeras apapun usahaku untuk fokus mataku selalu tertuju ke kerah baju Ana. Alkohol dalam darahku membuat akalku melayang-layang memikirkan apa yang ada di balik kain itu. “Wah, habis. Nambah nggak?” Godaku. “Enggak ah, aku udah ngantuk mau tidur.” Jawab Ana sambil naik ke atas kasur. Aku kaget, “Lha aku pulangnya gimana? Kan aku tadi naik motormu.” Ana tidak merespon. Aku yakin kalau aku pulang sekarang, jalan kaki, bisa-bisa aku ditemukan berbaring di selokan besok pagi. Akhirnya aku naik ke atas kasur dan berbaring di sebelah kanan Ana yang memunggungiku. Hampir setengah jam aku tidak bisa tidur. Pikiranku masih melayang membayangkan tubuh perempuan di sampingku. Aku mulai nekat memiringkan tubuhku dan memeluk Ana dari belakang. Tidak ada respon. Aku kemudian menaikkan tanganku dari pinggangnya perlahan ke dadanya. Lagi-lagi tidak ada respon. Aku dekatkan wajahku ke tengkuknya, sengaja menghembuskan napasku dengan berat. Masih tidak ada respon. Akhirnya aku iseng mengencangkan genggamanku di dadanya untuk melihat apa yang terjadi. Aku remas dengan agak kasar sampai aku tersadar: Ana dari tadi tidak mengenakan bra. Aku setengah duduk dan mencoba melihat wajahnya. Matanya terbuka, mulutnya sedikit menganga. Sadar kepura-puraannya terungkap akhirnya Ana memalingkan wajahnya ke arahku dan melumat bibirku. Lidah kami berkelahi dan napas kami membentur satu sama lain. Remasan dan cubitan bergantian kami lakukan ke sekujur tubuh lawan kami sampai akhirnya Ana melepas bibirnya dari bibirku dan berbisik, “Buka aja ya mas.” Ana melepas kaosnya dan celananya, meninggalkan celana dalamnya yang terasa basah kuyup di telapak tanganku. Akupun melepas semua bawahanku dan menyisakan kaosku. Tangan kiri Ana mulai menggenggam batangku dan mengurutnya. Kujambak rambut Ana sambil menciumnya, tangan kananku melingkar di lehernya. Aku sudah tidak tahan lagi dan sepertinya begitu juga dengan Ana. Aku berbaring telentang dan kudorong kepalanya ke arah selangkanganku. Ana membuka mulutnya tanpa perintah dan melahap penisku sampai ke ujungnya. Kurasakan hangat lidahnya menari di kepala dan batang penisku. Kumaju-mundurkan kepalanya, kugenjot mulutnya dengan segenap kekuatan pinggulku. Ia nampak pasrah, memandangku dengan air mata yang mengalir ke pipinya. Kulepaskan jambakanku dan kutanya, “Mau lebih jauh apa sampe sini aja?” “Tanggung, mas.” Balasnya singkat. Kuangkat badannya ke arahku dan kembali kulumat bibirnya. Tangannya bergerak di antara badanku dan badannya, berusaha meraih penisku dan setelah menemukan apa yang ia inginkan Ana menurunkan badannya sampai pahaku membentur pahanya. “Ahh” Teriak Ana kecil. Kos yang sepi membuatnya bebas mendesah sekencang apapun. Penisku terasa digenggam erat oleh bibir bawah Ana. Ia memandangku dan berkata, “Aku duluan aja yang goyang.” Aku tidak bisa menolak permintaannya dan aku pasrah menonton liarnya Ana bergerak maju-mundur dan naik-turun di atasku. Aku hanya bisa bernapas terengah-engah sambil memainkan dada Ana sampai akhirnya tubuhnya melengkung ke belakang dan pahanya mengejang kencang. Orgasme pertamanya malam itu. Ana menjatuhkan dirinya ke kiriku, berbaring di atas kasur. Ia terlihat sudah setengah mati, dan karena kasihan aku tanya “Masih kuat nggak?” “Masih, mas kan belum keluar.” Jawabnya. Bukan perkara sulit, batinku. Goyangan liarnya tadi sebenarnya sudah membuatku hampir sampai puncak. Kalau saja aku tidak dilemahkan oleh alkohol mungkin aku sudah keluar dari tadi. Aku pun membuka pahanya dan memasukkan penisku kembali ke vaginanya. Kumaju-mundurkan sambil melumat bibirnya. Kami bertukar liur, napas, dan keringat hingga akhirnya ia memekik kecil dan aku mencabut penisku. Kumainkan lubangnya dengan jari tengahku sampai ia orgasme dan kukeluarkan spermaku di mulut dan wajahnya. Orgasme keduanya dan orgasme pertamaku malam itu. Aku ambruk karena kehabisan tenaga. Wajahku berpaling ke kiri, melihat wajah Ana yang berlumuran sperma, matanya yang sudah terpejam, dan napasnya yang sudah teratur. Aku pun memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Keesokan paginya aku terbangun dan melihat Ana masih tidur dalam posisi yang sama. Spermaku sudah mengering di wajahnya. Karena kasihan aku bangunkan dia dan menyuruhnya cuci muka dan sikat gigi, lalu mengajaknya beli makanan. Sambil makan di kamarnya, aku tanya, “Enak nggak semalem?” Ana sedikit tersedak dan menjawab, “Enak.” Wajahnya agak memerah menahan malu. “Maaf ya semalem kamu kuentot sambil mabok.” Aku merasa sedikit tidak enak. “Nggak apa-apa kok mas, semalem kan keputusanku juga.” “Bakal ada next time nggak nih?” Tanyaku iseng. “Ya liat aja nanti.” Balasnya tanggung. Aku tertawa dan dia pun tertawa. Setelah makanan habis aku memesan ojek online lalu pulang ke kosku. Di jalan aku memikirkan pertanyaanku: aku nggak berekspektasi dia bakal jawab iya, sih. Namanya juga iseng-iseng berhadiah, mungkin jatah hadiahku sudah kuterima semalam.